bc

Perfect Marriage (INDONESIA)

book_age18+
11.6K
FOLLOW
148.8K
READ
billionaire
dark
possessive
sex
contract marriage
forced
dominant
maid
drama
city
like
intro-logo
Blurb

Warning! Mengandung konten dewasa!

Pernikahan yang sempurna?

Adakah yang seperti itu?

Mungkin seperti sosok gadis desa yang tiba tiba ditawari pernikahan oleh bibinya, dengan seorang pengusaha dari kota. Menjamin semua kebutuhan Ratih dan juga melunasi hutang ayahnya, membantu adik-adiknya sekolah kembali.

Orang-orang di desanya berprasangka kalau Ratih adalah gadis desa beruntung yang memiliki pernikahan yang sempurna. Kenyataannya, pernikahaanya itu cacat.

Kania Kartikasari memiliki masalah dengan keluarga suaminya, dimana mereka menuntut dirinya memiliki seorang anak. Bagi Kania yang seorang model, itu adalah pemikiran yang kuno, presepsi yang primitif. Kania tidak ingin membuat tubuhnya menjadi jelek, sehingga dia memilih mencari istri kedua untuk suaminya.

Bima Singa Perwata, sosok pria yang sangat mencintai istrinya. Dibalik sikapnya yang koleris emosional, logis dan keras kepala, Bima akan melakukan apapun untuk istrinya. Termasuk menikah untuk kedua kalinya.

chap-preview
Free preview
PROLOG
Bagaimana rasanya jika dalam keadaan mendesak, seseorang datang dan menolong. Menolong? Sepertinya bukan, melainkan memberinya permainan take and give. Ratih, seorang gadis desa dimana ayahnya sekarat karena sakit, hutang dimana-mana. Adiknya yang butuh biaya hidup. Ibu? Sudah meninggal sejak lama. Penolongnya adalah bibinya sendiri, dimana dia bekerja sebagai pembantu di kota. Yang tiba tiba menawarkan sebuah posisi sebagai istri kedua dari majikannya. Istri kedua? Ya, karena istri pertama majikan bibinya tidak ingin mengandung. Dan tugas Ratih di sini hanyalah menjadi istri yang harus mengandung. Kania Kartikasari, sang istri pertama yang bekerja sebagai model. Kecantikan adalah segalanya, rela melakukan apapun untuk menjaga tubuh dan juga wajahnya agar tetap cantik. Termasuk mencarikan istri kedua untuk suaminya. Bima Singa Perwata, sosok pria dingin dan pengusaha sukses di kotanya. Memiliki semua yang dia inginkan, termasuk wanita yang sangat dia cintai; Kania. Akankah gadis desa yang baru saja menginjak umur 18 tahun itu bisa bertahan dengan orang-orang kaya yang mementingkan ego mereka? *** "Usia kamu itu sudah memasuki 30 tahun, dan Bima? Dia sudah 32 tahun. Kalian seharusnya sudah memiliki anak. Kalian sudah menikah selama 7 tahun." Kalimat itu yang membuat Kania bergegas pulang saat mengunjungi rumah orangtuanya. Mengendarai mobil dengan sangat kencang dengan tangisan yang mengiringi. "Bima itu anak tunggal keluarga Perwata. Ibu malu jika bertemu saudara yang lain. Sudah 7 tahun menikah belum juga punya anak. Kamu gak kasihan sana Bima? Berhenti mengejar karir, waktunya kamu di rumah diam." Air matanya semakin deras saat mengingat hal tersebut. Kania bisa gila jika berlama lama di Bandung. Begitu dia sampai di rumah, Kania membuka kuat pintu rumah. "Selamat dat--" "Bawakan saya es limun ke kamar, Bi." "Baik, Nyonya." Kania langsung masuk ke dalam kamarnya dan menangis keras di sana. Dia tidak tahan dengan keluarga suaminya. Bukan Kania tidak bisa memiliki anak, tapi dia tidak ingin. Hamil membuat tubuh menjadi tidak indah, apalagi menjadi model adalah impiannya. "Kenapa pemikiran mereka sangatlah kolot?" Gumam Kania dalam tangisannya. Tidak lama kemudian terdengar pintu terbuka, itu suaminya. "Sayang, Ibu bilang kamu pulang sebelum acara selesai. Ada ap-- Hei….., kamu kenapa?" Bima langsung duduk di pinggir ranjang dan memeluknya erat Kania. "Kenapa, Ibu bilang apa lagi?" "Hiks…. Ibu bilang aku harus punya anak, Mas… kalau dituntut gitu terus aku gak bisa, kita mending pisah aja." "Jangan gila, Kania! Aku sayang sama kamu, cinta sama kamu. Dengan atau tanpa anak aku akan selalu bersama kamu." "Tapi keluargamu lain, Mas… hiks…." Kania melepaskan pelukannya. "Aku gak tahan." "Kamu bisa, jangan tinggalin aku. 10 tahun kita bersama, kamu mau ninggalin aku?" "Tapi keluargamu, Mas." "Abaikan mereka." Bima kembali menarik Kania dalam pelukannya. "Jangan menangis sudah, abaikan saja mereka. Aku bahagia hanya berdua denganmu." "Tapi kau butuh anak." "Aku hanya butuh kamu." Kania memejamkan matanya. Rasanya sangat sakit. Sampai dia mengingat perkataan ibu mertuanya, "Ibu gak mau tau, pokoknya Bima harus punya anak bagaimanapun juga." "Mas?" "Jangan tinggalin aku, Kania. Berdua denganmu sudah cukup." "Tidak, Mas. Kamu harus menikah lagi." Kania melepaskan pelukannya. Dan menatap manik sang suami. "Apa?" "Cari istri kedua, dengan begitu kamu akan mendapatkan anak dan juga tetap bersamaku." "Jangan gila, Kania! Kamu ingin diduakan?" "Kamu hanya perlu membuatnya hamil lalu setelahnya kembali padaku. Aku mohon, Mas. Hiks… hanya itu pilihannya, atau aku akan meninggalkanmu." "Jangan pernah meninggalkan aku!" "Kalau begitu kita cari wanita itu. Biar aku yang mencarikannya," ucap Kania menyeka air matanya dan bergegas mengambil ponselnya. "Kamu mau apa?" "Minta bantuan asistenku," ucapnya berjalan keluar kamar untuk menelpon. "Tunggu di sini." Dan alangkah kagetnya saat Kania melihat pembantunya ada di depan sana. "Astaga, Bi!" "Maaf, Nyonya. Saya mau antar limun ini." "Gak usah, bawa turun lagi." "Maaf, Nyonya. Saya mendengar percakapan anda tadi. Dan saya dengar kalau Nyonya mencari seseorang? Saya punya keponakan, Nyonya." Kania yang tertarik itu membalikan badannya. "Namanya Ratih, umurnya 18 tahun. Lulusan SMP. Ayahnya sakit, adik adiknya banyak. Jadi mungkin jika Nyonya berbaik hati, mau membantunya. Dia juga akan membantu keadaan Nyonya dan Tuan." "Bibi punya foto dia?" "Ada, Nyonya," ucap pembantu itu menyimpan dulu nampan untuk membuka dompetnya. Kemudian memperlihatkan foto zaman dahulu. "Ini saat dia berusia 14 tahun, Nyonya." "Anaknya manis, besok bibi pulang kampung. Bawa dia ke rumah sakit untuk pemeriksaan, nanti uangnya saya transfer." "Baik, Nyonya." **** Ratih kaget ketika bibinya tiba-tiba ulangi ke kampung dan mengajaknya ke sebuah rumah sakit. "Bibi Kenapa sih? Siapa yang sakit?" tanya Ratih yang tidak tahu apapun, tapi dari tadi tidak ada jawaban dari mulut sang bibi. "Bibi bilang dulu kita mau ke mana." Ratih melepaskan cengkraman tangan sang bibi yang mana membuat langkah mereka berhenti di tengah koridor rumah sakit. "Kamu harus diperiksa, katanya kan kamu sering sakit perut bagian bawah. Mumpung Bibi punya duit, Ayo Bibi mau obatin kamu." "Tapi aku udah diobatin sama Si Embah yang ada di sebelah, katanya itu hal yang wajar kalau buat perawan. Jadi enggak apa-apa enggak usah diperiksa juga." Bibi Endah menggelengkan kepalanya dan kembali menarik tangan Ratih untuk memeriksakan rahimnya. Bukan sekadar memeriksakan untuk membantu Ratih saja, Bibi Endah ingin melakukan tugasnya sebagai pembantu yang selalu menuruti kata majikan. Ketika diperiksa oleh dokter Ratih hanya terdiam, yang sering bertanya kepada dokter adalah bibinya sendiri. Tentang bagaimana kondisi rahimnya, seberapa subur rahimnya dan kemungkinan hamil yang membuat Ratih semakin bingung karenanya. Apalagi sang Bibi memberikan vitamin untuk penyubur kandungan, ketika Ratih hendak Bicara pun terus saja dihentikan. Sampai mengajak ke sebuah tempat makan di pinggir jalan. Ratih memiliki kesempatan untuk bertanya, "sebenarnya Apa tujuan Bibi melakukan hal ini? Memberikan aku obat penyubur kandungan untuk apa kan aku belum menikah Bi?" "Nanti Bibi jelaskan kalau udah ada di rumah. Sekarang kamu makan dulu." Ratih menatap soto yang ada di hadapannya, dia memang lapar tapi dia yakin kalau ada orang di rumahnya yang lebih lapar lagi. "Ratih mau dibungkus aja, Bi, buat adik-adik Ratih." "Nanti Adik Adik kamu Bibi bungkusin yang baru." Kalimat seperti itu saja mampu membuat hati tersenyum dengan bahagia. "Makasih, bibi." "Cepetan kamu makan dulu, habis ini kita ke rumah bibi." Ratih mengangguk menyetujui. Dia hanyalah seorang gadis kampung yang pendidikannya tidak setinggi orang-orang di kota dan orang-orang yang memiliki uang. Pekerjaannya serabutan, melakukan apa saja asal menghasilkan uang dan pekerjaan tersebut tidak melanggar norma-norma sosial. Begitu selesai makan, mereka kembali berjalan pulang. Sebelumnya Ratih mampir dulu ke rumah untuk memberikan soto kepada adik-adiknya. Setelahnya Ratih mengikuti langkah sang Bibi untuk menuju rumahnya. Di mana rumah sang bibi itu tidak dihuni oleh siapapun, mengingat bibinya berada di luar kota dan anak-anaknya sudah punya rumah sendiri. "Jadi Bibi mau ngomong apa?" tanya Ratih siap mendengarkan. Wanita yang lebih tua itu menarik nafasnya dalam dan sudah merangkai kata-kata di dalam pikirannya supaya Ratih mengerti dengan kondisinya dan juga kondisi sang majikan yang ada di kota. "Jadi gimana? Kamu mau nggak kerja di sana? Maksud Bibi menikah sama majikan bibi. Kamu jadi istri keduanya. Jangan khawatir kamu bakalan dilabrak sama istri pertama karena ini perintah langsung dari istri pertamanya. Dia ingin punya anak tapi dia tidak bisa melakukannya karena beliau seorang model." Ratih menatap bibinya yang sedang menjelaskan Apa yang harus dilakukan jika menerima tawaran ini. Menjadi seorang istri kedua, yang di tujuan kan untuk mengandung anak pasangan orang kaya tersebut. Bukan hal yang mudah, apalagi dalam pemikiran Ratih pernikahan itu bukanlah sesuatu yang bisa dipermainkan. Dia menarik nafasnya dalam dan memalingkan wajah. Sang Bibi meyakinkan. "Kalau kamu menerima tawaran ini, maka kamu akan terbebas dari hutang hutang kamu. Bapak kamu nggak usah kerja, dan adik-adik kamu juga bisa sekolah lagi. Kamu nggak mau hal itu terjadi?" "Bukan begitu, Bi. Masalahnya ini pernikahan yang seharusnya tidak dimainkan." "Mereka tidak mempermainkannya, Kamu dan Tuan Bima akan menikah secara resmi dan melakukan hubungan supaya membuahkan hasil." "Kenapa tidak Nyonya itu saja yang hamil dan memiliki anak sendiri? Darah dagingnya sendiri? Memangnya dia mau membesarkan anak Ratih nantinya? Seperti anak sendiri gitu?" "Ratih mereka itu pemikirannya udah jauh di atas kita. Bahkan banyak yang mengadopsi dan menyayangi mereka seperti anak mereka sendiri. Kamu nggak usah takut gimana nasib anak kamu nantinya karena bapaknya juga bakal mengawasi." Ratih menarik nafasnya dalam. "Enggak tahu Bi, kayaknya Ratih gak bisa nerima nawaran ini deh. Ratih gak bisa nikah sama orang yang belum Ratih kenal. Dan pernikahan ini sebatas pekerjaan saja bukan untuk menghasilkan anak?" "Pikirkan baik-baik, Ratih, lihat Bapak sama adik-adik kamu kelaparan. Kamu itu anak pertama dan seharusnya bisa menjadi tulang punggung keluarga. Sekarang Bibi tanya kamu sudah menghasilkan apa untuk orang tua kamu? Untuk adik-adik kamu?" Air mata Ratih hampir saja keluar, dia menggelengkan kepalanya dan langsung berdiri. "Maaf, Bi," ucapnya kemudian melangkah pergi dari sana. **** Ratih kembali ke rumahnya dengan pikiran yang masih terpaku pada percakapan sebelumnya. Di mana dia diharuskan menikah oleh sang Bibi dengan majikan yang ada di kota. Ratih menatap dirinya sendiri di cermin, dia tidak secantik itu untuk bersanding dengan orang-orang kota. Kenapa dirinya yang diminta menikah? kenapa tidak wanita yang lebih cantik dari nya di luar sana? Bukan hanya masalah merasa rendah diri saja. Ratih merasa pernikahan itu bukanlah hal yang baik kedepannya. Bagaimana nantinya dia akan mengandung anak dari majikannya sendiri kemudian memberikan anak itu kepada mereka, atau meskipun anak itu tetap bersamanya dan dibesarkan secara bersama-sama, Ratih mungkin akan merasakan sakit hati jika pria yang menikah dengannya tidak benar-benar menyayanginya. "Mbak! Mbak! Tolongin Mbak! Mbak tolongin!" Mendengar teriakan adiknya Ratih langsung berlari keluar dari kamar, dia terkejut ketika mendapati bapaknya sudah terbaring dengan hidung yang mengeluarkan darah. Ratih panik dan juga ketakutan ditinggalkan kembali oleh orang tuanya, Dia meminta bantuan warga untuk dibawakan ke Puskesmas. "Mbak ini gimana?" "Kamu pulang dulu ya, takut adik-adik kamu yang lain pulang dan gak ada siapa-siapa di rumah. Biar Mbak yang jagain bapak ." "Tapi aku juga mau jagain Bapak." "Nanti kamu ke sini lagi sama adik-adik yang lain, tapi pastiin Dulu mereka tenang dan makan. Bapak pasti baik-baik aja kok, percaya sama mbak," ucap Ratih mencoba menenangkan adiknya. Adik pertamanya itu akhirnya mengangguk kemudian pergi dari ruangan itu. Bahkan saking tidak memiliki uang, adiknya berjalan untuk pulang ke rumah. Padahal jaraknya cukup jauh. Ratih hanya bisa menggenggam tangan Bapaknya yang kini sedang diberi oksigen supaya tetap bernafas. Tangannya keriput, banyak bekas luka di telapak nya yang menjelaskan kalau seberapa keras sosok itu bekerja untuk keluarga. Ratih menangis sendirian di sana, dia tidak bisa apa-apa. "Keluarga pasien?" "Ya, Dok, saya, Gimana keadaan bapak saya sekarang ini? Apakah penyakitnya kambuh lagi?" "Ini harus dibawa ke rumah sakit sebelum semuanya parah, nanti saya minta rujukan mau?" "Saya enggak ada biaya, Dok. Kartu kesehatan juga nggak punya." "Waduh gimana ya, Soalnya ini bahaya. Apalagi harus segera dioperasi kasihan bapaknya. Untuk sementara ini bisa dirawat dan didoping dengan obat-obatan dulu, Tapi ke depannya pasti akan kambuh lagi dan seterusnya akan terus-menerus seperti itu Sampai tubuhnya benar-benar tidak bisa menerima apapun lagi. Alangkah baiknya jika dibawa ke rumah sakit, mungkin nanti bisa pergi ke Kecamatan untuk dibuatkan kartu kesehatan." Ratih mengangguk, dia merutuki dirinya sendiri yang tidak bisa apa-apa. Bahkan tidak bisa menghasilkan uang. Jika ditanya apakah dirinya memiliki kekasih, maka Jawabannya adalah tidak. Ratih tidak pernah mementingkan tentang percintaannya, dia lebih fokus untuk keluarganya. Pernah ada satu kali orang yang mengajaknya menikah, tapi dia juga sama kesusahan seperti Ratih dan Ratih tidak ingin bebannya semakin bertambah. Rata-rata orang yang di kampung hidup petani, dan Ratih takut fokus hidupnya terbagi. Apalagi saat ini bapaknya sangat memerlukan perhatian. "Mbak?" Ratih menoleh dan mendapati adik-adiknya telah datang. "Kenapa ke sini semua?" "Nanti juga pulang lagi kok soalnya di rumah nggak ada yang jaga. Tapi Mbak mesti pulang dulu deh, tadi dicariin bu Ami." "Kamu bawa baju dan makanan buat bapak?" "Bawa." Ratih mungkin tidak bisa lama-lama membiarkan bapaknya di Puskesmas juga karena tidak memiliki uang. "Tadi Bu Ami mau ngapain nyariin Mbak?" "Nggak tahu tapi kayaknya mau ngasih kerjaan deh." Ratih langsung berbinar. "Kamu jagain dulu bapak ya sama yang lain, nanti Mbak balik lagi ke sini kalau udah beres." "Iya mbak." Melangkahkan kaki menuju rumahnya itu cukup lama, Ratih sudah terbiasa dengan kakinya yang hitam dan juga memiliki banyak bekas luka. Wajahnya saja tidak terawat, ada beberapa bruntusan dan juga warna kulit yang tidak merata. Ditambah lagi rambutnya yang kusam, Ratih sudah tidak lagi memperhatikan wajahnya. Begitu tiba di kampung halamannya, dia langsung menuju rumah milik Ibu Ami. "Ibu tadi ke rumah saya ya? Ada apa Bu ada kerjaan lagi buat saya? Apa saya harus lembur lagi Bu?" Ibu Ami ini pemilik bisnis cilok, Ratih bekerja padanya setiap hari dari siang sampai sore, mengingat dari pagi sampai siangnya Ratih itu bekerja di sawah. Dan jika ada pesanan banyak yang mengharuskan dirinya lembur, maka Ratih selalu mendapatkan uang yang lebih. "Besok nggak usah datang lagi ya, Neng." "Maksudnya gimana ya Bu?" "Ibu baru aja beli mesin pencetak cilok sama penggiling nya, jadi beberapa karyawan di sini juga dipulangkan. Soalnya lebih efisien waktu dengan menggunakan mesin pencetak nya." Dada Ratih rasa dihantam batuk yang begitu berat. "Saya diberhentikan ya, Bu?" "Iya maaf ya, Neng, besok nggak usah datang lagi ke sini soalnya yang lain juga udah pada di rumah kan." "Memangnya tidak ada lagi pekerjaan untuk saya, bu? Apa saja hidup saya pasti bakalan nurut dan mau." "Maaf, Neng, Ibu lagi nggak butuh pekerjaan buat sekarang ini." Rasanya hati ingin menangis, tidak ada pekerjaan lagi. Terlebih sekarang sudah musim panen, tenaganya tidak diperlukan lagi. "Makasih, Bu," ucap Ratih sambil melangkah pergi dari tempat itu. Dia pulang ke rumahnya dan menangis seorang diri di sana. Hidupnya benar-benar penuh dengan rintangan, orang tuanya hanya mendapatkan penderitaan seumur hidup, belum pernah mendapatkan kesenangan sama sekali. Tok tok tok. Suara pintu itu mengalihkan perhatian Ratih, Dia segera menyeka air matanya dan membuka pintu. "Bibi?" "Katanya Bapak kamu masuk Puskesmas lagi ya?" "Iya, Bi, sakitnya kambuh lagi. Ibu Ami juga udah nggak butuh pekerjaan lagi. Ratih harus gimana sekarang?" "Bibi nggak tahu kamu harus gimana karena Bibi enggak punya uang juga. Tapi Bibi bisa nawarin kamu yang tadi itu." Ratih kembali terdiam yang membuat bibinya mengeluarkan beberapa lembar uang dari sakunya. "Ini buat bapak kamu. Nggak banyak tapi lumayan lah. Bibir lusa mau kembali lagi ke kota. Kalau kamu emang enggak mau ya udah enggak apa-apa. Tapi jangan egois lah tolong lihat Bapak sama adik-adik kamu. Yang menikmati uangnya juga mereka, yang enggak sengsara juga ya pasti mereka." ***** Ratih belum benar-benar menerima tawaran bibinya, dia masih mencari jalan lain dengan cara bekerja apapun. Ratih mencuci pakaian milik orang lain, mendagangkan dagangan milik orang lain, bahkan membagikan brosur. Namun uang tersebut tidak cukup untuk membawa Bapaknya ke rumah sakit. Ratih juga bekerja ke pasar dan mengangkut beberapa barang membantu para pedagang yang hendak pulang atau yang baru datang. Hari ini bapaknya kembali ke rumah, padahal dirinya belum benar-benar pulih dan baru satu malam dirawat di puskesmas. Namun bapaknya selalu berkata kalau mereka tidak punya uang dan tidak seharusnya berada di sana yang sama saja dengan menghamburkan uang yang ada. "Terimakasih ya, Neng, ini upahnya buat neng." Sore ini, Ratih mendapatkan uang Rp250.000 dari berbagai kegiatannya membantu orang-orang di pasar. Sebelum pulang Ratih memberi makan terlebih dahulu, dirinya memilih makan di tempat hanya dengan nasi dan tempe saja. Sengaja supaya orang-orang di rumah tidak melihatnya makan dengan hanya menu ini saja. Sementara yang dibawa ke rumah itu tumis tahu dan juga ikan tongkol. Setelah kenyang baru Ratih pulang ke kampung. Karena jarak dari pasar menuju rumahnya cukup lama juga, Ratih baru kembali saat matahari tenggelam. Keningnya berkerut ketika melihat ada banyak kendaraan di depan rumahnya. Begitu Ratih masuk dia melihat bapaknya sedang duduk sambil menundukkan kepala, jangan lupakan ada seorang pria yang berdiri di depannya sambil menunjuk-nunjuk bapaknya dengan begitu kasar. "Lu harus tahu diri ya! Kalau nggak punya duit nggak usah pinjem! Ini udah mau 1 tahun, dan elu nggak balikin duit itu sepeserpun! Gue bakalan Bawa ini ke kantor polisi karena lu udah ngelanggar perjanjian!" "Tunggu, Bang? ini ada apa?" "Hutang Mama sama bapakmu belum dibayar, sama punya bapak lu yang kemaren!" "Bukannya udah ya? Setengahnya lagi kan nanti kalau akhir tahun" "Itu cuma bunganya doang, sisanya belum dan sekarang makin gede karena nggak dibayar bayar." "Loh kok gitu, kan udah setengahnya dibayar. Hal yang harus dilaporkan ke polisi itu ya Abang karena udah jadi lintah darat!" "Berani ya lu!" "Ampun, Bang, ampun!" Bapaknya menghalangi Ratih yang hendak ditampar oleh pria berbadan besar tersebut. "Jangan Sakiti anak saya, saya akan cari duitnya." "Awas aja kalau dalam seminggu belum kembali itu duit, gue bakalan bikin lu menderita. Paham gak lu." "Paham, Bang." Kemudian ketika orang-orang itu pergi, adik-adiknya mulai keluar dari kamar dan memeluk Sang Bapak sambil menangis. Sementara si sulung mendekati adik pertamanya. "Mbak ini gimana?" "Kasihan bapak." Ratih melihat Bapaknya yang sedang menangis diantara anak-anaknya, hatinya teriris melihat hal tersebut. "Nggak papa, Mbak bisa cari duit buat bayar semua itu, buat bayar pengobatan Bapak sama buat bayar sekolah kalian semua." "Mbap mau ngapain? Udah dapat duitnya." "Hari ini juga Mbak dapet duitnya, Mbak mau ke rumah bibi dulu," ucap Ratih bergegas menuju rumah bibinya sebelum dia pulang besok hari. Sambil melangkah sambil air matanya menetes, Ratih mengusap air matanya dengan kasar. Sakit hati ketika melihat orang tua diperlakukan seperti itu, dadanya terasa sesak dan berulang kali Ratih terisak di perjalanan. Dia mengetuk pintu rumah sang bibi, sebelum akhirnya penghuninya keluar. "Ratih Kenapa kamu kesini malem-malem? Ada perlu apa?" "Ratih mau, Bi. Ratih mau jadi istri kedua, Tapi tolong kirim uang yang banyak buat keluarga Ratih di sini. Biarkan adik adik Ratih sekolah lagi, Dan tolong perhatikan Bapak Ratih sampai dia benar-benar sembuh." Bibi Endah menarik keponakannya untuk masuk ke dalam, membawanya duduk di sofa. Dia menggenggam tangan Ratih yang terasa sangat dingin. "Apa yang terjadi?" Kemudian Ratih menceritakan rangkaian kejadian yang membuatnya terasa sesak dan benar-benar membutuhkan uang untuk keluarganya. Bibinya juga memahami hal itu, itu sebabnya Dia meminta Ratih untuk mempertimbangkan penawaran tersebut karena hal ini hanya datang satu kali saja. "Bibi berangkat besok sore, jadi nanti pagi kamu harus ikut Bibi ke salon dulu. Biar kamu enggak kampungan amat." "Ratih nurut aja sama Bibi, Tapi tolong bapak..." "Bapak kamu bakalan baik-baik aja. Percaya sama bibi dan serahin semuanya ya?" "Uangnya bisa dikirim sekarang biar Ratih bisa lihat sendiri?" "Kamu harus cepat-cepat ke kota makanya biar Nyonya langsung kirimin uangnya buat keluarga kamu." bibi Endah kemudian mengeluarkan uang senilai 10 juta miliknya. "Bilang aja kalau ini dari calon suami kamu yang ada di kota, Tapi dia nggak bisa datang karena banyak kerjaan. Dan pernikahan pun akan dilakukan di luar kota Biar mereka nggak usah datang. Pokoknya kamu harus berbohong sama mereka. Gimanapun ceritanya." "Tapi tadi nggak mau berbohong tentang pernikahan itu, apalagi nanti semua orang tanya darimana Ratih dapat duit." "Ya udah bilang aja Kalau kamu emang nikah sama orang kota, tapi jangan harap kalau Tuan bakalan datang ke sini karena dia nggak tahu apa-apa. Semua ini yang mengurus nyonya Kania." Ratih menganggukkan kepalanya paham. "Boleh duitnya ini dibawa dulu? Ini punya Bibi kan?" "Iya tapi nanti Bibi minta ganti aja sama nyonya. Kamu mau pulang." "Iya mau ngasih ini sama adik-adik sama bapak juga. Sambil Mau ngomongin kepergian Ratih besok ke kota." "Bilang tapi jangan bilang tentang kamu jadi istri kedua, mereka udah mau bantu kamu dan kamu harus menutupi keburukan mereka." Ratih mengangguk paham, dia memeluk bibinya sambil menangis. "Makasih, bibi." **** Berita tentang Ratih yang akan menjadi istri seorang pengusaha di kota itu langsung merubah kemana-mana, apalagi di kampungnya. Semua gosip itu semakin menjadi-jadi di saat Ratih baru pulang dari salon dengan penampilan yang lebih menarik, rambutnya kini rapih warna kulitnya lumayan merata dan wajahnya bersinar begitu cantik. Seolah seperti berlian yang baru saja dicuci yang sebelumnya ditemukan dari lumpur. Ratih benar-benar menjadi pusat perhatian apalagi sebuah mobil mewah berhenti di depan rumahnya. Itu adalah seorang sopir kiriman Nyonya Kania untuk menjemput Ratih. "Bapak mau ketemu sama calon suami kamu." "Nggak bisa karena dia lagi banyak kerjaan." "Bener ya kamu ketemu sama dia di pasar? Terus dia sering ngobrol-ngobrol sama kamu?" "Iya, bapak, Pokoknya dia itu orang kota yang sebelumnya sering mampir ke sini tapi sekarang udah nggak bisa lagi karena kerjanya juga di luar negeri. Kasihan ibunya udah tua dan mau anaknya cepat nikah makanya Ratih dibawa sekarang, Bapak jangan khawatir karena Ratih bakalan baik-baik aja di sana." Rangkaian Kata diucapkan oleh Ratih supaya bapaknya tidak lagi hawatir. Ratih sendiri merasa menjadi anak yang penuh dengan kebohongan karena telah melakukan hal ini pada bapaknya. Mendengar terjaminnya Sang Bapak akan kesehatannya dan juga adik-adiknya yang kembali bersekolah, Ratih merasa hal itu sudah cukup. Dia rela berkorban untuk mereka. Dia hanya perlu ke kota menikah lalu mendapatkan keturunan untuk mereka yang kaya. Di luar rumahnya ada beberapa orang yang silih berganti berjalan hanya untuk melihat mobil mewah yang ada di depan rumahnya. Bahkan beberapa tetangga bertanya kepada sopir yang sedang menjaga mobil. Sopir itu juga Tidak segan mengatakan kalau orang yang dijemputnya adalah calon nyonya besar yang akan tinggal di rumahnya. Saat Ratih keluar, dia kaget dengan banyak orang yang ada di sekitar rumahnya. "Aduh Neng Ratih sekarang mau nikah ya? Dibawa sama calon Suaminya ke kota. Enggak nyangka kalau dapatnya ternyata juragan kaya. Selamat ya Neng." "Memang ningrat hidup cantik cuma kalangan aja karena kemarin-kemarin mah dekil. Sekarang mah bener-bener Kelihatan banget kalau wajah kota gitu, pantes kalau itu juragan kepincut." "Enak banget ya hidupnya jadi Neng Ratih, langsung jadi Nyonya seketika dalam satu malam." "Dengar-dengar juga rumah ini bakal direnovasi ya. Aduh Neng Ratih sekarang jadi juragan Disini. Nanti kalau ke sini lagi mampir ya, Jangan lupa ajak suaminya." Begitu kalimat-kalimat yang dilayangkan kepadanya, memperjelas kalau mereka semua itu kagum padanya sekaligus iri. Padahal kehidupan Ratih tidak seindah yang mereka bayangkan, dia bahkan tidak tahu apa yang akan dijalaninya kedepan nanti. "Ternyata yang jadi suaminya Neng Ratih itu majikan Endah ya? Aduh enak banget punya Bibi sekarang jadi pembantu sendiri. Benar-benar Nasib itu gak ada yang nyangka ya?" "Terima kasih," Hanya itu yang bisa dikatakan kepada orang-orang yang ada di luar sana Ratih berpisah dengan bapak dan juga adik-adiknya. Dia memeluk mereka sebelum akhirnya berpamitan. Ratih menarik nafasnya dalam dan masuk ke dalam mobil di mana sang bibi sudah ada di dalamnya. Sepanjang perjalanan Ratih hanya terdiam dan mendengarkan apa perkataan sang bibi. Di mana dia harus menghormati majikan sebagai istri pertama dan juga sebagai orang yang melakukan semua ini untuknya. Status Ratih nantinya mungkin akan sebagai istri kedua, tapi Nyonya Kania tetap menjadi majikan mereka. "Pokoknya kamu harus nurut sama beliau. Dan apapun yang beliau katakan, apapun yang beliau perintahkan kamu harus nurut. Terlepas apapun itu oke?" "Iya Bibi. Ratih paham," ucapnya sambil menatap keluar jendela mobil.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
11.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.3K
bc

My Secret Little Wife

read
92.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook