Empat.

1339 Words
Fajar berfikir sesaat, tak ada salahnya mereka saling memanfaatkan, terkurung dengan wanita gila itu hanya akan membuat umurnya berkurang karena terus marah -marah. "Baiklah ... sepakat," jawab Fajar, Raya langsung membuka lemarinya, mengambil sepasang pakaian dan memasukkan ke dalam tasnya. "Lewat sini!" Raya mendorong lemari pakaiannya. Ajaib, ada pintu rahasia yang berada persis di belakang lemari itu. Pintu itu ditemukan Raya tidak sengaja sewaktu dia SMA dulu. Fajar langsung menyelinap mengikuti Raya, mereka melalui sebuah tangga kecil yang berbelit-belit, penerangannya sangat minim dan mengeluarkan bau apek yang aneh. Fajar tidak peduli, wanita di depannya berlari dengan gesit sampai akhirnya mereka sampai di ujung lorong. "Kau laki-laki, dorong pintu besi itu!" perintah Raya Fajar tidak menjawab, sekali dorong pintu itu bergeser, Raya keluar lebih dulu dan kemudian diikuti oleh Fajar. Mereka berguling di semak belukar, bahkan Fajar tidak tau dimana posisi mereka saat ini, begitu asing dan terpencil. "Tutup mulutmu! nyamuk akan dengan senang hati bersarang di sana, kita tidak punya waktu untuk berfikir, ayahku akan menyadari bahwa kita sudah kabur, cepat!" Raya bergerak gesit. Fajar baru tau, gadis yang terlihat lemah dan manja itu cukup berani dan kelihatan gesit. Mereka sampai di jalan setapak yang tidak berpenghuni, berjalan tegesa-gesa sambil mengamati situasi. Mereka terus berjalan tanpa tujuan yang jelas, Raya memiliki keyakinan bahwa jalan kecil ini akan membawa mereka ke jalan raya. Benar saja, sepuluh menit kemudian mereka sampai di jalan aspal yang tidak begitu besar. Kendaraan lewat sesekali, rata-rata kendaraan yang membawa hasil pertanian. "Kita harus mencari cara agar menjauh dari tempat ini, bisa saja orang-orang ayahku sudah menyadari kaburnya kita dan berkeliaran di sekitar sini." Raya menutup kepalanya dengan topinya, menyamarkan sedikit wajahnya. Fajar tidak kehilangan akal, mereka harus mencari tumpangan jika ingin selamat. Dengan percaya diri Fajar menyetop mobil bak terbuka yang berisi hewan ternak, mobil itu berhenti dan dipandangi Raya dengan mulut menganga. "Kau bercanda?" "Aku dengan senang hati meninggalkanmu jika kau tidak mau naik," ketus Fajar. Bunyi klakson tak sabaran mengingatkan mereka. Raya sekali loncat naik di mobil bak itu dengan Fajar, berbaur dengan sapi-sapi yang penuh kotoran. *** Raya menutup hidungnya saat perutnya bergejolak hebat, bau kotoran sapi sangat pekat dan menusuk hidungnya, belum lagi sapi itu mengibaskan ekornya ke depan wajah Raya. Fajar menjadikan pemandangan itu sebagai hiburan, dia tidak berhenti tertawa sambil memegang perutnya. "Hoeeekkkk." Akhirnya Raya memuntahkan isi perutnya keluar bak mobil, Fajar mendengus jijik melihat muntahan itu terbang dan berceceran di jalan. Mobil melaju kencang membelah jalan kecil yang hanya muat dilewati dua mobil yang berselisih, sekarang bahkan sudah jam dua pagi, udara pun dingin membekukan tulang. Dua jam kemudian mereka berhenti di simpang tiga arah ke kota. Fajar sengaja berhenti di sana, jika mereka ke kota sama saja mengantarkan nyawa ke ayah Raya. Raya menggosok kedua tangannya yang terasa beku, jalan ini sangat gelap dan mereka mengandalkan cahaya minim dari lampu senter yang ada pada HP Fajar. "Membawamu sangat menyusahkan," ketus Fajar. "Seharusnya kau berterimakasih padaku, karena aku berhasil membantumu kabur." "Tapi aku tidak berharap kau ikut kabur juga, kau sudah enak di istana megahmu, entah apa yang ada di pikiran bod*hmu itu sehingga berniat ikut." "Kau tuli atau pikun? sudah kubilang, aku ingin lepas dari kekangan ayahku. " "Dasar manja, ada yang enak malah nyari yang susah." "Terserah padamu." Fajar tidak menghiraukan Raya yang terus mengekor di belakangnya, apa dia pikir ini liburan atau piknik? jika Fajar membawanya bagaimana dia bisa memberi makan gadis manja itu? dia saja tidak bisa memberi makan dirinya sendiri, Sarjana pengangguran sepertinya tidak memiliki keahlian apa-apa selain lengan yang berotot dan tubuh yang kuat. Mereka sampai di pemukiman penduduk, rumah-rumah panggung yang terbuat dari kayu dan memiliki penerangan seadanya. Tidak banyak, ada sekitar enam buah rumah yang berjarak kira-kira dua puluh meter satu sama lain. Mereka duduk di alun-alun di samping lapangan sepak bola, menunggu pagi datang dan mencari pertolongan. Raya meletakkan tasnya untuk dijadikan bantal, merebahkan kepalanya di sana sambil mengapit kedua tangannya di antara paha karena kedinginan. Tak butuh waktu lama Raya tertidur kelelahan. Fajar menguap beberapa kali, dia tidak tahu kenapa Raya nekad mengikutinya, dia seorang Putri manja kaya raya yang memiliki apapun yang dia inginkan. Apa yang ada dipikiran Raya sehingga mau meninggalkan kenyamanan itu. Fajar tidak tau, dia tidak mengenal Raya dengan baik, mereka sudah terlahir dengan sifat saling bermusuhan. Fajar tak kuasa menahan kantuknya, tanpa dia sadari tubuhnya tergolek di samping Raya. Dua anak manusia yang sama-sama tidak beruntung itu tertidur pulas karena kelelahan. Fajar menggulung dirinya seperti janin untuk menciptakan kehangatan sendiri. Beberapa jam tertidur, Raya bangun lebih dulu, matanya membola melihat wajah Fajar yang persis di depan matanya. Dalam hatinya Raya mengakui Fajar adalah pemuda yang tampan dan rupawan, namun kepribadiannya yang kasar dan arogan membuat dia dicap jelek dimana pun dia berada, orang takkan percaya jika melihat wajah yang polos di depannya jika bangun akan selalu mengeluarkan kata-kata menyakitkan. Raya beranjak dari tidurnya, berjalan keluar dari lapangan, dia berjumpa dengan beberapa orang ibu-ibu yang membawa baskom penuh cucian, sepertinya mereka akan pergi ke sungai yang sempat dilihat Raya sebelum sampai di sini. "Maaf, Bu. Boleh nanya?" Si ibu memandang temannya, lalu memandang Raya dengan heran. "Nama saya Raya, saya dengan suami tengah mencari tempat tinggal sementara di kampung ini, ada tidak ya, Bu? rumah kosong yang bisa dihuni?" Raya menunggu penuh harap, kampung ini cukup terpencil dan cocok untuk melarikan diri. Si ibu berfikir sejenak berunding dengan kawannya. "Ada, rumah lama saya, memang kecil dan agak reot, tapi masih layak di huni." "Benarkah, Bu? Berapa sewanya sebulan?" "Nggak usah disewa, dihuni saja sambil dirawat, nanti saya antar ke sana setelah mencuci." "Baik, Bu. Kami akan tunggu di sini." Raya mendekati Fajar yang masih bergelung memeluk dirinya, dengan sekali tendangan Fajar bangun kaget bercampur marah. "Wanita gila, kenapa kau selalu menendangku, ha?" Raya mulai terbiasa dengan teriakan itu tertawa kecil. "Kau tidur seperti kerbau, aku sudah mendapatkan rumah untuk tempat tinggal kita." Raya mengambil tas punggungnya. "Tempat tinggal kita? Siapa kau seenaknya mengatur hidupku." "Aku istrimu, setidaknya itu yang diketahui orang kampung ini." Raya tertawa menang. "Kau ini benar-benar, ya?" Fajar mulai tak sabar dengan Raya. "Terserah maumu, kalau kau ingin mati dibantai ayahku, kau boleh pergi, tapi aku lebih memilih untuk tinggal di rumah kosong salah seorang warga yang baru aku temui." Fajar tak punya pilihan lain selain menurut, lagi pula dia tidak punya rumah, sejak ibu tirinya bersekongkol menjebaknya dengan menikahi Raya, dia mengharamkan kakinya menginjak rumah itu. Satu jam menunggu, Raya berlari kecil saat ibu pemilik rumah muncul dari ujung jalan. Melambaikan tangan kepada Raya agar mengikutinya. Tidak berfikir lama dua orang itu berjalan ke mana ibu itu melangkah. "Baru menikah ya, Dek? Kelihatan masih muda." "Iya, baru seminggu, kami hendak bulan madu namun dirampok di tengah jalan dan terdampar di sini," bohong Raya. Fajar terbatuk-batuk dengan sandiwara gadis itu. "Kasihan, ya, berapa umurmu, Dek?" "Saya 24, suami saya 30 tahun." Raya mengejek Fajar. Laki-laki itu melotot marah, dia belum setua itu, akhir tahun ini umurnya baru 25. Raya sengaja membalas setiap ejekan Fajar. Mereka tiba di sebuah rumah kayu yang tidak begitu besar namun memiliki pekarangan luas, halamannya masih bersih dan seperti belum lama ditinggal. Rumah kayu itu cukup bersih dan terawat walaupun umurnya sudah tampak tua, Bu Asni nama pemilik rumah itu membuka pintu kayu yang mulai lapuk terkena air hujan. Fajar mengikuti malas-malasan di belakang, Raya mengamati rumah itu sejenak, masih ada beberapa perabotan yang tersisa, meja makan sederhana, kursi santai dan sofa lusuh, lemari tua serta alat-alat memasak yang tak kalah tuanya. "Kamarnya ada dua, tapi yang ada tempat tidurnya cuma satu, yang satu lagi saya bawa ke rumah baru." "Nggak apa-apa, Bu. Ini sudah cukup bagi saya," ucap Raya. "Oh ya, Dek, untuk air bersih buat minum dan memasak diambil di sumber air bersih sekitar lima puluh meter dari sini, untuk mandi dan mencuci semua warga pergi ke sungai." "Saya mengerti, terimakasih banyak ya, Bu. Saya akan merawat rumah ini semampu saya." "Baik, saya tinggal, ya!" "Iya, Bu." Raya mengantar Bu Asni sampai pintu. Setelah itu dia menatap tajam Fajar yang malas-malasan di sofa lusuh itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD