The Red Haired Girl

1507 Words
Rumah sakit itu masih tampak lengang. Tak ada pasien yang sedang ditangani di UGD. Hanya gadis itu saja yang tengah mereka rawat. Marko duduk menunggu di ruang tunggu yang besar dan dingin. Tak ada siapa pun di sana. Ia memilih untuk duduk di sudut depan yang tak banyak dilalui orang-orang. Lelaki itu memijat keningnya. Ia tak tahu telah berurusan dengan siapa. Tapi hatinya berkata, ia harus melakukan sesuatu untuk gadis itu. Mata cokelat Marko menerawang ke arah langit-langit yang lampunya masih menyala. Yah paling tidak aku menolongnya. “Permisi Pak,” sapa seorang pria setengah baya. “Ya,” Marko menjawab sambil langsung berdiri. “Aku dokter Maurizio. Gadis itu, dia mengalamai trauma kepala berat. Tulang tengkoraknya retak. Ada pendarahan di otaknya. Jadi, dia harus segera dioperasi.” Lelaki itu menelan ludah. Buruk sekali kedengarannya. Lalu ia menjawab gugup, “baiklah.” “Kau mengenalnya?” “Um itu … tidak. Aku menemukannya di jalan.” “Ada polisi yang akan menanyaimu tentang kejadian ini.” “Apa perlu?” “Sangat perlu. Kami menemukan sisa-sisa s****a di tubuhnya. Gadis itu sepertinya diperkosa berulang kali.” Mata Marko membesar. Kejam! “Baiklah. Tolong kabari aku jika terjadi sesuatu, dokter.” Kata Marko sambil kembali duduk. Kening lelaki itu berkerut lagi. Bagaimana bisa ada orang sekejam itu? Memperkosa lalu hampir membunuh seseorang. Memang apa kesalahannya hingga diperlakukan begitu kejam? Marko mendengus. Entah mengapa hatinya bergemuruh mendengar itu. Tanpa disadari tangan lelaki itu terkepal erat. Darahnya mendidih. Ingin rasanya menghajar orang-orang yang telah menyiksa gadis berambut merah itu. Padahal ia sendiri belum tahu siapa gadis itu sebenarnya. Tiba-tiba, ponsel di saku celananya bergetar. Tubuh Marko terlonjak sedikit. Cepat-cepat dikeluarkan ponsel itu dari sakunya. Sial! Batinnya ketika melihat nama yang muncul di layar ponsel. “Ya, Pak,” jawabnya sedikit gugup. Bagaimana tidak gugup. Yang meneleponnya adalah manajer pribadinya. Dialah yang mengurusi segala keperluan Marko. Dan hari ini memang ia dijadwalkan untuk menjalani sesi latihan terpisah. “Dimana kau? Bukankah hari ini jadwal latihanmu?” Suara di seberang sana terdengar ketus. “Maaf, Pak. Aku sedang di rumah sakit. Um … tadi pagi aku menemukan gadis terluka di pinggir jalan.” “Apa? Apa kau kena masalah?” Suara lelaki itu terdengar lebih ketus lagi. “Tidak, bukan begitu Pak. Tadi pagi, saat jogging aku menemukan gadis terluka di pinggir jalan. Jadi aku menelepon ambulans dan menemaninya di rumah sakit. Aku akan berangkat latihan sebentar lagi,” jawab Marko sedikit gugup. “Cepatlah!” Seru lelaki di seberang sana sambil memutus sambungan telepon. Marko berdecak sambil memasukkan lagi ponsel itu ke saku celananya. Ia menghela napas. Sekarang bagaimana? Aku tak mungkin meninggalkan gadis itu 'kan? Bagaimana kalau terjadi sesuatu yang buruk? Lelaki itu mendesah kasar sambil menggaruk-garuk kepalanya. Ia berjalan ke arah resepsionis yang dijaga seorang wanita bertubuh sintal dengan kacamata besar di wajahnya yang bulat. “Permisi,” “Ya,” jawabnya malas. Namun sesaat setelah wanita itu mengangkat wajahnya, mata bulat itu langsung berbinar-binar. “Kau … Marko Vlahovic, ‘kan?” Tanyanya dengan wajah sumringah. “Benar,” jawab Marko sambil tersenyum. “Ya ampun!” Serunya sambil melonjak. “Apa aku boleh berfoto denganmu?” “Tentu saja, tapi … bisa bantu aku?” “Apapun!” Jawabnya sambil menatap wajah Marko lekat-lekat. “Gadis yang baru masuk UGD itu ….” “Oh ya. Kami tak bisa menemukan identitasnya. Jadi kami tak bisa menghubungi keluarganya. Padahal ada formulir yang harus ditandatangani,” sahutnya dengan wajah serius. “Bolehkan aku saja yang menandatangani?” “Kau?” Mata wanita itu melotot. “Kau kenal dia?” “Tidak, tidak,” jawab Marko sambil mengibaskan tangannya. “Aku menemukannya di pinggir jalan.” “Oh! Yah, tapi kami juga sudah melaporkan ke polisi. Mungkin sekarang mereka sedang memeriksanya.” “Jika terlalu lama … Um … maksudku, sementara mereka mencari keluarganya, biar aku saja yang bertanggung jawab. Lagipula aku yang menemukannya.” Katanya sambil tersenyum manis. “Tak apa?” Marko mengangguk sambil tetap mempertahankan senyumannya. Wanita itu menimbang-nimbang sebentar. Kemudian ia menatap lagi wajah Marko. “Baiklah kalau kau tak keberatan,” jawabnya sambil mengeluarkan beberapa berkas. “Tanda tangan di sini,” ujarnya lagi. Kali ini dengan nada yang menyenangkan. Marko mengambi pulpen yang tersedia di atas meja itu. “Kau baik sekali,” bisik wanita itu. Marko hanya tertawa kecil menanggapinya. Ia menyerahkan formulir itu setelah membubuhkan tanda tangannya. “Bisa aku minta tolong satu lagi?” “Dengan senang hati!” “Hubungi aku kalau ada apa-apa dengannya.” “Oh, baiklah. Apa kau sudah bicara pada dokter yang menanganinya?” “Sudah. Dokter Maurizio ‘kan?” Wanita itu mengangguk. “Kalau begitu kau akan memberiku nomor ponselmu?” Kali ini wajahnya bertambah sumringah. Marko mengangguk. Didiktekan nomor ponselnya dengan suara lirih. Sementara Wanita itu tersenyum-senyum seperti anak kecil mendapat permen. “Foto?” Pintanya. “Oke.” Wanita itu lalu buru-butu mengambil foto selfi mereka berdua. “Terima kasih!” “Akan aku bawakan jerseyku nanti,” kata Marko sambil melambaikan tangannya. *** “Maaf, aku telat!” Serunya ketika tiba di tempat latihan. Paolo, manajernya tak menjawab. Lelaki paruh baya itu hanya berdiri sambil melipat tangannya di d**a, menatap Marko dengan kening yang berkerut. “Dari mana saja kau ini! Terapismu sudah pulang!” Omelnya. “Maaf, Pak. Hari ini benar-benar aneh,” jawab Marko sambil mengempaskan tubuhnya di atas sofa berwarna cokelat tua di sana. Telinga Marko menangkap dengusan lelaki setengah baya di seberangnya itu. Gawat, embusan napas seperti banteng itu berarti Paolo benar-benar kesal. Marko tak berani menatapnya. Manik cokelat itu ia fokuskan untuk menekuri lantai marmer berwarna putih tulang yang sedang diinjaknya. “Jangan berulah Marko! Ingat kau masih baru. Apalagi sekarang kau sedang pemulihan! Harusnya kau sadar!” Ceramah Paolo. “Kau bilang apa tadi? Menemukan gadis? Kau mabuk atau bagaimana?” Kepala Marko menggeleng cepat. “Tidak Pak. Aku jogging tadi pagi. Dan gadis itu tergeletak di pinggir jalan, tidak pakai baju! Kepalanya berdarah. Kata dokter dia diperkosa berulang kali,” jawab Marko sedih. Mata lelaki setengah baya itu membulat. “Apa? Kenapa tak lapor polisi saja?” “Aku menghubungi emergency call, Pak.” “Harusnya kau langsung ke sini setelah itu!” “Tapi aku tak tega meninggalkan dia.” Paolo menepuk jidatnya. “Jangan main-main dengan hal yang belum kau ketahui.” “Aku tidak bermain-main. Lagipula, kalau kau yang menemukannya, aku yakin kau akan melakukan hal yang sama.” Bantah Marko kali ini dengan nada bicara sedikit tegas. Paolo mendengus lagi. “Yah sudahlah. Pergilah ke gim! Hari ini kau harus tetap latihan,” katanya ketus. “Baiklah Pak Paolo yang baik,” jawab Marko sambil tersenyum. *** Sore itu, setelah latihan Marko langsung menuju rumah sakit. Resepsionis yang tadi pagi ia temui menyambutnya dengan suka cita. Apalagi ketika Marko memberi jersey dengan tanda tangannya. Wanita itu hampir berteriak histeris. Untung saja Marko sempat memberi isyarat padanya untuk menahan teriakan itu. “Apa sudah ada kabar?” “Sebentar, kuhubungi dokter Maurizio,” jawab wanita itu dengan nada menyenangkan. Marko mengangguk. Ia menghela napas panjang. Mengapa ia begitu khawatir akan keadaan gadis itu? Ia bahkan tidak mengenalnya. Melihatnya saja baru hari itu. Tapi keadaan gadis itu memang menyedihkan. Andai Marko tidak menemukannya tadi pagi, bisa saja nyawa gadis itu sudah melayang. “Mr. Vlahovic!” Suara yang sedikit nyaring itu membuat tubuh Marko sedikit tersentak. “Ya?” “Operasinya sudah selesai. Tapi kondisinya masih kritis. Kau bisa menemui dokter Maurizio kalau mau. Dia di lantai dua. Ruangan paling kiri.” “Baiklah. Terima kasih.” Sahut Marko sambil tersenyum. Marko memilih menggunakan lift untuk menuju lantai dua. Lututnya masih sakit saat harus menaiki tangga. Mungkin Marko seharusnya lebih mengkhawatirkan dirinya saja ketimbang mengkhawatirkan orang yang bahkan belum dikenalnya. Lelaki itu berjalan ke kiri sesuai petunjuk resepsionis tadi. Di ruang paling ujung, di depan pintu bercat hijau muda itu tertulis dokter Massimiliano Maurizio. Ia mengetuk pintu itu. Lalu, terdengar teriakan “masuk” dari dalam. Marko membuka pintu. “Oh, kau! Masuklah,” sapa lelaki setengah baya itu ramah. Marko duduk di hadapan dokter berkepala hampir botak itu. “Bagaimana keadaannya, Dokter?” “Dia saat ini stabil. Pembekuan darah di kepalanya sudah tak ada. Sekarang dia masih kami tempatkan di ICU sampai kesadarannya kembali. Dan kemungkinan terburuknya, dia akan mengalami amnesia.” “Benarkah?” Kata Marko lirih. “Apakah polisi sudah mengetahui identitasnya?” “Hanya namanya, Alexandra D’Amico.” Marko mengangguk-angguk dengan kening berkerut. Jadi dia tak punya keluarga? Lalu bagaimana selanjutnya? Pertanyaan itu memenuhi kepala Marko hingga Dokter Maurizio menegurnya. “Kau bisa melihatnya kalau mau. Akan kusuruh perawat menemanimu.” Lelaki berambut cepak itu mengangguk. Dan tak lama, seorang perawat mengantarkan ke ruang ICU. Marko melihat dari balik kaca. Ada banyak selang yang terhubung di tubuh gadis itu. Kepalanya diperban. Tapi ia tampak damai. Lalu entah dari mana datangnya muncul keinginan kuat dalam diri lelaki itu. Ia ingin menolong, melindungi, dan bersumpah tak akan membiarkan hal buruk menimpa gadis itu lagi. Entah bagaimana caranya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD