Dua.

1077 Words
Fajar meraih piring berisi nasi itu, memakannya sampai tandas karena perut itu belum diisi dari kemaren. Setelah puas makan sampai kenyang, dia melepaskan sendawanya tak peduli dengan adanya Raya di dalam kamar itu. Bergolek di lantai kemudian tertidur pulas. Raya melepaskan tangisnya, Fajar laki-laki tak beretika, tak tau malu dan menuhankan uang. Kenapa laki -laki seperti itu yang harus diberikan ayahnya untuk menjadi suaminya? Lihat lah dia! dengan santai dia makan dan tidur seenaknya. Raya memukul-mukul perutnya, berharap janin milik Marsel keluar dari sana. Dia ingin mati setelah pemerkosaan yang berujung hamil diluar nikah. Dia jijik dengan semua yang terjadi padanya, dia begitu kotor dan hina. Semua karena laki-laki yang tertidur santai di depannya. Fajar tidak memikirkan apa akibat yang didapatkannya dari perbuatannya itu, alkohol itu lah yang membuatnya mabuk sehingga diperkosa oleh Marsel. Semua ini salah Fajar, laki-laki sial yang selalu menerornya selama ini. Hidupnya aman aman saja sebelum bertemu manusia yang bernama Fajar, setelah kedatangan pria itu semuanya menjadi berantakan. Raya merebahkan dirinya masih memukuli perutnya, dia sudah melakukan berbagai cara agar janin itu keluar. Memakan tapai sebanyak -banyaknya sampai badannya demam, memakan semua yang merupakan pantangan bagi ibu hamil agar janin itu gugur dengan sendirinya, namun dia melekat erat di rahimnya bagaikan melekat eratnya rasa benci dihatinya kepada Fajar. Raya memiliki mimpi yang sempurna, yang sudah dirangkainya jauh-jauh hari. Jatuh cinta dengan orang yang tepat, menikah dengan tema adat Minang, kemudian menjadi ibu rumah tangga yang hanya bekerja melayani suami dan mengurus anak. Sekarang mimpi itu hancur sudah, dia belum jatuh cinta kepada Marsel, hubungan mereka baru dalam tahapan penjajakan walaupun resmi pacaran, bahkan Marsel adalah pacar pertamanya, namun dengan sekejap pria itu menghancurkan dirinya. Raya bangkit dari tidurnya, dia sangat marah, dengan keberanian yang penuh dia menendang sekuat hati tubuh tinggi kekar yang tergolek di lantai itu. "Pergi! " Dia menendang sekali lagi hingga Fajar terbangun. Fajar menangkap betis Raya, menariknya sehingga gadis itu terjengkang dengan p****t lebih dulu mendarat di lantai, Fajar tidak peduli dengan bayi di perut wanita itu, jika dia keguguran mereka bisa langsung bercerai setelahnya. "Wanita gila, kenapa kau menendangku?" Fajar duduk, dia baru tidur sepuluh menit, tapi wanita gila itu menganggunya dengan sebuah tendangan, betapa kurang ajarnya dia. "Kenapa kau kembali? Aku tidak ingin melihatmu." Raya berteriak di depan wajah Fajar. Fajar mendecih malas. "Hei kau, kau kira aku kembali karena keinginanku? Tua bangka yang merupakan ayahmu yang menyeretku ke sini, jangan terlalu percaya diri!" Raya bangkit meraih depan jaket Fajar, memukul d**a itu sepuas hati. "Kau teman b******n itu, jangan tunjukkan wajahmu padaku! aku ingin membunuhmu, aku ingin membunuhmu ... huuua." Tangisnya pecah memenuhi seisi kamar, Fajar menggeleng sinis. "Pantas saja Marsel mencampakkanmu, ternyata kau wanita yang mengerikan." Raya melompat ke hadapan Fajar lalu mencakar lehernya, meninggalkan bekas luka yang memanjang dan mengeluarkan darah, awalnya Fajar diam saja, namun karena wanita itu semakin menggila dia menangkap tangan Raya, memandang mata basah Raya penuh benci. "Jangan paksa aku berbuat kasar!" Fajar melepaskan tangan Raya dengan kasar, gadis itu berlari menuju mejanya dan meraih sebuah benda tajam untuk melukai dirinya. Mata Fajar terbelalak saat Raya mulai nekad menggoreskan pisau itu ke nadinya, sekali lompat Fajar berhasil menyingkirkan pisau itu dengan pukulan tangannya. "Biarkan aku mati, biarkan aku mati!" Dia kembali memukuli Fajar, dia sangat putus asa saat ini, beribu kali dia berfikir tapi jawabannya tetap sama, dia tidak bisa memelihara janin itu dan tidak mau menerima Fajar sebagai suaminya. Fajar membiarkan tangan Raya kelelahan, sampai pukulannya berangsur melemah. Dia merosot ke lantai masih dengan tangisnya. Wanita yang kacau itu tidak peduli dengan dirinya sendiri. Seharusnya, Fajar tidak usah dilibatkan lagi dengan keluarga Raya, seharusnya cukup masa lalu menjadikan dia sebagai anak kecil yang menyedihkan. Dia masih ingat wajah itu, wajah yang tidak banyak berubah milik ayah Raya. laki-laki yang dulu berselingkuh dengan ibunya, laki-laki yang membuat ibunya meninggalkan ayahnya yang sekarat, laki-laki yang membuat dia memiliki ibu tiri yang kejam. Lalu kenapa dia yang harus dihukum dan dijadikan tumbal penutup malu keluarga yang sangat dibencinya? Ibunya ... entah di mana keberadaannya sekarang, mungkin sudah memiliki mangsa baru yang lebih kaya, atau sudah dicampakkan laki-laki lain karena pasti dia sudah tua saat ini. Itulah alasannya membenci keluarga Raya, ayah Raya yang awalnya bersifat sebagai malaikat memberi pinjaman uang sebagai modal usaha untuk keluarganya. Hutang itu sampai sekarang belum dibayar, namun ayah Raya mengambil jaminan yang lebih mahal, ibunya ... ibunya yang bodoh yang jatuh cinta dan berselingkuh dengan laki-laki kaya yang tak lain adalah ayah Raya. *** Dua orang yang saling membenci, saling diam karena merasa sama -sama lelah lalu saling membuang muka. Dari tadi Fajar mengamati kamar Raya, mencari celah untuk kabur, namun kamar itu lebih kokoh dari sebuah penjara. Setiap jendela di lapisi besi padat berupa terali yang sangat kuat. Fajar harus mencari akal untuk melarikan diri. Tiba-tiba pintu terbuka kasar, seonggok baju dilempar dari luar oleh penjaga pintu. Suara besar berseru dari luar. "Bung, kau harus mandi, itu pakaian gantimu." Pintu kembali ditutup kasar, Fajar memungut baju dan celana itu. "Heh, dimana kamar mandimu?" Raya tidak menanggapi, dia diam saja memandang keluar jendela. Fajar mendecih. "Bahkan dengan keadaanmu yang sekarang kau masih bersikap sombong, kesialan apa yang menimpaku sehingga harus terlibat dengan keluargamu," celoteh Fajar. Raya memandangnya tajam, kemudian kembali tidak peduli, dia memalingkan wajahnya kembali. Dia tidak peduli dengan Fajar, tidak peduli dengan apapun yang akan dilakukan pria itu. Fajar yang dicuekin mendecih malas, kemudian meraup baju baru yang dilempar kasar oleh penjaga pintu. Dia mengamati kamar besar Raya sekilas dan menemukan pintu bewarna putih yang diyakini sebagai kamar mandi pribadi wanita itu. Fajar tidak mau tau dan tidak akan meminta izin terlebih dahulu pada pemiliknya, dia sekarang memang harus mandi. Debu jalanan dan baju lusuh itu sudah tidak layak untuk dilihat. Fajar mendorong pintu itu sedikit, dia bersiul takjub dengan kemewahan kamar mandi milik Raya, sebuah Jacuzzi bewarna putih persis seperti yang dilihatnya di film film, dengan santai Fajar meloloskan seluruh pakaiannya, melompat kedalam jacuzzi itu yang sebelumnya diisi dengan air hangat. Ini benar-benar nyaman, batin Fajar. Menjadi orang kaya memang enak, tempat mandinya saja lebih mahal dari harta warisan turun temurun nenek moyangnya, bahkan sabun yang mereka miliki tidak dijual di pasar tradisional. Fajar tertawa pahit, ini kemewahan yang dikejar ibunya dulu sehingga tega meninggalkan keluarganya sendiri. Satu yang tidak bisa dicerna oleh Fajar, rumah besar ini hanya dihuni laki-laki yang merupakan pengawal yang dimiliki ayah Raya. Ketika ijab kabul pun Fajar tidak melihat ibu wanita itu, keluarga Raya penuh misteri dan tidak terduga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD