Bertemu Miss Tata

1630 Words
Bel istirahat berbunyi, dan seketika seisi kelas bersorak gembira. Beberapa anak ada yang langsung berlari keluar ruangan. Sebagian lagi ada yang tetap tinggal di kelas, dan membuka kotak bekalnya. “HORE!!! Istirahat!” teriak Rio dengan suara keras. “Rio, kita jajan yuk,” ujar Dilan salah satu anak yang selalu ikut ke manapun Rio pergi. “Entar aja, ada yang mau gue kerjain dulu,” ujar Rio. “Kamu mau ngapain Rio?” tanya Jordan ketika melihat Rio berjalan menuju tempat duduk Miki. “Eh Dilan, kamu tau nggak di kelas kita ada anak aneh lho. Dia nggak bisa ngomong. Bisanya cuma diem dan menunduk terus.” “Oh ya? Yang mana anaknya?” tanya Jordan dengan nada meremehkan. “Tuh,” ujar Rio sambil menunjuk ke arah Miki dengan dagunya. “Heh anak aneh kamu nggak bisa ngomong ya?” ledek Jordan. “Gue paling benci sama anak yang sok tau, sok kaya, dan sok pinter,” ujar Rio sambil menabrak kursi yang diduduki oleh Miki. “Rio!” seru Aurel. “ Kenapa sih kamu seneng banget gangguin Michael?” “Bukan urusan elo!” sentak Rio. “Kalo kamu nggak mau pergi juga, aku laporin ke Miss Anne!” ancam Aurel. “Dasar, bisanya cuma ngadu.” “Biarin aja. Kamu juga bisanya cuma gangguin orang lain terus,” sahut Aurel. Setelah Rio dan kedua temannya pergi, Aurel menghampiri Miki. “Michael, kamu gapapa?” “Kenapa kamu ngebelain aku?” “Kan aku udah bilang mau jadi temen kamu. Temen itu harus saling tolong.” “Aneh,” gumam Miki. “Kamu yang aneh,” sahut Aurel. "Bukan urusan kamu!" Miki beranjak dari kursinya dengan kesal. Dia berjalan meninggalkan kelas dengan kaki dihentak-hentak. Miki berjalan tanpa arah. Tanpa disadari, dia berjalan menuju ke arah perpustakaan. Karena tidak memperhatikan jalan di depan, Miki tidak melihat plastik yang tergeletak di lantai. Alhasil Miki terpeleset dan jatuh dengan lutut menghantam lantai. "Aduh!" desis Miki menahan nyeri pada lututnya. Tata yang kebetulan baru keluar dari perpustakaan, melihat kejadian itu bergegas menghampiri Miki. “Kamu gapapa?” tanya Tata pada Miki yang masih memegangi lututnya. Miki mendongak dan melihat Tata. Namun, dia tetap diam dan tidak menjawab pertanyaan Tata. “Ih, kamu tuh ya …. Kalo ditanya sama yang lebih tua harus jawab,” ujar Tata sambil mencubit gemas pipi Miki. Miki melengos kesal diperlakukan seperti itu oleh Tata. Bukan Tata namanya kalo hanya diam diperlakukan seperti itu oleh anak kecil. Dengan sabar Tata berbicara lagi pada Miki. “Hei Ganteng, jangan cemberut aja. Cemberut itu bisa bikin hati kamu tambah kesal. Coba deh senyum, hati kamu akan selalu merasa seneng.” Tata menatap wajah Miki dengan penuh kasih. Miki menatap Tata dengan penuh minat. Baru kali ini ada orang lain yang menyebutnya ganteng dan dengan suara yang lembut dan sabar. Diam-diam Miki merasa senang sekaligus malu karena ada yang mengatakan dirinya ganteng. Untuk menutupi rasa malunya, Miki bangkit berdiri dan langsung berjalan menjauhi Tata. Dan sepanjang sisa pelajaran hari itu, suasana hati Miki semakin membaik saat dia mengingat tatapan mata juga suara lembut Tata. Begitu bel pulang berbunyi, Miki bergegas keluar dari kelas setelah memberi salam pada Anne. Dia berjalan tergesa-gesa menuju perpustakaan. Miki ingin melihat Tata lagi. Namun, sangat disayangkan karena pintu perpustakaan tertutup. Dengan malas, Miki membalikkan badan dan berjalan menuju keluar gedung sekolah mencari Beno. Beno yang sudah menunggu di pelataran sekolah heran melihat majikan kecilnya keluar seperti orang yang kehilangan sesuatu hal yang berharga. "Den Miki kenapa lagi?" gumam Beno. Beno berjalan sambil terus memperhatikan Miki. “Den kenapa diem aja dari tadi?” tanya Beno akhirnya karena merasa khawatir. Miki terus diam sampai mereka tiba di mobil dan sepanjang perjalanan sampai ke rumah. Dia benar-benar penasaran dengan guru yang tadi menyebutnya ganteng. Selama seminggu bersekolah, baru kali ini Miki melihat guru tadi. Miki masuk ke dalam rumah dan tidak menghiraukan sekelilingnya. Beno yang khawatir mencari istrinya di dapur. “Ra, aku khawatir sama Den Miki,” ujar Beno pada istrinya. “Memangnya ada apa lagi?” tanya Ira yang tengah sibuk menggoreng ayam untuk Miki. “Nah itu yang aku nggak tau. Sejak keluar dari sekolah, Den Miki itu diem terus …, udah gitu matanya kayak yang ngelamun terus. Aku takut dia sakit Ra.” “Ya udah, ntar aku bilang sama Darsih buat liat Den Miki.” “Kenapa nggak kamu aja Ra? Kan kamu udah lebih pengalaman ngadepin Den Miki, dan juga lebih dekat sama dia.” "Iya, iya. Ntar aku ke atas.” Selesai menggoreng, Ira berjalan menuju ke kamar Miki untuk melihat keadaan anak itu. “Den Miki,” panggil Ira sambil menghampiri Miki yang sedang menatap keluar jendela. Miki tidak mengetahui Ira masuk dan tidak mendengar suara Ira. “Aden kenapa diem aja? Aden sakit?” Kali ini Ira bertanya dengan suara yang sengaja keras sambil menyentuh Miki. "Bibi ngagetin aja ih," gerutu Miki. "Maap atuh Den. Habis Aden dari tadi diem aja. Kan Bibi jadi penasaran." "Bibi kepo," ledek Miki. "Biarin. Kan tandanya Bibi itu sayang sama Aden," sahut Ira. "Sayang, tapi suka bilang mau lapor ke Papa," sahut Miki. "Janji nggak akan lagi Den. Asal Aden nya juga nurut sama Bibi." "Hm," jawab Miki. “Eh Den, Bibi barusan goreng ayam. Aden mau? Kalo mau Bibi siapin nih.” “Nggak mau Bi. Miki nggak laper.” “Akhirnya Den Miki mau ngomong lagi sama Bibi.” "Kan Bibi udah janji nggak akan bilang mau lapor ke Papa lagi. Miki juga sebenarnya nggak marah kok sama Bibi, cuma kesel aja." “Den, Bibi boleh nanya nggak? Kenapa dari tadi Aden diem aja? Aden lagi poling in lope ya?” ‘Bukan poling in lope Bi …, yang bener itu falling in love.” “Nah ntu maksud Bibi Den.” “Bibi sok tahu,” gerutu Miki. "Kira in Den. Eh di kelas ada anak yang cantik nggak?" "Nggak tau ah. Bibi makin kepo deh. Mending Miki mandi." Miki ngeloyor meninggalkan Ira yang sedang senyum-senyum sendiri. *** "Woi Ta! Ngelamun aja lo!" ujar Sisi saat tiba di meja yang ditempati Tata. "Nggak ngelamun Si. Cuma lagi mikir ntaran lagi bisa lumutan gue." "Koplak lo!" Sisi menoyor kepala Tata gemas. "Lagian janji jam 5, gini hari baru nongol," gerutu Tata. Siang tadi Sisi mengajak Tata untuk nongkrong di kafe favorit mereka setelah pulang kerja. Tata yang bekerja di sekolah memiliki waktu lebih fleksibel dibandingkan Sisi yang bekerja di kantor membantu papanya. "Sori deh. Bukan maunya gue telat Ta. Gue tadi dipanggil sama Bos dolo, jadi molor pulangnya." "Bokap lo kenapa?" "Biasa …, kayak nggak tau bokap aja kalo di kantor kayak gimana." Mereka melihat-lihat menu makanan sambil terus mengobrol. "Si, buruan pesan makan yuk, gue laper banget nih." "Lah, kok bisa?" "Gue nggak sempet makan tadi." "Emang elo ngapain?" "Tadi pagi pesanan buku-buku baru untuk perpustakaan baru dateng," "Jangan diterusin Ta. Gue tau kelanjutannya. Elo pasti sibuk liatin itu buku-buku sampe lupa jam dan lupa makan," sela Sisi gemas. Tata meringis mendengar ocehan Sisi yang seperti ibu-ibu sedang memarahi anaknya. "Kebiasaan lo." Sisi melambaikan tangan pada pelayan perempuan yang berdiri tidak jauh dari tempat mereka duduk. Sisi menyerahkan buku menu dan pesanan mereka pada pelayan tadi. "Ya maap deh," ujar Tata. "Jangan minta maap ke gue, tapi ke badan lo sendiri Ta. Emangnya elo pengen nginep lagi di Rumkit gegara lambung lo kumat?" "Ogah," sahut Tata cepat. "Eh Ta, Sabtu ini nonton yuk." "Lagi?" tanya Tata. "Hu uh," jawab Sisi. "Kalo nonton gue nggak mau. Tapi kalo berburu kuliner gue mau," jawab Tata. "Pasti minta ditraktir deh," ujar Sisi. "Iyalah. Secara elo kan calon pewaris tunggal perusahaan Om Handoko." Baru saja Sisi ingin membalas perkataan Tata, pelayan datang membawakan pesanan mereka. Dan untuk beberapa saat, mereka berhenti mengobrol dan menikmati makanan mereka. "Eh Ta elo perhatiin nggak, dari tadi itu cowok yang pake kemeja biru ngeliatin elo terus?" tanya Sisi setelah mereka selesai makan. "Kagak. Biarin aja Si, kan dia punya mata." "Feeling gue dia pengen ngajak elo kenalan Ta." "Nggak usah dibahas Si. Nggak penting juga kan." "Gue yakin itu cowok bakalan ke sini," Sisi tidak menghiraukan perkataan Tata. "Ih elo nyebelin banget sih?" gerutu Tata. "Taruhan yuk?" Sisi menantang Tata. "Ogah!" "Kenapa? Takut kalah?" "Kagak!" "Tuh kan, gue bilang juga apa. Itu cowok ke sini Ta." Sisi menjawil tangan Tata memberi kode pada sahabatnya. Tata mendengkus sebal melihat wajah centil Sisi. "Hai," sapa Aldi kepada kedua gadis di hadapannya. "Hai juga," balas Sisi ramah. "Boleh ikutan duduk di sini?" "Nggak!" jawab Tata spontan. "Aduh! Sakit Nyong," gerutu Tata sambil memegang tulang keringnya yang ditendang Sisi. "Silakan duduk," ujar Sisi ramah. Aldi menarik kursi di sebelah Sisi dan duduk di sana. "Boleh tau nama kalian?" tanya Aldi ramah. "Nama gue atau nama dia?" goda Sisi. "Dua-duanya dong," jawab Aldi diplomatis. "Gimana kalo elo duluan yang nyebutin nama?" ujar Sisi. "Oh boleh. Kenalin, saya Aldi." "Gue Rensy, dan dia Tata." "Kalian kerja di mana?" "Kayak lagi nyensus," celetuk Tata. Sisi mendelik mendengar celetukan Tata. "Maapin dia ya. Dia mulutnya emang kayak petasan renceng," seloroh Sisi. "Gapapa kok, malah lucu." "Emangnya gue badut dikata lucu." Tata mendumel pelan. "Jadi kalian kerja di mana?" ulang Aldi. "Si, gue cabut dulu." Tata beranjak dari kursinya. Sebelum pergi, Tata menganggukkan kepala ke arah Aldi. "Eh Ta, jangan pulang dulu dong!" seru Sisi. Tata tidak menggubris ucapan Sisi. Dia terus berjalan sampai ke kasir dan membayar bon pesanan dirinya dan Sisi. "Eh, gue cabut dulu ya." Sisi berlari mengejar Tata dan meninggalkan Aldi sendirian. "Ta! Tunggu!" Tata terus berjalan ke arah parkiran motor. Dia mengenakan helm dan jaket. "Ta! Elo marah?" "Nggak," jawab Tata. "Terus kenapa elo main kabur aja?!" "Sisi Cantik …, gue kudu pulang sekarang, karena ada panggilan mendesak dari perut gue." "Kunyuk lo Ta. Gue pikir ada apaan!" sembur Sisi kesal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD