The Strangest Morning

785 Words
Alarm ponsel meraung-raung membangunkan Marko pagi itu. Lelaki itu meraba-raba sisi tempat tidur hingga jemarinya menemukan benda yang mengeluarkan bunyi nyaring. Pukul lima pagi. Udara masih dingin. Tapi Marko harus bangun. Ia harus mulai berlari mengitari lapangan yang tak jauh dari apartemennya. Lelaki itu menguap lebar. Menjadi seorang pemain sepak bola profesional memang bukan hal yang mudah. Walaupun itu adalah cita-citanya sejak kecil. Tapi terkadang, perasaan lelah dan bosan menghampirinya. Apalagi saat ini, Marko sedang tak bisa bermain. Ia masih dalam masa pemulihan setelah ligamen krusiat anterior lutut kirinya robek. Sebenarnya, ia sudah cukup punya nama. Kepindahannya ke Piemonte FC enam bulan lalu juga berkat penampilan apiknya bersama klub terdahulu. Fansnya pun sudah banyak. Walaupun lebih didominasi oleh gadis-gadis. Bagaimana tidak, wajah Marko memang tampan. Garis rahangnya tegas. Alisnya tebal membingkai mata yang lebar dengan manik berwarna cokelat. Dan sebagai atlet, tentu saja ia memiliki tubuh ideal idaman gadis-gadis. Tapi itu semua menjadi tak berarti saat ini. Masih melekat kuat diingatan Marko betapa sakit lututnya hari itu. Saat itu Marko baru saja bergabung dengan klub barunya. Sulit sekali menembus starting eleven bagi pemain baru seperti dirinya. Butuh empat bulan sebelum pelatih memberi Marko kepercayaan. Hari itu, ia akhirnya bisa bermain sejak menit awal. Namun ternyata takdir berkata lain. Bukannya mencetak gol atau memberi assist, ia justu melompat terlalu tinggi lalu mendarat dengan posisi kaki yang salah. Marko terjatuh. Lututnya terasa seperti lepas dari tempatnya. Setelah itu, Marko harus ditandu keluar. Dan menurut dokter lutut kirinya itu harus dioperasi. Setidaknya butuh enam bulan untuk pulih sepenuhnya. Itu pun, dokter tak yakin Marko mampu langsung bermain baik. Marko hanya bisa pasrah. Semua orang menyemangatinya. Tapi jauh di lubuk hatinya, ia ingin menyerah saja. Tapi menyerah pun hanya akan menimbulkan masalah lain. Ia tak tahu harus melakukan apa seandainya berhenti bermain bola. Jadi, ia putuskan untuk terus menjalani hidup. Tentu saja ia harus pergi terapi setiap hari, pergi ke pusat kebugaran, menjaga pola makan, dan hal-hal lainnya. Termasuk pagi ini, ia akan mencoba berlari kecil di sekitaran apartemennya. Lelaki itu mengangkat kepalanya, berusaha bangkit dari tempat tidur yang nyaman itu. Setelah menguap kuat-kuat, ia bergegas ke kamar mandi lalu mulai bersiap-siap. Marko keluar dari apartemen dengan langkah lebar. Langit masih gelap. Udara pun masih dingin. Matanya mengamati rute mana yang akan dia ambil pagi ini. Mungkin lewat jalan kecil yang melewati pinggir hutan itu saja. Di sana tak terlalu banyak orang lalu lalang. Selain itu, udara di tepi hutan pasti lebih segar. Marko mulai berjalan menuju arah kanan apartemennya. Ia berjalan pelan dulu sebelum akhirnya menambah kecepatan. Lutut itu masih terasa nyeri. Jadi ia putuskan untuk berjalan biasa saja. Sesekali, lelaki bertubuh kekar itu menarik napas panjang. Ia ingin memasukkan sebanyak mungkin oksigen yang masih belum banyak tercemar ini ke dalam paru-parunya. Akhirnya ia tiba di pinggir hutan. Keringat mulai menetes di dahinya yang lebar. Marko memutuskan untuk istirahat sejenak sambil menegak air minum yang ia bawa dari rumah. Kaki lelaki itu melangkah ke sebuah kursi panjang di pinggir hutan. Belum sampai di sana, dalam cahaya remang-remang itu matanya menangkap sesuatu. Ia melihat sesuatu tergeletak. Bukan sesuatu, tapi lebih tepatnya seseorang! Jantung lelaki itu berdebar kencang. Keringatnya kini bercucuran. Itu seorang gadis! Ia merogoh saku celananya, mengambil ponsel dengan tangan yang gemetar hebat. Bahkan ia kesulitan untuk sekedar menghidupkan ponsel itu. Lalu dengan jemarinya yang masih gemetar, ia akhirnya berhasil menghubungi pusat layanan darurat. “Pusat layanan darurat, ada yang bisa kami bantu?” Suara di seberang menjawab tenang. “Ada gadis tergeletak. Ia … um maksudku kepalanya mengeluarkan darah,” sahut Marko sedikit panik “Apa dia masih hidup, Pak?” “Entahlah.” “Kau bisa memeriksanya?” “Tidak! Tolong kirimkan saja ambulans secepatnya.” Katanya setengah membentak. “Baik. Lokasimu, Pak?” “Via Pracappalo 15, dekat lapangan di pinggir hutan. Kumohon cepatlah!” Serunya. “Baik, Pak. Kami akan mengirim petugas ke sana.” Marko menutup teleponnya. Cahaya matahari yang mulai naik membuatnya mampu melihat gadis itu dengan lebih jelas. Rambutnya merah, entah karena darah atau memang begitu warnanya. Kulitnya putih hampir pucat. Terdapat bekas luka pada lengan dan pergelangan kakinya. Hanya itu yang mampu ia amati. Marko melepaskan jaket olahraga yang dikenakan, lalu dengan mata setengah tertutup ia berusaha menutupi tubuh telanjang gadis itu. Benar-benar gila! Orang yang melakukan ini pasti benar-benar psikopat! Tak lama, ambulans datang. Beberapa petugas memeriksanya. “Apa dia masih hidup?” “Masih, ia masih bernapas. Tapi lukanya buruk sekali.” Tenggorokan Marko tercekat mendengarnya. “Lalu?” Ia bertanya dengan ragu-ragu. “Apa aku boleh ikut ke rumah sakit?” Tanyanya. “Ya, ikutlah.” “Terima kasih.” Sambil menahan rasa ngilu di lututnya, lelaki itu berlari kecil mengikuti petugas yang membawa gadis itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD