Bab 1

1060 Words
"Ini resep untuk ibu bulan ini," Dika menyerahkan selembar kertas putih bertuliskan resep untuk penyakit leukimia yang diidap ibu sejak satu tahun yang lalu.   Jihan menerima resep itu dan mulai membaca satu persatu jenis obat yang dituliskan dokter.   "Harus hari ini, bang?" Tanya Jihan kepada abangnya yang sedang asyik menonton televisi.   Dika melihat ke arah Jihan lalu menyunggingkan senyum sinisnya, "Iya, kalau kamu mau ibu tetap hidup, tebus resep itu dan kasih minum ke ibu sekarang juga," teriak Dika dengan nada tinggi.   "Tapi Jihan belum gajian, bang. Lagipula gaji Jihan sudah habis untuk membayar pinjaman bulan lalu," ujar Jihan menjelaskan ke Dika. "Terus, harus abang yang menebus resep obat itu?" bentak Dika dengan lebih kasar.   Jihan menghela napas, punya abang kandung mau enaknya saja, tidak pernah kerja dan hanya tidur-tidur di rumah atau main game. Semua kebutuhan hidup keluarga ini dia yang menanggung semenjak ayah mereka meninggal dunia, "Buruan!" teriak Dika. Jihan dengan langkah gontai meninggalkan rumah, mau cari uang  di mana sedangkan ini masih awal bulan saja keuangannya sudah menipis dan kalau ingin menebus obat Ibu harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Jihan melangkahkan kakinya menuju rumah sahabatnya. Kikan, sahabat yang dikenalnya di toko tempat mereka bersama-sama bekerja.   "Mudah-mudahan Kikan bisa pinjamin aku uang," batin Jihan. Tok tok tok. Jihan mengetuk pintu kontrakan Kikan. "Kikan ada?" tanya Jihan kepada pria asing yang wajahnya seperti keturunan arab. "Sebentar." Pria itu kembali masuk setelah mempersilahkan Jihan untuk duduk di ruang tamu. Sebenarnya Jihan baru sekali ini datang ke rumah Kikan dan dia kaget melihat kontrakan yang lumayan mewah, Jihan kira kontrakan Kikan hanya sebuah kamar sederhana, tapi rumah ini lebih dari kata sederhana. "Hai," sapa Jihan basa basi. "Wah dalam rangka apa lo ke sini, tumben amat."  Kikan dengan hanya memakai daster duduk di samping Jihan dengan wajah antusias kenapa temannya sampai datang ke rumahnya. "Lo sibuk?" tanya Jihan. "Mmmm nggak sih cuma habis kelonin Husein," kata Kikan pelan. "Lo sudah menikah?" tanya Jihan kaget. "Ya bisa dibilang begitu," kata Kikan acuh tak acuh. "Tapi di CV Io bilang single," Jihan semakin heran, dulu Jihan sempat membaca CV Kikan dan di sana tertulis Single. "Sttttsss jangan kepo, udah deh buruan bilang maksud kedatangan Io, nggak mungkin buat jengukin gue saja kan?" tanya Kikan to the point. "Gini... aduh gimana ya, gue malu sebenarnya... kalo nggak butuh-butuh amat gue segan sama Io," Kikan tersenyum dia tau apa maksud dan inti perkataan Jihan. "Mau berapa?" tanya Kikan langsung. "Emangnya Io tau gue mau apa?" tanya Jihan balik. Kikan tersenyum tulus melihat keraguan yang dipancarkan wajah Jihan saat mengutarakan maksud kedatangannya. "Tau dong, mau minjam duitkan?" balas Kikan langsung tahu maksud kedatangan Jihan ke rumahnya. "1ya, tapi gue nggak janji kapan bisa bayarnya, ini buat nebus obat Ibu gue," balas Jihan lemah. "Berapa sayang... ih ditanyain malah nggak jawab." "Rp 1.000.000,00," kata Jihan sambil menunduk malu. "0ke sebentar," Kikan kembali masuk ke dalam kamar dan tanpa sengaja pembicaraannya dengan Husein didengar Jihan. Jihan mendengar pembicaraan Kikan dengan Pria bernama Husein, Jihan menangkap kata-kata kontrak atau apa gitu, tapi dia tidak mau terlalu ingin tau nanti bisa dibilang terlalu ikut campur. "Ini Rp 1.000.000,00 santai saja, kapan ada Io duit baru balikin." "Terima kasih, kalo nggak ada Io gue nggak tau harus bagaimana lagi, Ibu gue sakit parah dan membutuhkan biaya banyak, sedangkan Io tau kerjaan kita gajinya berapa, cuma cukup buat makan," kata Jihan sedih. "Beib... Io mau ikut cara gue untuk bertahan hidup?" tanya Kikan "Apa?" tanya Jihan antusias. "Istri Bayaran," kata Kikan to the point. **** "Gila memang si Kikan, rela jadi istri bayaran buat nutupi kebutuhannya," kata Jihan ketika akhirnya dia pulang dari rumah Kikan. Jihan menolak rencana gila Kikan, apa kata orang dan keluarganya kalau tau dia jadi istri bayaran. Ibunya bisa shock dan kesehatannya jadi taruhan. "Nggak ... semiskinnya gue, gue nggak akan menjual harga diri gue hanya demi uang," tekad Jihan semakin kuat untuk mencoba mencari pekerjaan lain, kerja malampun akan dia lakukan asal dapat membantu keuangan keluarga. Jihan tidak sadar kedatangannya ke rumah Kikan mengubah seluruh jalan hidupnya. Satu minggu berlalu, Jihan masih bekerja banting tulang memenuhi kebutuhan Ibu dan abang parasitnya, entah berapa banyak tetesan keringat yang didapat untuk membantu keluarganya. "Lo kenapa sih membuat diri Io menderita demi hanya ratusan ribu rupiah," kata Kikan ketika melihat Jihan sibuk memasang koyo di punggungnya. "Ya terpaksa, demi keluarga," balas Jihan antusias "Ya tapi nggak gini juga kali, kerja dari jam 7 pagi pulang jam 1 malam, lama lama Io bisa tepar, Io jugakan yang susah, mending ikuti cara gue, nggak butuh keringat cuma "Desahan"" kata Kikan pelan "Gila! Lo ngajak gue jadi p*****r," kata Jihan marah "Yeeee bukan kelesss, lagian kami menikah kok, ya walau siri, tapi semua kebutuhan ditanggung." "Tapi sampai mereka dideportasi, setelah itu bagaimana? Bagaimana kalo Io bunting? Gue nggak mau!" "Namanya juga Pengantin Bayaran, ya siap terima resiko Iagian ya zaman sekarang udah ada a**************i buat apa takut hamil," balas Kikan asal. "Pokoknya nggak mau ... amit-amit!"kata Jihan dengan yakin. Drttt Drttt ponsel Jihan tiba-tiba berdering. "Ya Bang." "Buruan pulang! Ibu masuk rumah sakit" "Ibu kenapa Bang" "Pulang! " teriak  Dika. "Iya iya Jihan pulang sekarang" Jihan mulai panik. "Kikan lo gantiin gue ya, Ibu masuk rumah sakit." "Iya jangan kuatir, sana buruan samperin Ibu lo," Jihan berlari menuju rumah sakit, jantungnya tak berhenti berdetak mengingat keadaan Ibunya yang sudah sangat parah. Sesampainya di rumah sakit Jihan melihat Dika sedang menunggu di samping ranjang ibunya sambil memegang ponselnya. "Bagaimana Ibu Bang?" "Lo lihat sendiri," Jihan melirik Ibunya yang seperti mayat hidup, obat-obatan sudah tidak sanggup menahan sakit yang dia rasakan. "Dokter bilang Ibu harus operasi," ujar Dika langsung. "Operasi? Darimana biayanya bang," kata Jihan pilu. "Nggak tau... Arghhhhhh Ibu sih pake acara sakit segala, bikin susah orang saja!" Gerutu Dika "Bang! Jaga mulut abang, walau bagaimana pun dia Ibu kita!" "Tapi lo ada  uang buat biaya operasinya? Kita ini miskin mana bisa bayar uang operasi yang puluhan juta itu, oke kita bisa urus kartu miskin tapi kita masih harus keluarkan uang banyak!" balas Dika sambil mengacak rambutnya dengan kesal. "Aku yang akan usahakan, abang di sini saja jaga Ibu, apapun akan aku lakukan asal Ibu bisa dioperasi secepatnya, ingat pesan aku bang jangan tinggalkan Ibu!" Jihan panik dan dia tak peduli dengan apapun. Jual diripun akan dia lakukan asal ibunya bisa sehat kembali seperti dulu. Sudah cukup kehilangan ayah karena sakit yang sama jangan sampai ibu juga. **** Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD