Persahabatan Bagai Keluarga

1081 Words
`Jakarta, Bandara International` Dirga dan sang sekretaris pribadi baru saja akan menaiki mobil yang menjemputnya. Sebelumnya Dirga sudah terlebih dahulu mengeluarkan ponsel cerdas miliknya, mencari nama 'My Letta' yang di bubuhi emoticon love di sebelahnya, lalu menekan tombol hijau agar tersambung dengan kekasih hatinya itu. Berulang kali suara 'Tit' terdengar di telinga Dirga. Sampai akhirnya panggilan itu terjawab. Senyum yang nyaris mengembang sempurna, sirna begitu saja saat dirinya mendengar suara panik di susul teriakan dan bunyi hantaman keras serta klakson panjang dari seberang sana. "Ya tuhan ... Aaaaa ...." Jelas itu suara Violetta. Mata Dirga membulat sempurna, pikirannya mulai kacau. "Hallo, Letta. Letta ... Kamu kenapa? Ada apa, kamu dimana? Letta..." Sayangnya tidak ada sahutan sama sekali dari Violetta. Dengan kepanikan yang luar biasa, Dirga memerintahkan sang sekretaris untuk melacak keberadaan Violetta saat itu juga. Sementara panggilan itu masih tersambung. Dirga masih berharap jika ada jawaban dari Violetta. "Bian, cepat lacak posisi Letta saat ini. Cepat!" titahnya setelah Bian--sekretaris pribadinya mendaratkan bokongnya di kursi sebelah sopir. "Baik, tuan." Bian segera mengeluarkan tablet pc miliknya. Melakukan perintah yang di berikan oleh tuannya. "Ger, jalan terus ke arah rumah Letta sampai posisinya terlacak," pintanya pada sang sopir. "Siap, tuan." Sang sopir menganggukkan kepalanya sopan. Sementara Bian sibuk berkutat dengan perintah yang di berikan oleh sang tuan, Dirga masih terus mencoba memanggil Violetta, berharap jika perempuan itu baik baik saja. Sampai akhirnya Bian memberikan informasi penting itu. "Tuan. Posisi Nona Letta saat ini berjarak kurang lebih empat puluh kilometer dari kita." Dirga langsung meminta sopirnya untuk mengarahkan mobilnya sesuai dengan petunjuk yang di berikan oleh Bian. Dengan cekatan, sopir yang bernama Gery itu menembus jalanan yang tidak terlalu padat dengan menambah kecepatan namun tetap waspada. Setelah beberapa belas menit terlibat kepanikan luar biasa, akhirnya Dirga bisa melihat dengan jelas mobil milik Letta yang terhimpit diantara dua mobil. Bahkan kerusakan yang parah pada mobil itu membuat tubuh Dirga seketika lunglai saat ingin keluar dari dalam mobil. "Tuan, kendalikan dirimu." Bian yang baru saja keluar dari dalam mobil langsung mendekati sang tuan yang bertumpu pada pintu mobil. Dirga mengatur pernapasannya beberapa detik, lalu menggelengkan kepalanya samar. Setelah itu ia memilih untuk setengah berlari menyeberangi jalan, masuk di antara kerumunan polisi dan warga yang ada di sekitar kejadian. Pandangan Dirga terasa berputar begitu menyadari sudah tidak ada lagi Violetta di dalam mobil tersebut. "Mas, permisi, itu ... dimana pemiliknya?" Menunjuk Mazda milik Violetta yang hancur. "Oh, korban di sana, baru saja di evakuasi." Laki laki itu menunjuk pada ambulance yang baru berjalan meninggalkan lokasi. Tanpa basa basi Dirga langsung berlari kembali ke arah mobilnya. Bian yang kebetulan berada di belakang Dirga langsung mengucapkan terimakasih pada warga yang telah memberikan informasi tersebut dan menyusul kembali Dirga dengan cepat. *Flashback Off* "Makanlah, kamu tidak bisa terus terusan seperti itu." Gilang menyodorkan makanan ringan yang ia beli sebelumnya. Dirga tidak menyahut, ia hanya memfokuskan pandangannya pada Violetta. Berharap jika kekasihnya segera membuka mata. Tak lama, pintu ruangan kembali terbuka dari luar. Kali ini di iringi dengan isak tangis yang terdengar jelas, hingga membuat Dirga dan Gilang mengalihkan perhatiannya. "Ya Tuhan, anakku, Letta." Seorang perempuan hampir paruh baya berlarian kecil mendekati ranjang. Tangisnya semakin pecah saat menyaksikan tubuh sang putri tercinta terpasang dua infus sekaligus, bahkan sebelahnya berisi cairan darah, yang menandakan jika perempuan itu telah banyak kehilangan darah. Sementara dua orang pria lainnya yang menyusul dari belakang tak kalah kacaunya. Bahkan mata mereka sudah berkaca kaca menahan agar tangisnya tak pecah. "Om Damian," sapa Gilang dan di jawab anggukan kepala oleh Damian sambil menepuk singkat lengan Gilang sebelum akhirnya berjalan mendekati Violetta. "Maafkan aku, tante." Dirga berdiri dengan kepala tertunduk, penuh penyesalan. Noni--ibu kandung Violetta segera menggelengkan kepalanya, menepuk pelan lengan Dirga lalu memeluk tubuh sang calon menantu dengan cucuran air mata. "Semua ini musibah, Dirga. Tidak ada yang salah di sini." Dari sisi ranjang yang berbeda. Damian--ayah kandung Violetta terus terusan menciumi ujung kepala sang putri sulung tercinta. Ia tidak menyangka jika obrolan pagi tadi adalah sebuah pertanda jika akan terjadi musibah besar yang menimpa keluarganya. "Kakak ternyata memang lelet. Sudah aku bilang biar aku yang temani. Tapi kamu dengan angkuh menolaknya. Cih... Dasar bucinnya bang Dirga. Sampai aku enggak di bolehin ngantar kamu." Yakinlah, Bagaskara mengatakan itu semua sebagai bentuk kesedihan dan penyesalannya karena tidak bersikeras untuk menemani Violetta beberapa jam yang lalu. Suasana begitu haru. Rasanya sudah terlalu banyak air mata yang tumpah ruah membanjiri seisi ruangan rawat inap yang di tempati Violetta. Gilang yang sejak tadi mencoba tegar pun akhirnya menyerah dengan sudut mata yang di lelehi air bening dari dalamnya. 'Pulihkan dia ya Tuhan,' batinnya memohon. Berselang lima belas menit, ruangan berukuran cukup besar itu kembali di kunjungi dua pasang suami istri. Mereka adalah Tama dan Dhira yang merupakan orang tua kandung dari Dirga, serta Elindra dan Jimmy, orang tua kandung dari Gilang. Keempatnya langsung mendekati ranjang pesakitan. Jika Dhira dan Elindra berhambur ke sisi Noni dan Dirga, maka Tama dan Jimmy mendekati Damian dan Baskara. Sementara Gilang memilih untuk tetap berdiri dari jarak yang tidak terlalu dekat. Menatap sedih ke arah Violetta. "Apa yang terjadi, Dirga? bagaimana bisa? Dasar kamu..." Dhira memukul d**a anaknya menggunakan tas tangan yang di bawanya. "Ya Tuhan, Letta," Mengalihkan tatapannya pada Violetta dengan tangan yang menutupi mulutnya. Tak lupa air mata yang mengalir dari sudut pelupuk indahnya. Elindra hanya bisa mengelus punggung Dhira, menenangkan sahabatnya itu agar tidak menyalahkan Dirga, karena mereka belum mengetahui dengan jelas kronologi kejadiannya. "Maafkan aku, mi, aku-" "Diam kamu," bentak Dhira cepat. Lalu memeluk Noni dengan erat. "Maafkan kelalaian anakku, Noni." Noni menggelengkan kepalanya. "Bukan salah Dirga. Semua ini musibah untuk keluargaku, Dhira. Bahkan Dirga tidak tahu kalau Letta ingin menjemputnya ke bandara." Noni menjelaskan pada sahabat baik sekaligus calon besannya itu. "Benar, Mi, bang Dirga enggak salah. Kalau saja dia perbolehkan aku ikut menemaninya, pasti ini semua enggak akan terjadi. Setidaknya aku bisa melindungi Violelet ini." Baskara membenarkan semua perkataan sang mama, lalu menarik ingusnya yang hampir saja keluar. Perlu di ingat! Meskipun berwajah tampan dan sering di juluki bad boy oleh teman kampusnya, sebenarnya adik kandung Violetta itu mempunyai sifat penyayang. Baskara hanya akan menunjukkan sisi lemahnya jika di hadapan orang orang yang ada di sana saja. Karena baginya Baik Dhira-Tama serta Elindra-Jimmy sudah seperti orang tuanya sendiri, hampir tidak ada lagi rahasia dirinya yang tertutupi dari keempat sahabat baik orang tuanya itu. Tiba tiba saja, perhatian mereka semua teralihkan, setelah melihat pergerakan jari jari tangan Violetta di iringi dengan suara kecil yang masih bisa terdengar. "Ma..." panggil Violetta perlahan membuka matanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD