Awal Mula

1485 Words
Pernikahan itu berlangsung dengan sangat singkat tanpa acara apapun, hanya dihadiri orang-orang yang ada di rumah kediaman Bima di Jakarta. “Aku harus kembali ke kantor,” ucap Bima pada Kania, dia bahkan tidak berbicara apapun pada gadis yang dia nikahi beberapa menit yang lalu. Kania mengerutkan keningnya. “Kenalan dulu sama Ratih, Mas. ngobrol-ngobrol atau bagaimana gitu.” “Aku gak punya waktu. Ada meeting penting,” ucap Bima mendaratkan kecupan di bibir sang istri pertama sebelum mengusak rambut Kania. “Aku pergi dulu ya.” “Tunggu, Mas.” Kania menahan tangan Bima. “Kenapa?” “Nanti kamu harus tidur sama dia ya?” “Aku harus pergi dulu, Sayang.” “Tapi nanti kamu nurut aku bilang apa.” “Iya.” Bima mengusap pipi halus sang istri. “Bye.” Setelahna Bima keluar dari tempat dimana dia menikah, tanpa melihat sedikitpun gadis yang terdiam ditemani pembantu di rumahnya. Kania menghela napasnya, baru saja pernikahan diadakan secara diam-diam. Keluarga Ratih hanya tahu anaknya akan menikah dengan orang kaya dan diadakan di luar negara sehingga mereka tidak bisa ikut. Sedangkan keluarga Bima? Jangan harap mereka mengetahui hal ini sebelum Ratih hamil, karena bisa-bisa mereka menggagalkan rencana ini. Melihat Ratih yang terus saja diam dengan wajah polosnya, Kania mendekat. “Maaf ya, datang-datang dari kampung langsung ditarik ke sini.” “Tidak apa apa, Nyonya.” “Loh kok Nyonya? Emang kamu pembantu aku? Panggil aja Kakak, anggap kita saudara ya? Istri pertama sama istri kedua harus akur,” ucap Kania tertawa pelan, dia menggandeng tangan Ratih keluar dari tempat itu. “Ayo, sekarang kita ke tempat kamu akan tinggal.” “Sama Bi Endah juga, Kak?” “Iya, sama Bi Endah juga tinggal di sana, diakan emang pembantu,” jawab Kania. Ketika Ratih hendak melangkah menuju mobil yang sebelumnya membawanya ke sini, Kania menahannya. “Kamu di mobil Kakak ya, kita langsung ke salon buat perawatan.” “Bi Endah?” “Bi Endah langsung pulang nyiapin kamar sama beresin baju-baju kamu. Udah ayo sama Kakak seneng-seneng,” ucap Kania menarik Ratih untuk masuk ke dalam mobil sport merah miliknya. Mobil itu berlainan arah dengan mobil yang membawa Bibi Endah. “Maaf ya tadi Mas Bima langsung pergi gak sempat ngomong sama kamu, dia masih ada kerjaan katanya.” “Iya, Kak. Gak papa.” “Dia juga suami kamu, jangan sungkan sama dia ya. Apalgi buat nanti malam, kamu udah tau harus gimana aja kan?” “Harus hamil?” tanya Ratih polos. Yang mana membuat Kania tertawa. “Kamu tau gak prosesnya gimana biar bisa hamil?” “Sedikit,” cicit Ratih yang mana membuat Kania gemas. “Yaudah tenang aja, lagian Mas Bima juga mikir kamu masih kecil. Untung aja si Bibi punya keponakan bening kayak kamu, mana pas di test di rumah sakit subur gak ada gangguan apapun, jadi kan langsung di proses.” Ratih lebih banyak mendengarkan, karena meskipun posisinya adalah istri dari seorang pengusaha ternama, Bibi-nya selalu mengingatkan dengan kalimat, “Kamu itu hanya b***k yang diselimuti oleh status istri kedua, jangan macam-macam sama mereka. Dan mengabdi dengan benar, ingat mereka membantu perekonomian keluarga kamu di kampung.” ***** Hari ini Ratih benar benar tidak memiliki waktu untuk istirahat barang sejenak saja. setelah dibawa dari kampung, dia langsung mengikat janji suci, kemudian kini berakhir di sebuah klinik kecantikan yang membuatnya terjaga. Bagaimana bisa untuk cantik bisa semenyakitkan ini. “Jangan lupa pertahanin sisi polosnya, dia harus keliatan banget dari desa. Cantik alaminya gak boleh hilang,” ucap Kania pada sang manager klinik, seorang dokter yang menangani Ratih. “Baik, Bu. Tenang saja.” “Bagian d**a, paha atas sama wajah itu titik terpenting, dia juga harus wangi dari mulai rambut sampai ujung kaki.” “Baik, Bu.” Kemudian Kania memilih menunggu sambil memainkan ponsel, sampai seseorang tiba-tiba mendatanginya. “Maaf, Kak. Saya penggemar Kakak, boleh minta tanda tangan?” “Oh boleh, kamu tertarik dengan dunia permodelan ya? Langka orang Indonesia kenal saya.” Sang pegawai klinik itu tersenyum. “Iya, Kak. Saya tertarik, saya juga kerja di sini karena katanya sering didatangi model dan artis.” “Bermimpi menjadi model?” “Iya, Kak. Ada tips?” “Percaya saja pada kemampuan diri kamu. Nah ini majalahnya.” Kania memberikan majalah yang baru saja ditandatangani olehnya. “Terima kasih, Kak.” “Sama-sama.” Karena lumayan lama menunggu Ratih, Kania memilih untuk mengganti cat kukunya. Dia juga melakukan perawatan di bagian kakinya. Selama berjam-jam mereka berada di sana, akhirnya Ratih keluar dengan wajah yang terlihat lelah. “Woaaah, makin cantik kamu.” “Terima kasih, Kak. Kakak lebih cantik.” “Itumah jelas,” ucap Kania sambil bercanda. Dia membayar total dari perawatan yang mana membuat Ratih membulat terkejut, harga perawatannya hampir mencapai angka 20 juta. Kenapa orang-orang ini bisa begitu kaya? “Ayo pulang, Tih. Kamu pasti udah capek ya, Kakak udah nyuruh Bi Endah nyipin makanan sama kamar kamu kok.” Ratih hanya mengikuti apa yang Kania katakan, menjawab apa yang Kania tanyakan dan menahan diri untuk bertanya segala hal. Begitu memasuki gerbang sebuah rumah, Ratih terbelalak kaget melihat rumah yang begitu besar ini, halaman yang luas dan juga begitu indah. Ini seperti rumah dalam dongeng, dimana tiang-tiang begitu besar berwarna putih. “Ayo masuk, Tih.” Ratih melangkah mengikuti Kania. “Bi?! Bibi?!” “Iya, Nyonya?” Bibi Endah segera mendekat ke sana. “Antar Ratih ke kamarnya ya, udah disiapin?” “Sudah, Nyonya.” “Jangan lupa kasih makan ya, sama supplement juga untuk nanti malam.” “Baik, Nyonya.” Kemudian tatapan Kania beralih pada Ratih. “Nah, Ratih pergi sama Bibi ya, Kakak mau istirahat dulu.” “Terima kasih sebelumnya, Kak.” Kania hanya tersenyum dan melangkah naik ke lantai dua, sementara Ratih masih mengagumi sekitarnya di sana. “Woaaah, ini rumah atau istana, Bi?” “Udah ayok ke kamar kamu.” “Kamar aku dimana, Bi?” “Lantai ini, di kamar tamu. Ada di dekat Bibi kok.” *** Tidak jauh beda saat pertama kali masuk ke rumah ini, Ratih kembali dibuat terpana dengan kamar yang begitu luas. Kamar mandi di dalam dan pemandangan ke kolam renang di halaman belakang rumah. Dia bisa melihat langit yang biru dari sana. “Wahhh, di lantai satu saja sudah terlihat cantik. Apalagi di lantai dua, apa Bibi membersihkan semua ini sendirian?” “Tidak, ada yang selalu membersihkan juga, tapi mereka sedang libur, dan Nyonya malah memberhentikan mereka supaya dirimu nyaman.” Ratih berbalik menatap Bibi Endah. “Lalu? Nanti Bibi membersihkan semuanya sendirian?” “Tidak, ada tukang yang datang dua hari sekali. Bibi hanya membersihkan kamar-kamar saja sambil masak.” “Oh… kalau butuh bantuan bilang saja pada Ratih, Bi.” “Tih…” “Iya?” “Sini duduk dulu,” ucap Bibi Endah menepuk sofa yang ada di kamar. Ratih menjauh dari jendela, dia duduk berhadapan dengan sang Bibi. Dimana Bibi Endah menggenggam tangannya. “Denger, kamu di sini hanya istri kedua, mereka itu penolong kamu. Jangan pernah mengharapkan apapun dari Tuan Bima ya?” Ratih mengangguk. “Dan kamu jangan mudah sakit hati, Tuan Bima memang orangnya dingin. Hanya pada Nyonya Kania saja dia bisa tertawa dan tersenyum. Ingat tujuan kamu.” “Iya, memberi keturunan untuk Tuan Bima.” Bibi Endah mengangguk. “Sekarang kamu istirahat dulu, makan, kalau mau apa-apa bilang sama Bibi ya.” “Iya, Bi. Ratih mau tidur dulu, capek abis dimandiin.” “Makanannya Bibi simpan di meja saja ya.” “Iya, Bi. Terima kasih ya, telah menolong keluarga Ratih.” “Kamu harus berterima kasih sama Nyonya Kania dan Tuan Bima, jadi lakukan yang terbaik.” “Iya, Bi.” Dan setelah Bibi Endah keluar, Ratih mulai memejamkan matanya perlahan. Dia masuk ke alam mimpi, mengabaikan rasa laparnya karena rasa kantuknya lebih berharga. Jam demi jam terlewati, sampai akhirnya Kania di kamarnya juga terbangun, dia kaget ini sudah sore. Dia buru-buru turun ke lantai bawah sambil membawa pakaian di tangannya. “Bi, Ratih udah mandi? Udah makan?” “Sudah, Nyonya. Dia ada di kamarnya.” “Mas Bima belum pulang ‘kan, ya?” Bibi Endah mengangguk. Yang mana membuat Kania segera melangkah menuju kamar Ratih, dia mengetuk pintu sebelum membukanya. “Tih, aku ganggu gak?” “Eh, masuk saja, Kak.” “Kok kamu pakai itu sih,” ucap Kania menatap jijik kaos yang dipakai Ratih, begitu kusam dan juga kumal. Piyama yang hampir luntur warnanya. “Yaampun harusnya kamu bilang gak punya baju.” Kania semakin menjadi-jadi ketika melihat isi lemari Ratih. “Besok kita beli, tapi kamu harus pakai ini dulu. Ganti baju kamu.” Ratih menerima pakaian yang diberikan Kania dan membentangkannya. Itu adalah lingerie hitam yang sangat seksi. “Pakai ini, Kak?” “Itu ada jubahnya, nanti pakai itu dulu. Udah cepetan sana sebelum Mas Bima pulang. Cepetan!” “Iya, Kak.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD