Tiga

1450 Words
Setelah menghabiskan beberapa hari untuk liburan, hari ini Pelangi dan teman-temannya sudah diharuskan masuk kerja lagi. Dan di pagi hari yang cerah ini, dia pun sarapan bersama Biru, ayahnya. Bulan, sang ibu. Dan Angkasa, sang adik yang berusia tiga tahun di bawahnya. Tak seperti Pelangi yang mewarisi mata sipit sang ayah dan kakek Sammuel. Angkasa justru mempunyai mata besar dan lipatan mata seperti Bulan, ibu mereka. Kulit yang putih dan bibir merah, juga hidung mancung yang membuatnya menjadi idaman bagi para wanita teman sekolah dan kampusnya, kini Angkasa sudah lulus kuliah strata satu dan melanjutkan ke jenjang lebih tinggi sambil bekerja di perusahaan e-sport sang ayah. Tinggi Angkasa jauh melebihi tinggi Pelangi, dan kulit putihnya yang sering memerah jika terbakar matahari. Itu sebabnya dia sangat takut terkena matahari. Ketika upacara di sekolah saja, dia akan dengan senang hati mengambil tugas sebagai petugas upacara bagian pembawa acara atau pembaca pancasila dan janji suci pelajar, yang bisa berdiri di tempat yang tak terkena sinar matahari, sejajar dengan para guru. Atau dia akan menjadi petugas keamanan upacara yang bisa berjalan-jalan di sekitaran lapangan upacara yang membuatnya bisa mencuri kesempatan berteduh dibawah pohon. Baginya, lebih baik dia bekerja depan layar komputer seharian dibandingkan berjemur satu jam dibawah matahari, takut gosong katanya yang membuat Pelangi selalu meledeknya dengan panggilan ‘Vampir Kawe Super’. Pelangi tersenyum sendiri melihat gelang di tangannya. Membuat Biru mengernyitkan kening. Pria yang mulai ditumbuhi beberapa helai uban di rambutnya itu masih tampak gagah meski usianya sudah lebih dari lima puluh tahun. “Kenapa Kak? Ada yang lucu?” tanya Biru, yang biasa memanggil Kakak ke Pelangi, dan Dede ke Angkasa. “Kakak lagi ngerasa bodoh banget Pah, masa kakak percaya dengan omongan anak kecil tentang ramuan cinta,” kekeh Pelangi. “Ramuan bagaimana?” tanya Biru lagi, Angkasa dan Bulan ikut memandang ke arah Pelangi. “Ya pas liburan kemarin ada anak kecil jualan gelang ini, katanya isinya ramuan cinta udah gitu dikasih minuman juga sedikit, dan kita minum itu isinya,” ujar Pelangi. “Tapi kakak nggak kenapa-kenapa kan? Hati-hati lho Kak, banyak orang jahat,” ucap sang ibu dengan raut khawatir. “Nggak kok Mah, kan udah di tes duluan sama Allura dan Shakila, melihat mereka nggak kenapa-kenapa, baru deh aku sama Dea minum.” “Ish nggak setia kawan!” cebik Angkasa yang dijawab dengan peletan lidah dari Pelangi. “Segitunya kamu mau punya pacar?” tanya Biru yang membuat Pelangi tergagap dan menggaruk kepalanya. “Penasaran aja sih Pa, nggak niat kesana kok.” “Temen Kakak udah banyak yang nikah Pa, makanya kakak pengen cepet-cepet ketemu jodoh tuh,” ujar Angkasa membuat Pelangi mendengus. Biru dan Bulan hanya tertawa menimpali kakak beradik itu. “Pa, Dede jadi punya ide deh, bagaimana kalau kita bikin aplikasi kencan online, untuk memudahkan jomblo-jomblo seperti kakak and the gank dapat jodoh!” usul Angkasa dengan mata berbinar. “Sudah banyak aplikasi seperti itu kan?” tanya Biru. “Hmm kita bikin beda Pa, fitur Video Call dan juga sensor untuk nomor telepon, agar mereka terus pakai aplikasi kita untuk Chatting sampai ketemuan, bagaimana?” ujar Angkasa antusias. “Boleh juga, perlu digaris bawahi untuk verifikasi data ya, agar tidak ada penipuan,” ucap Biru membuat Angkasa senang bukan main. “Please deh, ngomong kerjaannya di kantor aja sih!” protes Pelangi. “Nanti kakak dan temen-temen wajib trial ya, siapa tahu dapet jodoh beneran,” ujar Angkasa. “Nyari jodoh nggak semudah itu Bambang!” rutuk Pelangi. “Nggak mudah, bukan berarti nggak mungkin kan?” timpal Angkasa sambil menaik turunkan alisnya, Pelangi hanya menggeleng, malas menimpali. Dia sangat tahu Angkasa selalu berambisi pada apa yang ditujunya. Jika sudah ada sesuatu yang dia inginkan, dia akan bersungguh-sungguh melakukan hal itu, persis seperti sang ayah. *** Beda dengan Pelangi yang makan sambil berbincang hangat dengan keluarganya. Keluarga Shakila justru sarapan dalam diam. Icha, sang ibu tampak memikirkan sesuatu hingga tak banyak bicara. Apalagi memang Shakila dan Andre sang ayah yang sangat dingin membuat mereka hanya bicara seperlunya. Jika dulu rumah dihiasi oleh celotehan Icha, ibunya  dan Shabila kini rumah lebih sering tampak sepi karena Shabila yang setelah menikah langsung pindah ke rumah suaminya. “Kamu sakit?” tanya Andre, ayah Shakila bertanya pada Icha istrinya yang tampak murung. Andre masih tampak kharismatik meskipun usianya tak muda lagi. Saat ini dia masih memegang perusahaannya yang entah akan diwariskan kepada siapa? Karena, baik Shakila maupun Shabila tak ada yang ingin ikut campur dalam perusahaan sang ayah dan memilih jalan mereka masing – masing. Rambut sang ayah hampir dipenuhi uban, namun wajahnya dan tubuhnya tampak bugar. Di usianya yang senja, dia pun masih memelihara bewok di wajah meskipun kini bewoknya ikut berwarna putih. Sementara Icha, ibunya masih tampak muda dan segar, wajar saja karena usia mereka yang berbeda cukup jauh. “Aku lagi kepikiran Shabila, Pah.” “Kenapa Shabila?” “Ya kan dia sedang, hmm mengandung,” ucap Icha terputus, melihat Shakila yang mengalihkan pandangan dari piring di hadapannya dan menatapnya. “Kenapa liat aku begitu?” tanya Shakila ketus. “Mamah takut kamu pengen hamil juga, kan belum nikah,” ujar Icha membuat Shakila menggeleng dengan ekpresi datar, pemikiran ajaib ibunya sering membuatnya jadi salah paham dan harus sering menarik napas panjang dan berucap sabar dalam hatinya. “Aku justru seneng, akhirnya Shabila hamil juga, setelah promil sana sini,” ujar Shakila, kembali mengalihkan pandangan ke piring di hadapannya. “Oh,” ucap Icha singkat, sambil mengangguk, rupanya lama menikah dengan pria dingin seperti Andre tetap tak membuat sifat polosnya menjauh, nyatanya di usia pernikahan mereka yang lebih dari seperapat abad ini pun dia masih dengan sifatnya yang sangat polos dan terkadang sedikit plin plan. “Terus apa yang di khawatirkan?” tanya Andre dengan suara beratnya yang khas. “Ya, aku takut dia nggak bisa urus diri dan kehamilannya, kenapa dia nggak tinggal disini lagi untuk sementara sih?” rungut Icha. Shakila memandang ibunya dengan raut penuh tanya. Hampir dia membuka mulutnya hingga Andre menggeleng memperingati, karena pasti Shakila ingin mengeluarkan kata-kata ketus, seperti contohnya dia akan berkata bahwa Shabila jauh lebih dewasa dari mamah, atau apapun itu yang pasti akan membuat Icha sakit hati. Masih baik jika Icha tak sampai menyumpah serapahi sang anak yang ketus, jika sampai keluar ucapan sumpah dari mulutnya bagaimana? Bukan tak mungkin kan kalau Shakila kena kutukan jomblo seumur hidup. Ish Shakila jadi bergidik membayangkannya! “Coba deh Papa atau Kila ajak Shabila tinggal disini lagi,” mohon Icha dengan wajah memelas. “Ya, nanti aku ngomong sama dia, tapi kan kasian suaminya Mah, pasti canggung apalagi papa kalau ngomong singkat-singkat,” cebik Shakila. “Iya sih, kamu sama papa kan sama aja,” ujar Icha dengan wajah sedih membuat Shakila mendengus, salah bicara lagi sepertinya dia. “Sudah cepat habiskan makanannya, nanti kita terlambat!” ucap Andre pada putrinya. “Kita? Mau berangkat bareng?” tanya Shakila. “Kenapa? Kamu kan habis liburan pasti capek, papa nggak tega lihat kamu naik angkutan umum,” ujar Andre. “Kalau nggak tega tuh beliin mobil dong,” rungut Shakila. “Beli pakai uang sendiri! Makanya jangan foya-foya terus!” ceramah sang ayah membuat Shakila mendengus sebal. Untuk urusan seperti ini memang sang ayah sangat kejam, meskipun tujuannya baik agar Shakila lebih mandiri, tapi tetap saja, dia lebih suka menghabiskan uang dengan berlibur, makan makanan enak, dibandingkan menabung untuk beli mobil. “Mah, mamah nggak punya tabungan apa? Beliin aku mobil?” pinta Shakila dengan suara manja yang dibuat-buat, Icha menoleh pada suaminya, dan pria berbewok yang bewoknya ikut memutih itu pun menggeleng tidak setuju. “Pakai mobil jeep kakek saja,” usul sang ibu membuat Shakila menggelembungkan pipinya. “Mending naik bus deh, daripada mogok di tengah jalan, mana berat, susah dorongnya!” “Sudah jangan banyak protes, cepat makan!” perintah Andre. “Iya pa, ini juga lagi makan nih!” “Makanya cari suami biar bisa beliin kamu mobil!” tutur Andre yang membuat Shakila mendelik dengan tampang mengeras. Terkadang dia heran bagaimana ibunya bisa tahan berumah tangga dengan sang ayah yang sifatnya seperti dispenser dimana tombol hangatnya error sehingga tetap dingin sepanjang masa. Terlebih sang ibu tampak sangat nyaman bersama ayahnya dan sangat mencintainya, padahal dilihat seratus kali pun ibunya yang muda dan cantik itu pasti bisa mendapatkan pria yang lebih dari pada sang ayah. Pernah suatu ketika Shabila membawa kekasihnya kerumah, dan menyangka kalau ibunya adalah Kakak Shabila sehingga melemparkan lelucon lelucon konyol sampai Shabila mencubit lengannya dan memberi tahu bahwa wanita yang diajak bercanda itu adalah ibunya, membuat sang cowok mundur teratur dan tak pernah main ke rumah lagi karena malu. Dan mereka pun putus setelah itu. Jika mengingat hal itu Shabila dan ibunya selalu tertawa terbahak-bahak, sementara Shakila hanya bingung apa yang lucu dari itu? Apakah sebegitu lucunya putus dari kekasih? Entahlah. Shakila yang hanya pernah sekali pacaran, itupun saat SMA, tak mengerti tentang lelucon konyol antara Shabila dan sang ibu. Ya dia putus karena sang kekasih yang tak kuat dengan sifat cuek dan dinginnya. Shakila tahu, tak mudah mengubah sifatnya yang seperti itu, karenanya dia berharap Tuhan mempertemukannya dengan laki-laki yang bisa menerimanya apa adanya, terlepas dari sifat cuek, ketus, dingin dan berbagai sifat jelek lainnya yang kadang membuat Shakila juga bingung apakah dia bisa berubah suatu hari nanti? ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD