The Darkest Day

1541 Words
Alexandra berhenti berlari. Napasnya tersengal. Ia menyandarkan tubuhnya pada tembok sebuah gedung tua yang sudah berlumut. Mata gadis itu mengamati sekeliling tempatnya bersembunyi. Kemana lagi aku harus berlari? Samar-samar terdengar derap langkah. Suara percakapan bernada rendah juga terdengar di telinganya. Gadis itu tak punya pilihan. Ia harus lari lagi. Gadis itu memilih masuk ke dalam hutan kecil di sisi kanan bangunan tua tempatnya bersandar. Semak belukar yang hampir setinggi tubuhnya itu diterobos saja. Tubuh lelahnya sudah tak mampu berlari lagi. Ia akhirnya menyerah. Direbahkan tubuh itu di balik sebuah pohon kenari yang besar. Alexandra menelan ludah. Lengannya terluka. Begitu pula kaki kanannya. Dadanya sakit. Tebakannya, mungkin ada tulang rusuk yang patah. Beruntung ia bisa menghindari tembakan lainnya. Bos memang kejam! Padahal baru kali ini Alexandra gagal dalam menjalankan misi. Lagipula itu buka sepenuhnya kesalahan Alexandra. Misi kali itu gagal entah siapa yang membocorkan. Politisi yang akan dibunuhnya itu bahkan sudah menyiapkan Glock17 di bawah tempat tidurnya. Untung saja Alexandra berhasil kabur. Kalau tidak, mungkin sekarang ia sudah diinterogasi habis-habisan oleh polisi. Dan Bos begitu bodoh! Alih-alih mencari tikus yang membocorkan rencananya, ia malah ingin menghabisi Alexandra. Untung saja ia berhasil kabur. Dog, West, dan Jared terlalu bodoh untuknya. Walaupun dengan tubuh penuh luka seperti itu, ia masih bisa kabur dari mereka bertiga. Tapi kini ia tak yakin mampu berlari lagi. Gadis itu menengadahkan wajahnya ke atas. Langit di sana masih gelap. Namun, ada sedikit taburan bintang walaupun cahaya itu terlalu redup untuk bisa sampai ke permukaan bumi. Andai saja hidupnya normal, mungkin sekarang ia tak perlu merasakan sakit seperti ini. Mungkin sekarang ia sedang berada di sebuah rumah yang nyaman. Tidur di ranjang yang empuk dengan selimut yang menghangatkan tubuhnya. Tapi jangankan rumah. Sejak kecil Alexandra terbiasa hidup berpindah-pindah. Ia tak tahu di mana ayah dan ibunya. Hanya Tante Louis yang ia kenal. Tante itu pula yang mengenalkannya ke banyak lelaki. Alexandra masih ingat betul apa yang dikatakan Tante Louis malam itu sambil menyisir rambutnya yang berwarna merah tua. “Lihat dirimu, Alexandra. Kau cantik sekali.” Katanya sambil memoles bibir Alexandra dengan lipstik berwarna merah terang. Alexandra tak suka itu. Tapi ia tak bisa protes atau Tante Louis akan menghukumnya. Hukuman Tante Louis selalu menyakitkan. Biasanya ia akan dipukuli berulang kali dengan gesper yang terbuat dari besi berukuran besar. Lalu punggungnya akan memar-memar. Dan ia akan dikurung di dalam kamar seharian. Tanpa makanan! Jadi daripada menderita, Alexandra ikuti saja semua kemauan tante. Lalu datanglah lelaki yang dikatakan oleh Tante Louis itu. Lelaki setengah baya dengan perut buncit dan rambut yang sudah memutih. Alexandra bergidik. Rasanya jijik apalagi ketika lelaki tua itu menciuminya. Alexandra ingin muntah di wajahnya yang keriput. Gadis itu juga masih ingat betul bagaimana pakaiannya dilucuti. Alexandra ingin menangis ketika lidah lelaki tua itu menjelajahi tubuh polosnya. Ia ingin berteriak ketika lelaki itu memasukkan bagian tubuhnya ke dalam tubuh Alexandra. Sakit dan jijik! Namun Alexandra tak bisa apa-apa selain menangis. Dan sejak itu, kata Tante Louis banyak lelaki yang tertarik padanya. Yah tertarik untuk meniduri dan Tante Louislah yang mendapatkan bayarannya. Alexandra tak lagi merasakan sakit atau jijik. Ia sudah mematikan perasaannya. Baginya bisa melewati hari tanpa siksaan Tante Louis saja sudah luar biasa. Kadang terlintas juga pikiran untuk mengakhiri saja hidupnya. Tapi Alexandra tak pernah berhasil. Tante Louis selalu mengawasi sumber penghasilannya itu dengan ketat. Hingga kemudian ia bertemu Bos. Lelaki setengah baya yang masih terlihat bugar. Ia tidak menyentuh Alexandra dan bahkan menawarinya pekerjaan. Bos bilang pekerjaannya mudah. Ia hanya bertemu seorang klien, lalu ia hanya harus memasukkan sesuatu ke dalam makanan atau minumannya. Setelah itu Alexandra bisa pergi. Ia tak perlu melayani klien lebih jauh. Dan dengan pekerjaan itu ia bisa keluar dari rumah Tante Louis. Bos bilang ia yang akan mengurus Tante Louis. Tentu saja tawaran itu menarik hatinya. Tanpa berpikir panjang gadis itu mengiyakan. Awal-awal, Alexandra merasa ketakutan. Bagaimana tidak? Orang yang memakan makanan yang sudah ditaburinya sesuatu itu tiba-tiba kejang. Lalu dalam hitungan menit, orang tersebut sudah berhenti bergerak. Lalu hanya terkulai lemah dengan mata melotot dan mulut berbusa. Selanjutnya Alexandra hanya butuh memanggil Dog, West, dan Jaret. Merekalah yang membersihkan semuanya. Lama kelamaan Alexandra merasa senang melakukannya. Entah bagaimana rasanya menyenangkan melihat ekspresi ketakutan di wajah orang-orang yang sedang kejang itu. Bos juga mengajarinya menggunakan senjata api. Favoritnya adalah Beretta 92FS. Pistol itu ringan dan mudah digunakan. Beberapa kali ia menggunakan pistol untuk menjalankan misinya. Lebih mudah tanpa harus berdua-duaan. Dan yang paling menyenangkan, tak ada lagi yang menyentuhnya. Kecuali, tentu saja Bos. Tapi ia memperlakukan Alexandra dengan lembut. Tidak kasar seperti laki-laki lain yang selama ini menyentuhnya. Tapi penjahat tetaplah penjahat. Salah sedikit nyawa taruhannya. Dan Alexandra merasakan itu sekarang. Udara dingin menusuk kulitnya. Alexandra menarik napas panjang. Tarikan napas itu membuatnya meringis. Dadanya bertambah sakit. Mengingat masa lalu hanya membuatnya tak ingin hidup lagi. Sudah cukup! Ia akan mengakhiri semua hal buruk itu malam ini. Alexandra akan menyerah dan berhenti berlari. Tak lama, terdengar kembali derap langkah yang semakin mendekat. Alexandra pasrah. Setidaknya aku bisa mati sambil melihat bintang, pikirnya. “Itu dia!” Suara West terdengar di telinga gadis itu. West, lelaki yang paling bodoh di antara ketiga orang itu. Alexandra sedikit tersenyum. Ia duduk tak bergerak memperhatikan ketiga lelaki itu mendekat ke arahnya. Dog menodongkan pistol ke dahi Alexandra. “Maaf Alex, kami harus membunuhmu!” Ujar lelaki bertampang paling sangar itu. Alexandra tak menjawab, ia mengangkat ujung bibirnya sedikit. “Lakukanlah, Dog,” kata gadis itu lirih sambil menatap Dog. Alexandra memincingkan mata ketika Dog tak juga menarik pelatuk pistol yang dipegangnya. “Kenapa? Tak tega?” Alexandra berkata dengan nada mengejek. Ia ingin Dog segera menarik pelatuk itu. Ia ingin penderitaannya segera berakhir. Tapi lelaki itu hanya menatapnya saja. “Oi Dog!” Seru West gemas. “Kau bisa melakukannya tidak? Kalau tidak biar aku saja!” Sahut Jaret geram. Dog bergeming. Ia mengalihkan pandangan kepada teman-temannya. “Apa kalian tak ingin melakukan sesuatu dengan Alexandra?” Akhirnya Dog membuka mulutnya. “Maksudmu?” “Ayolah! Apa kalian tak ingin bersenang-senang dengan dia? Lihatlah!” Dog mengoyak jaket yang dikenakan gadis itu. Kulitnya yang seputih tulang tampak samar-samar. Begitu pula dengan dadanya yang menonjol di balik bra putih yang dikenakan. Dog menelan ludah. Ia memang sudah lama menginginkan Alexandra. Tapi gadis itu selalu menolak dengan ketus. Apalagi bos selalu mengawasi Alexandra dengan ketat. “Kau mau apa Dog?” West bertanya tak sabar. “Aku menginginkannya!” Lelaki itu menurunkan pistolnya. “Oi West kau pegangi tangannya! Kau Jaret arahkan pistol itu ke kepalanya!” Kedua lelaki itu berpandangan sejenak. Kemudian seulas seringai setan muncul di wajah itu. Mata Alexandra membelalak. Jangan! Tolong jangan! Bunuh saja aku! Ia ingin berteriak tapi tak bisa. Dog sudah lebih dulu mengikat mulut gadis itu. Udara dingin merayapi tubuhnya. Menusuk setiap pori-pori kulit gadis itu ketika Dog mulai melucuti pakaiannya. Jangan! Kumohon berhenti! Mata gadis itu kembali membesar ketika sesuatu terasa memasuki tubuhnya. Sakit! Entahlah ia merasakan sakit di seluruh tubuh. Apalagi ketika Dog mulai bergerak di atas tubuhnya, lalu mulai menciumi leher dan dadanya. Alexandra merasa ingin muntah! Gadis itu mengepalkan tangannya lalu menutup mata birunya erat-erat. Alexandra ingin merasakan ketenangan. Tapi ternyata tak bisa. Mata yang tertutup itu justru menampilkan bayangan Tante Louis dan lelaki-lelaki yang pernah berada di atas tubuhnya. Alexandra muak! Ia tak mau melihat itu lagi. Gadis itu membuka matanya. Seiring dengan gerakan Dog yang semakin cepat. Tubuh Alexandra yang terguncang hebat membuat Dog semakin liar. Alexandra merasa payudaranya diremas dengan keras. Sakit! Alexandra tak tahan lagi. Ia ingin mati secepatnya. Matanya terbuka lebar menatap langit gelap dengan sedikit kelip bintang yang seolah menatapnya dengan sedih. Gelap dan sepi. Tapi Entah bagaimana ada perasaan damai yang menyelimutinya. Sebuah perasaan bahwa semua hal buruk akan berakhir. Sama seperti langit gelap itu. Lelehan hangat membasahi pipinya. Namun, Alexandra tetap membuka lebar-lebar manik biru itu. Ia tak ingin berhenti melihat pemandangan langit yang gelap dengan sedikit kilaun bintang di atas sana. Entah berapa kali mereka bertiga melakukan itu. Yang Alexandra tahu, mereka bergantian menaiki tubuhnya. Ia tak peduli. Toh, semua hal buruk akan berakhir. Ia yakin malam ini malam terakhirnya menderita. Besok pagi semuanya akan baik-baik saja. “Bagaimana Dog? Kita habisi sekarang?” Jaret bertanya sambil menaikkan celananya. “Tembak saja kepalanya!” Ujar West ketus. “Kau saja West!” “Kau itu yang disuruh Bos!” Dog maju dengan enggan, menodongkan pistol tepat di dahi Alexandra yang sudah tak bergerak. “Sial! Ini macet!” Katanya sambil berkali-kali mencoba menarik pelatuk pistol itu. “Bagaimana ini?” Jaret berteriak panik. “Sudah hampir pagi!” Apa? Macet? Kenapa? Tolonglah bunuh aku secepatnya! Rasanya Alexandra ingin meneriakkan kata-kata itu. Tapi bahkan ia tak bisa mengedipkan matanya. “Ah persetan!” Jaret berteriak. Terasa sesuatu menimpa kepala Alexandra. Mata gadis itu langsung tertutup. Cairan merah kental mengalir menutupi wajahnya. “Apa dia mati?” Tanya West. “Entahlah! Tapi kalau dibiarkan lama-lama ia pasti mati kehabisan darah,” Jaret menjawab dingin. “Sudah tak sempat memindahkan tubuhnya,” kata West panik. “Tinggalkan saja!” Perintah Dog sambil meninggalkan tempat itu. Hanya batu yang digunakan Jaret untuk menghantam kepala Alexandra saja yang mereka amankan. Tubuh telanjang Alexandra dibiarkan tergeletak di tepi hutan kecil itu. Gadis itu masih bernapas pelan. Entah sampai kapan napas itu mampu bertahan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD