Sedikit Harapan

1016 Words
"Ya Tuhan, apa aku sedang berada di surga saat ini? Aku seperti melihat malaikat tak bersayap yang nyaris sempurna saat ini," guman Violetta. Saat ini Violleta seperti sedang berjalan di hamparan taman bunga indah yang di penuhi dengan embun yang menyejukkan. Menggunakan dress panjang berwarna putih serta flower crown yang menghiasi rambut panjang bergelombangnya, ia berjalan perlahan dengan kaki telanjang mengarah pada sesosok laki laki yang di anggapnya seperti malaikat tak bersayap yang berdiri menghadapnya sambil merentangkan kedua tangannya. "Violetta, kembalilah. Kembali bersamaku, sayang. Kembalilah," panggil laki laki yang suaranya sangat tidak asing di telinga Violetta. Tiba tiba Violetta menghentikan langkahnya, menoleh ke arah sumber suara yang berasal dari sampingnya. "Dirga, kamu kah itu?" tanyanya mencoba memastikan wajah laki laki yang memintanya untuk kembali. "Kemari, Letta." Kali ini laki laki itu menggunakan nama kesayangan Violetta. "Tapi aku ingin ke sana. Lagi pula hatiku begitu damai saat berada di sini, dan juga aku sangat penasaran dengan laki laki itu, Dirga. Kamu lihat ..." Menunjuk ke arah laki laki berpakaian berwarna senada dengannya yang masih setia merentangkan kedua tangannya pada Violetta. "Wajahnya bahkan lebih tampan sepuluh kali lipat denganmu." Mengedipkan sebelah matanya dengan senyum jahilnya. Laki laki yang bernama Dirga itu tidak marah atau pun kecewa, ia hanya terus memanggil nama Violetta dan memintanya untuk kembali. "Ayo kembali, Letta. Kembali bersamaku." Violetta ingin melangkahkah kembali kakinya, tapi selalu terhenti saat Dirga memekikkan namanya. "Violetta ... Violetta ..." `Pelataran Rumah Sakit` Seorang perempuan cantik dengan wajah pucat lengkap menggunakan pakaian pesakitan khas rumah sakit ternama Ibukota, terlihat tengah berbaring lemah dengan beberapa bekas luka di bagian tangan dan kepalanya. Selang infus yang terpasang di kedua punggung tangan, alat rekam jantung serta oksigen yang terpasang di area hidung dan mulutnya menandakan bahwa kondisinya sedang kritis. Sejak mendapatkan pertolongan dari tim medis dua jam yang lalu, belum ada tanda tanda kesadaran dari perempuan itu. Bahkan alat pendeteksi detak jantung yang terpasang di tubuhnya menunjukkan penurunan tekanan darah yang drastis. Suara yang terdengar dari monitor alat tersebut membuat laki laki yang sedang berdiri di sebelah ranjang pesakitan itu berteriak kalut. "Dokter, dokter... Tolong..." teriaknya sambil memencet tombol bantuan yang terletak di dinding atas dekat ranjang pasien. Tak lama dua perawat bersama seorang dokter yang menangani perempuan itu masuk dengan tergesa. "Dok, tolong dok. Tolongin tunangan saya, detak jantungnya semakin melemah." Tanpa di tanya laki laki itu langsung menjelaskan. Dokter yang sudah menyadari sejak awal pun segera mengambil tindakan. Entah apa yang di lakukan para tim medis itu, sampai akhirnya ia meminta sang perawat mengeluarkan alat pacu detak jantung yang berupa setrikaan. "Siapkan defibrilator." "Dokter, tolong selamatkan tunangan saya. Tolong dokter," pinta laki laki itu dengan mata yang mulai basah. "Maaf, tuan. Tolong menjauh dari pasien. Ini demi keselamatan pasien." Perawat perempuan itu memperingati laki laki itu dengan sopan. Tak ingin menghambat atau memperlambat, ia pun segera mundur. Melihat dari jarak yang tidak terlalu jauh namun tidak pula dekat dari ranjang pasien. Saat alat yang di minta telah tiba ruangan, dokter langsung memberi aba aba. "200 joule, all clear?" "Clear," sahut para perawat serentak saat memastikan tidak ada satu apa pun yang menempel pada pasien dan ranjang pasien. Termasuk para perawat. Kedua alat yang berbentuk setrikaan itu mulai di tempelkan dokter pada d**a perempuan itu, namun tak kunjung mendapat respon yang baik. "360 joule, all clear?" ucap dokter itu lagi. "Clear" sahut perawat. Lalu dokter kembali menempelkan alat tersebut untuk kedua kalinya. Sejenak semua diam, dokter dan kedua perawat menatap monitor EKG, sementara laki laki itu menatap sendu pada sang tunangan. "Violetta, bertahan sayang," ucapnya berderai air mata. "Letta sayang, sadar sayang. Aku mohon." Langsung berjalan mendekati ranjang, mengusap lembut wajah pucat Violetta lalu mengecup dahi sang tunangan. Dirga tidak memperdulikan lagi perawat yang memintanya untuk tetap berdiam di tempat semula. "Letta, jangan tinggalkan aku." Terisak sejadinya. Beberapa detik kemudian, terdengar suara 'beep' dari monitor, bersamaan dengan tarikan napas yang seperti orang terkejut dari Violetta dengan mulut yang sedikit terbuka dengan mata yang terbuka sedikit. "Sayang, kamu sadar, terima kasih Tuhan." Dirga langsung mencium pucuk kepala Violetta dengan penuh kehangatan. Lalu menyeka air matanya. Sementara dokter meminta sang perawat untuk memasukkan obat melalui selang infus. Setelah memastikan detak jantung Violetta benar benar stabil, ia langsung memberi tahu Dirga yang merupakan wakil keluarga pasien bahwa Violetta sudah melewati masa kritisnya. Setelah itu dokter segera meninggalkan ruangan. "Terimakasih dok," ucap Dirga dengan kepala yang mengangguk pelan. Tak henti hentinya Dirga mengucap rasa syukur pada sang pencipta karena masih memberi kesempatan untuk Violetta tetap berada di dunia ini. Dirga tidak tahu bagaimana nasib dirinya jika Violetta benar benar pergi untuk selamanya. "Violetta." Seorang pria menerobos pintu kamar rawat inap tempat Violetta berada dengan wajah yang sangat panik. "Kenapa dengan dia, Dirga? Tadi aku dengar dari perawat kalau ...?" Laki laki itu terdengar sangat sulit untuk melanjutkan kata katanya. Dirinya memang baru saja kembali untuk membeli makanan dan minuman untuk sahabatnya itu. Dirga menggelengkan kepalanya, matanya terlihat masih meninggalkan jejak air. "Letta sudah melewati masa kritisnya, Lang." Laki laki itu menghela napas lega. Ia langsung meletakkan kantong plastik berwarna putih yang di bawanya ke atas meja tamu yang terletak di dalam kamar VIP itu. "Syukurlah, aku sangat khawatir." Dirga menatap sendu wajah Violetta yang masih terbaring lemah, bahkan dirinya kembali tertidur setelah di suntikkan obat ke dalam selang infusnya beberapa saat lalu. "Aku tidak tahu bagaimana jadinya jika Violetta meninggalkanku." "Tenanglah, Dirga. Semua akan baik baik saja. Aku yakin dokter dan para perawat lainnya akan merawat Violetta dengan baik." "Kalau saja aku tahu dia akan menjemputku." Terlihat sekali raut penyesalan di wajah Dirga. Sejak tiba di rumah sakit tak henti hentinya Dirga menyalahkan diri sendiri atas insiden kecelakaan yang di alami Violetta. "Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri. Semua sudah terjadi." Violetta, Dirga dan Gilang. Mereka bertiga merupakan sahabat baik. Tumbuh bersama sejak kecil membuat ketiganya tidak bisa terlepas satu sama lain. Dan juga ketiga orang tua mereka juga terikat persahabatan baik yang sudah menganggap seperti keluarga sendiri. Hal itulah yang membuat Dirga dan Gilang begitu mengkhawatirkan kondisi Violetta. Terlebih, Dirga yang kini sudah merubah status persahabatannya bersama Violetta menjadi perasaan cinta mendalam, dan telah berhasil menjadikan perempuan itu sebagai sang tunangan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD