2 - Dipatahkan

1057 Words
21.00 WIB Willy mengerjapkan matanya. Saat membuka mata dia melihat sekeliling. Ruang yang tak asing terlihat. Rupanya dia sudah di kamar. Entah sudah berapa lama dia tidak sadarkan diri. Wajah terasa perih. Dia menyentuhnya dan semakin sakit. Sepertinya dia terluka parah akibat dipukuli. Ceklek Pintu kamar terbuka. Matanya tertuju pada wanita yang baru saja masuk ke dalam kamarnya. Aca menutup pintu kembali. Dia kemudian menatap Willy yang terbaring di kasur. Willy bangkit mendudukkan dirinya. Matanya tak lepas dari Aca. "Kamu beneran hamil, Ca?" tanyanya masih tidak percaya jika wanita itu telah berbadan dua. "Kamu cuma bercanda doang, kan? Kamu gak serius kan, Ca?" Aca menghela napas. "Aku beneran hamil, Will." Willy terdiam lama. "Siapa?" "Siapa pelakunya, Ca?" "...." Aca diam, tidak bisa memberikan jawaban. "Apa dia?" Aca tetap diam. Tapi dari mata Aca, Willy dapat membaca bahwa memang pria itu pelakunya. "Terus kenapa kamu nuduh aku Ca?! Kenapa kamu bilang aku yang memperkosa kamu?" "Kenapa kamu jadikan aku sebagai kambing hitam dari masalah kamu? Kenapa Ca?" tanya Willy bertubi-tubi. Aca tetap bungkam. "Apa aku punya salah sama kamu sampai kamu tega melakukan itu?" "Bilang salah aku apa sampai kamu tega menuduh aku memperkosa kamu?" Aca tetap diam seribu bahasa. Hanya berdiri dengan kepala tertunduk. Willy mengalihkan pandangannya pada jendela. Terlihat di jendela rintikan hujan turun semakin deras. Dia menghela napas kasar. Aca masih diam mematung di depan pintu. Dia tertunduk menyesali perbuatannya yang menjadikannya hamil seperti ini. Usia kandungnya kini sudah memasuki hampir tiga bulan. Dia sudah kehabisan cara sehingga mengambil keputusan berat yang mengharuskannya menuduh sepupunya sendiri. "Adi mana?" Willy menatap Aca. Aca mengangkat pandangannya menatap dingin ke arah Willy yang baru saja menyebut nama pacarnya itu. "Kenapa bukan dia yang tanggungjawab?" "Kenapa harus aku?" Lagi, Aca cuma bungkam. "Dia kabur? Lari dari tanggungjawab?" "Berapa kali aku bilang, jauhi dia. Dia bukan pria yang baik untuk kamu." "Sekarang terbukti 'kan. Pria pengecut itu pergi setelah mendapatkan apa yang dia mau. Dan aku kamu jadikan laki-laki yang menghamili kamu." "Lebih keterlaluan lagi, kamu bilang aku ini memperkosa kamu." "Pikiran sehat kamu kemana, Ca?" "Sadar gak atas apa yang kamu lakuin ke aku." "Kamu menghancurkan hidup aku, Ca!" Willy berusaha menahan diri untuk tidak main kasar ke Aca meskipun dia benar-benar sangat marah pada cewek itu. Dia sangat berusaha menahan emosinya untuk tidak bertindak kasar meski dia sangat sakit hati pada Aca. "Kamu fitnah aku, Ca! Kamu hancurkan nama baik aku di mata papa-mama kamu!" Air mata Willy menetes jatuh. Membasahi wajahnya yang penuh luka lebam akibat pukulan orang tua cewek itu. Wajahnya terasa perih, tapi perasaannya jauh lebih perih. Dia sudah dapat membayangkan masalah yang akan terjadi padanya akibat tuduhan Aca. Willy mengusap air matanya kasar. "Kamu yang bermasalah! Kenapa aku yang diikutsertakan, Ca!" pekik Willy emosi. Aca tidak perlu khawatir suara Willy keluar sampai didengar keluarganya. Karena setiap kamar di rumahnya kedap suara. "Kalau Adi tidak mau mengakui perbuatannya! Jangan aku yang kamu jadikan sasaran!" "Kapan kamu akan dewasa! Akui perbuatan kamu dengan jujur! Bukan dengan memfitnah orang lain!" Aca menarik napas panjangnya. Menghembuskannya perlahan. Menetralkan dirinya untuk tidak terbawa emosi. "Papa sudah melapor ke Ayah dan bunda kamu. Mereka akan datang besok pagi," ucap Aca lalu pergi dari kamar Willy. Dia datang cuma ingin menyampaikan pesan itu. Willy berteriak frustasi. Mengacak rambut kesal dan meninjuk kasurnya dengan pukulan yang amat kuat. Harinya akan hancur dimulai dengan hari ini. Dia membenci Aca sekarang. Cewek itu sungguh keterlaluan padanya. Dituduh memperkosa padahal niatan untuk melakukan hal kotor itu saja tidak pernah. Sungguh perbuatan Aca tidak bisa dimaafkan. Lihatlah saat cewek itu memasuki kamarnya tadi. Dia bahkan tak mengucapkan kata maaf dan memberikan penjelasan. Dia malah pergi seenaknya. Dia yang melakukan kesalahan dan malah orang lain yang yang disalahkan. Willy paham kenapa Aca menuduhnya sebagai p*******a. Jelas wanita itu ingin menutupi aibnya dan tidak mau dianggap bersalah. Cewek itu menjadikan dirinya sebagai korban dan dirinya ini yang jadi pelaku dan akan disesali orang-orang. Aca melemparkan semua masalah padanya. Dia yang akan menanggung beban itu dan Aca hanya akan mendapatkan rasa iba. Sungguh pintar gadis itu. Cerdas tapi licik. Shit! *** 09.00 WIB Pintu kamar Willy terbuka. Dia beranjak turun dari ranjangnya. Dia menghampiri kedua orang tuanya yang baru saja melangkah masuk ke dalam kamarnya. PLAK! Tamparan yang dia dapatkan. Kali ini tamparan itu dari sang ayah. Willy menatap ayahnya dengan mata yang berkaca-kaca. Dia yang berharap dapat pembelaan dari orang tuanya harus menelan pil hapit kehidupan. Sebab tak seorang pun yang di sisinya. Semua menyalahkannya tanpa minta penjelasan. Bunda menutup mulutnya yang membulat sempurna karena terkejut dengan suaminya yang menampar putra mereka. PLAK! Sekali lagi tamparan mendarat di pipi kanan Willy. Rasanya jauh lebih sakit dari tamparan sebelumnya. Willy cuma bisa terdiam menahan sakit itu. Saat tangan ayah ingin menampar Willy lagi, Bunda menahannya. "Cukup Yah," pintanya. Tak tega dia melihat putranya yang tampak kesakitan. Ayah menurunkan tangannya. Dia menatap tajam ke sang anak yang sejak kecil selalu menyusahkannya. "Ayah, kenapa kita tidak mendengarkan Willy berbicara dulu. Mungkin dia punya alasan." Bunda Willy masih sangat berharap jika semua ini hanya kesalahpahaman. Dia tidak yakin putra sulungnya sampai berani memperkosa Aca. "Masih mau mendengarkan dia, hah! Dia sudah memalukan kita, Bun! Keluarga kita menanggung aib gara-gara dia!" ketus Anggara sembari menunjuk Willy. Willy meraih tangan ayahnya dan ayahnya menepis tangannya dengan kasar. "Jangan sentuh-sentuh saya! Kamu itu perusak nama keluarga Anggara! Nama saya busuk gara-gara kamu!" Lagi, hati Willy dipatahkan. Willy menatap pada sang bunda. Harapan satu-satunya. "Willy gak memperkosa Aca, Bun. Willy gak m*****i Aca. Dia memfitnah Willy. Willy gak tau apa-apa. Bunda percaya kan, sama Willy? Willy gak berbohong Bun, Willy berkata jujur. Bunda, percaya ya sama aku. Aku mohon..." PLAK! Lagi dan Lagi ayah menamparnya. "Masih mau membela diri kamu! Memang anak yang memalukan!" "Anak gak guna!" "Anak yang bisanya cuma bikin susah orang tua!" umpat Anggara bertubi-tubi. "Dari kecil sampai sekarang selalu bikin masalah!" tambah Anggara. Hati Bunda teriris mendengar sang suami memaki putranya. Namun dia hanya diam. Tak melakukan apa-apa. "Bunda kamu gak akan percaya. Mau kamu nangis darah kami tetap tidak mempercayai kamu. Cukup membuat kami susah Will. Dari kecil kamu itu tidak pernah membanggakan kami. Selalu saja bikin susah. Kalau memang gak bisa bikin bangga, jangan malah buat masalah," ujar Anggara. Willy menatap ayahnya. Matanya memerah dipenuhi cairan bening yang perlahan jatuh menetes membasahi wajahnya. "Apa aku seburuk itu Yah? Hiks..." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD