Her Eyes

1102 Words
Napas Marko tersengal-sengal ketika ia tiba di lantai dua. Lutut yang terasa nyeri itu ia abaikan saja. Bukan waktunya untuk memikirkan lutut. Kini yang ada di kepalanya hanya gadis berambut merah itu. Di mana dia? Apa yang terjadi? Bibir Marko komat-kamit. Ia merapalkan doa apa saja yang bisa diingat. Lelaki itu sangat berharap tak ada hal buruk yang terjadi pada gadis berambut merah itu. Tiba di ruang paling ujung dengan tulisan Dr. Massimiliano Maurizo, Marko langsung mengetuk berkali-kali. Seorang perawat berusia dua puluh tahunan keluar dengan muka cemberut. “Ada apa?” Tanya perawat itu sedikit ketus. “Apa dokter Maurizio ada?” Tanya lelaki berambut cokelat itu sambil melongokkan kepalanya ke dalam ruangan. “Ia sedang mengecek pasien.” “Dimana?” Marko bertanya dengan tak sabar. “Lantai 5. Kamar nomor 524,” jawab perawat berambut hitam itu dengan agak ketus. “Terima kasih.” Marko berjalan lagi. Kali ini wajah itu terlihat sedikit meringis. Ia berusaha berjalan secepat yang ia bisa sambil menahan nyeri yang teramat sangat itu. Ia menunggu di depan lift. Dipijitnya tombol itu berkali-kali agar pintu lift itu cepat terbuka. Tapi hasilnya nihil. Lift itu bergerak melewatinya atau berhenti di lantai lain. Marko mengeram. Ia berdecak-decak kesal sambil terus memencet tombol itu. Ingin rasanya berlari lewat tangga, tapi lututnya sudah tak sanggup lagi. Akhirnya Marko hanya mengerahkan usaha terakhirnya; memencet-mencet tombol lift itu saja. Sekitar lima menit kemudian -yang bagi Marko terasa seperi lima jam- pintu lift itu terbuka. Ia masuk dengan cepat lalu memijit tombol bertulis angka lima berkali-kali. Lift itu berjalan. Lelaki itu bersandar pada dinding lift di belakangnya. Ayo cepatlah, kumohon! Lalu ia menghela napas panjang. Mengapa aku begitu khawatir? Jika terjadi apa-apa padanya pun bukan salahku. Justru akulah yang menolongnya. Marko menggeleng-geleng sendiri. Kurasa aku sudah terhipnotis oleh pesona si rambut merah itu. Marko merasakan adanya getaran aneh saat ia memandang gadis itu di ICU kemarin. Ia lagi-lagi menggelengkan kepalanya. Tidak! Aku hanya menolongnya! Hanya itu! Jangan berpikir aneh-aneh lagi! Dan kemudian lift itu berhenti. Kemudian pintunya terbuka. Marko memaksakan kakinya untuk melangkah dengan cepat. Padahal baru saja ia memperingati dirinya sendiri untuk tak khawatir akan gadis itu. Tapi rupanya instingnya tak mempedulikan peringatan itu. “Kamar 524.” Marko menggumam sambil mencari-cari letak kamar itu. Akhirnya ia menemukan kamar itu. Terletak di sudut kiri bangunan. Pintu kamar itu terbuka sedikit. Marko mengintip dari baliknya. Desahan napas lega  keluar dari bibirnya. Gadis berambut merah itu berbaring di sana. Tampak bagian kepalanya dibuat lebih tinggi sedikit. Berarti dia sudah sadar! Di sekelilingnya, seorang dokter dan perawat serta dua orang lelaki berperawakan kekar sedang mengerubunginya. Marko ragu-ragu. Apakah ia harus masuk atau menunggu mereka pergi? Tapi gadis itu 'kan baru saja sadar. Apa tidak bahaya kalau dikerumuni seperti itu. Tanpa sadar, pintu itu sedikit terdorong hingga menimbulkan deritan yang lumayan nyaring. Semua orang menoleh ke arah pintu. Mata coklat Marko sedikit membelalak. Sial! Mengapa pintu ini harus berderit? Batinnya kesal. “Oh itu Marko!” Dokter Maurizio berkata dengan nada riang. “Masuklah! Alexandra sudah sadar.” Marko tersenyum kikuk. Ia melangkah masuk dengan sangat hati-hati. Matanya masih melekat pada gadis yang terbaring di ranjang. Mata gadis itu pun menatap ke arahnya. Ia terlihat bingung dan … takut? Apakah ia takut? Apa yang ditakutinya? “Nah, Alex ini Marko. Dia yang membawamu kemari. Dan sejak itu, dia selalu menjengukmu,” kata dokter Maurizio ramah. Gadis itu menatap Marko dengan alis mengerut. Ia terlihat takut tapi tetap berusaha menyunggingkan seulas senyum. Getaran aneh yang dirasakan Marko di ruang ICU kini bertambah dahsyat. Jantung lelaki itu seolah berhenti berdetak saat melihat senyuman itu. Darahnya kembali berdesir, mengalir kencang melalui pembuluh darahnya. Tubuhnya kaku, seolah untuk bernapas saja ia membutuhkan banyak energi. Benar-benar getaran yang aneh. Dan gadis yang terbujur itu, walaupun dengan kepala diperban dan wajah yang sedikit bengkak, ia tetap terlihat menawan. Ia betul-betul cantik, batin Marko takjub. “Marko, kau masih ingat aku, ‘kan?” Salah satu lelaki berperawakan tegap menyapanya, membuyarkan segala ketakjuban pada gadis berambut merah itu. Marko segera menoleh ke arah suara yang menyapanya. “Oh, detektif Chiessa!” Jawabnya sambil memgulurkan tangan. “Apa kabar Pak?” Marko lanjut berbasa-basi pada detektif itu. “Baik. Oh ya, aku sudah memberimu kartu nama, ‘kan?” Marko mengangguk sambil tersenyum simpul. “Kalau begitu, hubungi aku jika Alexandra mengingat sesuatu.” “Baik Pak,” jawab Marko. “Hasil tes s****a di tubuh Alexandra mungkin baru akan keluar besok. Jadi, besok aku mungkin akan kembali. Atau aku boleh menghubungimu dulu?” Tanyanya sambil menatap ke arah Marko. “Tak masalah,” jawab Marko riang. “Baiklah, kalau begitu aku pamit dulu.” Kata detektif itu sambil mengangguk ke arah dokter Maurizio dan Alexandra. Marko memperhatikan gadis itu lagi. Sambil menyibakkan rambut berwarna merah itu, ia berusaha tersenyum pada detektif Chiessa dan rekannya. Manis sekali! Batin Marko. Bunyi derit pintu yang ditutup membuat Marko mengalihkan pandangannya pada dokter Maurizio yang sedang sibuk mengecek sesuatu pada tablet yang ia pegang. “Baiklah Alex, kau harus banyak istirahat.” Kata dokter itu sambil tersenyum. “Hasil MRI dan CT scan akan keluar besok, jadi untuk saat ini kau istirahat saja. Berhenti berpikir kalau kepalamu sakit, mengerti?” Kata dokter itu sambil menatap Alexandra seperti anak kecil. Gadis itu mengangguk. “Oh ya, kurasa kau harus berkenalan dengan Marko.” Lanjutnya sambil menepuk pundak lelaki atletis yang berdiri di sebelahnya. Marko tersenyum ke arah gadis itu. “Kalau begitu, aku permisi,” pamit dokter Maurizio. Ia memasukkan tabletnya ke dalam saku, lalu berjalan keluar dengan senyum mengembang. “Dokter, boleh kita bicara berdua?” Sela lelaki itu sebelum dokter meninggalkan ruangan. “Boleh. Di luar?” Marko mengangguk lalu mengikuti langkah dokter itu. Ditutupnya pintu ruangan dengan hati-hati. “Apa dia benar-benar kehilangan ingatannya?” Marko lamgsung bertanya tanpa basa-basi lagi. “Sepertinya begitu. aku juga masih menunggu hasil MRI dan CT scan. Tapi kalau dilihat kondisinya sekarang, dia benar-benar terkena amnesia. Benturan di kepalanya memang begitu kuat. Untung dia cepat kau bawa ke sini.” Marko menelan ludah. “Apa dia bisa mengingat lagi?” “Tentu. Asal gadis itu mau mengikuti semua saran pengobatan. Tapi untuk saat ini, jangan paksa dia mengingat apa pun.” Marko mengangguk sambil menerawang pada dinding di seberangnya. “Kemungkinan faktor psikologis juga mempengaruhi amnesianya. Ingat, ia dipeekosa berulang kali. Bukan tak mungkin otaknya mencoba menghilangkan ingatan traumatis itu.” Sekali lagi Marko mengangguk. Berat! Sungguh berat apa yang terjadi pada gadis itu. “Terima kasih dokter,” ujarnya singkat. Bola mata itu beralih ke arah pintu yang sedikit terbuka. Sekarang apa yang harus aku katakan padanya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD