Is She Beautiful?

1108 Words
Dulu, ketika Marko pindah ke Piemonte FC, Ella berkata dia tak sanggup menjalani hubungan jarak jauh. Sebenarnya, Marko pun merasa begitu. Hubungan jarak jauh hanya buang-buang waktu. Pasti banyak sekali kecurigaan, pikiran negatif, dan hal buruk lainnya. Ia pun tak yakin hubungan seperti itu akan berjalan baik. Akhirnya Marko dan Ella sepakat untuk berpisah. Meskipun hingga hari ini mereka masih berhubungan baik. Marko kadang berpikir, mungkin sebaiknya ia tak usah memutuskan Ella. Dia gadis yang baik dan penyabar. Pasti saat ini hidup Marko akan lebih mudah karena ada seseorang yang merawatnya. Marko menghela napas panjang. Tentu saja baginya mencari teman kencan bukan sesuatu yang sulit. Banyak sekali gadis-gadis di sekelilingnya. Ia hanya harus memilih salah satu. Atau kalau dia cukup punya nyali untuk bermain-main, dia bisa saja memanfaatkan gadis-gadis itu. Untung saja ia bukan tipe lelaki seperti itu. Baginya, wanita harus diperlakukan dengan sebaik-baiknya. Jika kau ingin malaikat, maka kau harus menciptakan surga lebih dulu. Kata-kata itu tertanam di dalam lubuk hatinya. Yah walaupun, dia juga bukan lelaki yang benar-benar lurus. Kadang ada satu atau dua godaan yang tak bisa ia tolak. Tapi paling tidak, ia sudah berusaha untuk tak lagi tergoda. Marko berjalan menuju kamar mandi. Ia menyalakan shower untuk membasahi tubuhnya. Bicara tentang wanita, bagaimana kabar gadis berambut merah itu sekarang? Apa dia sudah sadar? Apa benar yang dikatakan Dokter Maurizio jika gadis itu akan kehilangan ingatan? Lalu bagaimana jika itu benar? Kemana gadis itu akan pergi? Marko mengusap wajahnya yang kini sudah basah oleh guyuran shower. Mengapa aku begitu khawatir tentang dia? Marko teringat wajah gadis itu yang terlihat damai dalam tidurnya. Wajah yang berlumuran darah dan memar-memar di sekujur tubuh putih itu. Mengapa dia sampai disiksa begitu? Tunggu dulu, kalau polisi tak berhasil menemukan di mana ia tinggal atau bekerja, bukan tak mungkin sebenarnya si rambut merah itu mengerjakan pekerjaan tak baik. Mungkinkah ia p*****r? Atau simpanan seseorang? Apa yang harus aku lakukan kalau itu benar? Haruskah aku menolongnya? Marko mengibaskan rambutnya yang kini sudah penuh sampo. Yah pikirkan itu nanti. Aku harus buru-buru pergi ke tempat terapi lututnya sebelum Pak Paulo marah-marah seperti kemarin. *** Marko memarkirkan mobil Mercedes Benz C Class berwarna silver yang baru dibelinya lima bulan lalu di depan klinik. Tepat ketika ia keluar dari mobil sedan itu, sebuah Jeep berhenti di depannya. Federico, rekan satu timnya turun yang juga masih dalam tahap pemulihan pasca operasi. Lalu dari dalam mobil terdengar suara lembut seorang wanita memanggilnya. Wanita itu mengulurkan kepalanya, kemudian dengan cepat Federico mengecup bibir gadis itu. Alis Marko terangkat sedikit melihat pemandangan itu. Ia menghela napas panjang. “Marko!” Federico menyapa sambil berjalan mendekatinya. “Fede, bagaimana kabarmu?” Marko bertanya sambil melihat lututnya yang sudah tidak terbalut. “Lebih baik! Kau sendiri bagaimana?” Marko menggeleng. “Masih sakit. Aku belum bisa berlari.” “Yah, sabarlah. Memang agak lama,” sahut Federico dengan penuh simpati. “Sepertinya begitu.” Federico tertawa sebentar. Kemudian ia mengangkat ponsel dari sakunya yang sedari tadi berdering. “Ya sayang … ya aku agak sibuk … maaf … dah!” Federico menarik napas panjang. “Pacarmu?” Lelaki pirang yang berjalan di samping Marko itu tersenyum sedikit. “Begitulah,” jawabnya ringan. “Yang tadi itu?” Marko bertanya dengan rasa penasaran yang tak dapat dibendung. Federico tertawa. Ia menggeleng. “Bukan.” Mata cokelat Marko mendelik. “Lalu?” Federico lagi-lagi tertawa. “Yah, kau tahulah.” Lelaki berambut cokelat itu menghela napas panjang. “Godaan, Marko. Ah, bagaimana aku mengatakannya?” Kata Federico sambil mengernyitkan keningnya. “Yah, banyak wanita di sekitarku, jadi ….” “Ya, aku mengerti.” Potong Marko sambil mengibaskan tangannya. Federico tersenyum lebar. “Kau sendiri bagaimana?” “Tidak ada. Aku baru putus,” jawab Marko tak bersemangat. “Bukankah mudah mencari pengganti?” Marko menimbang-nimbang sejenak sebelum menjawab pertanyaan itu. Mudah? “Tidak juga. Maksudku … entahlah!” “Kau ini! Bersenang-senanglah sedikit.” Kata Federico sabil menyikutnya. “Ngomong-ngomong, kemarin aku mengalami kejadian aneh,” kata Marko bersemangat. “Apa? Aku tak lihat kau kemarin.” “Memang aku tak datang. Kemarin aku menemukan gadis tergeletak di pinggir jalan.” Kali ini giliran mata Federico yang membulat. “Apa?” “Kata dokter dia diperkosa berulang kali. Kepalanya berdarah. Kemungkinan dia akan mengalami amnesia ketika sadar,” lanjut Marko sedih. Mulut Federico ternganga mendengar cerita Marko. “Lalu?” Marko mendesah. “Kemarin dia belum sadar. Entah kalau hari ini.” “Kau mau menengoknya lagi?” “Tentu saja.” “Kenapa?” Tanya Federico heran. Marko mengerjapkan matanya. Kenapa? “Yah, hanya ingin melihat kondisinya saja. Lagipula, kasihan ‘kan kalau dia sadar lalu tak ada seorang pun yang menemaninya.” Federico mengulum senyumnya. “Kau baik sekali,” ujarnya dengan nada sedikit sarkastik. “Apa dia cantik?” Kening Marko mengerut. Bola matanya bergerak ke atas seolah di atas sana ada bayangan wanita berambut merah itu. “Y-yah, aku tak tahu. Wajahnya tertutup darah,” jawabnya ragu. “Kutebak dia cantik!” Seru Federico sambil menepuk pundaknya. “Kalau tidak, tak mungkin kau memikirkannya terus!” Lanjut Fede sambil tertawa. Marko menatap lelaki itu dengan tatapan kesal. Tapi sepertinya, Federico tak menghiraukannya. “Dah, Marko!” Katanya sambil melambaikan tangan ketika ia tiba di ruang tempat terapinya. Marko mendengus lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang terapinya sendiri. Namun kata-kata Federico tadi terngiang-ngiang di kepalanya. Apa benar begitu? Sepertinya itu hanya berlaku untuk Federico saja. Baginya, bagaimanapun rupa wanita itu, ia harus menolongnya. Ini bukan masalah rupa, tapi empati. Kemudian, Marko mencoba mengingat lebih jelas rupa wanita berambut merah itu. Wajah gadis itu putih seperti salju. Rambutnya yang merah tua dan agak bergelombang itu membingkai wajah gadis itu dengan tepat. Kemungkinan, wanita itu memang cantik. Marko menggeleng. Bukan kemungkinan, Gadis itu memang cantik. Lagi-lagi, Marko cepat-cepat menggelengkan kepalanya. Bukan saatnya untuk memikirkan rupa wanita itu. Yang penting ia segera sembuh dan kembali ke tempatnya berada sebelumnya. Tapi bagaimana jika tempat asalnya itu tempat yang buruk? Entahlah. Mungkin serahkan saja ke polisi seperti kata Pak Paulo. Hari itu, Marko tak begitu konsentrasi. Pikirannya terus bercabang kepada wanita berambut merah di rumah sakit itu. Ketika sesi latihan hari itu selesai, ia buru-buru mengemudikan Mercedes Benznya ke rumah sakit. Dengan langkah yang agak tergesa-gesa, ia pergi ke ruang ICU di mana wanita itu dirawat. Mata lelaki itu terbelalak ketika tiba di sana. Gadis berambut merah yang tadinya terbaring di sana sudah tak ada. Marko menelan ludah dengan susah payah. Apakah telah terjadi sesuatu yang buruk. Lagi-lagi, dengan langkah yang panjang-panjang ia menuju lantai bawah. Lututnya yang sakit itu tak ia hiraukan. Marko hanya ingin tahu di mana gadis itu dan bagaimana keadaannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD