Her Identity

1004 Words
“Marko Vlahovic?” Sapaan seseorang membuat tubuh Marko yang sedang menatap gadis di dalam ICU itu tersentak. Ia menoleh dan mendapati seorang pria jangkung kekar berdiri di belakangnya. “Y-ya,” Marko menjawab ragu. “Detektif Chiessa.” Lelaki kekar itu memperkenalkan diri sambil memperlihatkan lencana polisi. Marko mengangguk sambil mengerutkan keningnya. “Aku ingin bicara denganmu tentang wanita itu.” Detektif Chiessa menjelaskan sambil menunjuk gadis berambut merah yang sedang terbaring di dalam ruang kaca itu. Marko ber”oh” singkat lalu mengangguk. Keningnya masih berkerut. Jantung Marko berdebar tak karuan. Ia belum pernah berurusan dengan polisi sebelumnya. Dan detektif berwajah dingin ini sedikit membuat nyalinya ciut. “Tak enak bicara di sini. Apa kau mau kopi?” Kali ini Detektif itu bicara dengan nada yang lebih menyenangkan. Mungkin ia mengerti kegugupan lelaki muda di hadapannya itu. Marko mengikuti langkah panjang-panjang Detektif Chiessa menuju kafetaria rumah sakit. Kafetaria agak penuh sore itu. Detektif Chiessa bahkan harus berhenti sejenak untuk mengamati kursi mana yang terlihat nyaman untuk berbincang. Akhirnya, detektif itu bergerak menuju meja paling sudut dekat wastafel. Memang tak begitu nyaman, tapi hanya sisi itu yang terlihat lengang dari hiruk pikuk pengunjung kafetaria. Setelah merebahkan tubuhnya dengan nyaman di kursi yang sudah agak tua itu, detektif Chiesa memesan secangkir capuccino hangat. “Kau mau apa?” Tawar detektif itu sambil menyerahkan daftar menu pada Marko. “Air mineral saja.” Detektif itu mengangkat alisnya, lalu tersenyum sedikit. “Aku baru ingat, kau pemain bola. Apa pemain bola tak boleh minum kopi?” Marko menggeleng, “bukan begitu. Aku hanya kurang suka kopi.” “Baiklah. Apa kau sedang terburu-buru?” “Tidak juga. Ngomong-ngomong, apa yang ingin kau bicarakan?” Marko mencoba bertanya langsung. Detektif Chiesa menghela napas panjang. “Tentang gadis yang kau temukan itu.” “Aku tak mengenalnya,” jawab Marko tanpa basa-basi. Detektif itu mengangguk singkat. “Bisa kau ceritakan, bagaimana kau menemukannya?” Marko mengerutkan keningnya. “Pagi itu aku sedang jogging melewati hutan kecil dekat sana. Lalu, ketika aku ingin minum, aku melihat gadis itu.” Detektif Chiesa tak menjawab. Ia masih memperhatikan Marko, sambil menunggunya melanjutkan ceritanya. “Lalu, aku menelepon emergency.” “Bagaimana keadaannya ketika kau temukan?” “Yah, aku hanya melihat kepalanya berdarah. Dan … tangan, kakinya juga berdarah. Dan karena dia telanjang, aku tutupi dia dengan jaketku.” Detektif Chiesa menyeruput capuccinonya. Lalu ia berkata, “apa ada hal lain yang kau temukan di dekat tubuhnya?” Alis Marko terangkat sedikit. “Benda apa?” “Yah, apa saja yang kau lihat ada di sekitarnya." kata detektif itu sambil menyandarkan tubuhnya. Kening lelaki berambut cokelat itu bertambah kerutannya. Bola matanya bergerak ke atas. “ Um … tak ada. Hanya ada batu-batu dan daun yang gugur.” “Tak ada batu yang berlumuran darah?” Marko menggeleng. “Seingatku tak ada.” “Tak ada juga tanda-tanda keberadaan orang lain?” “Tidak! Kalau ada sudah pasti aku panggil,” sahutnya yakin. Detektif itu mengembuskan napas berat. “Baiklah. Hubungi aku kalau kau ingat sesuatu.” Ujarnya sambil menyerahkan selembar kartu nama berwarna putih. Marko mengangguk sambil menerima kartu itu. “Boleh bertanya sesuatu?” Marko menatap detektif itu penuh harap. “Apa?” “Kata dokter identitasnya sudah diketahui ….” Detektif itu menunggu beberapa saat agar Marko meneruskan kalimatnya. Tapi sepertinya, lelaki muda itu terlihat ragu untuk melanjutkan. “Kami tahu namanya. Alexandra D’Amico, umurnya 22 tahun.” “Itu saja?” “Itu saja.” “Dia tak punya keluarga?” Detektif Chiessa menggeleng. “Dia dititipkan di biara. Setelah itu, ia diadopsi oleh seseorang bernama Louise Leglise. Tapi perempuan itu meninggal sekitar lima tahun yang lalu.” Marko mengangkat alisnya, “lalu?” “Yah, tak ada catatan setelah itu.” “Berarti dia gelandangan?” Detektif itu tersenyum. “Dia terlalu cantik untuk disebut gelandangan. Bukankah begitu?” Katanya sedikit menggoda Marko. Marko sedikit mengangguk. Ia setuju dengan itu. Alexandra tak terlihat seperti gelandangan. Wajah dan tubuhnya terawat baik. “Lalu?” “Kami masih menyelidikinya. Dan menyelidiki jejak-jejak s****a di tubuhnya juga. Kau tak menyentuhnya, ‘kan?” “Tidak!” Marko berkata sedikit keras. “Aku hanya menutupi tubuhnya dengan jaketku.” Detektif itu menghela napas panjang. “Baiklah. Terima kasih atas waktumu.” Detektif Chiessa bangkit sambil mengulurkan tangannya. Marko mengangguk sambil sedikit tersenyum. “Oh ya, apa kau yang menanggung biaya rumah sakit gadis itu? Ia tak punya nomor jaminan sosial.” “Iya, aku.” Detektif Chiessa tertawa. “Kau baik sekali.” Lalu, detektif itu berjalan meninggalkan Marko yang masih termangu. Pikirannya melayang. Gadis itu tak punya keluarga, lalu bagaimana nasibnya sekarang?  Marko masih menatap gadis itu dengan pandangan sedikit khawatir. Nyawa gadis itu pasti dalam bahaya jika ia tak dijaga. Tapi siapa yang akan menjaganya? Marko mengernyitkan keningnya. Aku saja! Aku akan menjaganya. Tapi apakah tindakannya itu benar? Apakah itu tak akan berbahaya baginya? Pagi keesokan harinya, Marko membuka matanya perlahan. Tubuhnya lelah. Lelaki itu bangkit, duduk di atas ranjang sambil mengusap-usah wajahnya. Lelaki itu mengambil ponselnya lalu mengecek jadwal untuk hari ini. Terapi, gim, dan mengunjungi dokter yang mengoperasi lututnya. Marko menghela napas panjang setelah membaca daftar itu. Rasanya membosankan. Entah berapa lama lagi hingga ia bisa menendang bola seperti dulu. Marko menggulir lagi ponselnya. Kali ini, ia membuka sosial media. Seperti biasa, banyak foto-foto dirinya yang ditandai oleh fans yang kebanyakan perempuan muda itu. Semua berisi kalimat penyemangat. Dan sebagian lagi berisi harapan seandainya mereka bisa berkencan dengan Marko. Lelaki itu tersenyum sendiri. Ia bahkan tak sempat memikirkan kencan. Baginya yang paling penting adalah lutut ini sembuh dan ia bisa bermain lagi. Akan tetapi, kini hati Marko tergelitik juga untuk memikirkan itu. Kapan terakhir kali dia berkencan? Alis lelaki itu bertemu. Mungkin sekitar enam bulan lalu, sebelum ia pindah ke Piemonte FC. Ella adalah gadis yang dikencaninya terakhir kali. Gadis berambut pirang dan bermata biru. Gadis itu bukan tipe perempuan yang suka menjadi perhatian. Ia bahkan tak mau Marko mengunggah foto mereka berdua.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD