3 - Jahat

1968 Words
"Apa aku seburuk itu Yah? Hiks..." "Iya!" jawab Anggara dengan gamblangnya. Willy menghapus air matanya. " Apa Ayah gak bisa percaya sama aku?" Dia meraih tangan ayah. "Aku ini anak Ayah. Aku butuh kepercayaan dari Ayah. Aku mohon Yah, kali ini aja percaya sama aku." Anggara melarikan tangannya dari Willy. Dia tunjuk anak itu dan menatapnya benci. "Saya tidak akan pernah percaya sama kamu. Sekalipun kamu anak saya, tapi bukan berarti saya akan membela kamu. Kamu itu salah, jadi gak usah minta pembelaan." "Aku gak salah Yah, aku dituduh. Aku gak berbuat kesalahan apapun. Aku difitnah, Yah. Tolong percaya sama aku." "Cukup Willy! Cukup! Jangan memohon apapun sama saya. Kamu itu sudah mempermalukan saya! Saya malu punya anak kayak kamu! Saya malu!" ketus Anggara seraya menoyor-noyor kepala Willy. Bunda lagi-lagi tak melakukan apapun padahal jelas anaknya sedang direndahkan oleh suaminya. Hatinya sakit melihat putranya diperlakukan seperti itu tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa selain diam. "Ayah, kenapa aku diperlakukan beda?" tanya Willy getir. " Kenapa dari kecil Ayah selalu menyalahkan aku? Kenapa Ayah gak pernah percaya sama aku? Aku ini anak Ayah, seharusnya Ayah membela aku bukannya menyudutkan aku. Kenapa Yah... kenapa??? Hiks..." Anggara berkacak pinggang. Dia terdiam tak bisa memberi jawaban. Bisa, tapi dia sudah janji pada istrinya untuk tidak akan mengatakannya seumur hidup. Willy melarikan pandangannya ke bunda. "Bun, kenapa Bun? Kenapa Ayah gak bisa memperlakukan aku seperti Stefan? Ayah selalu percaya sama Stef, ayah selalu memuji Stef, ayah juga gak pernah marah sama Stefan bahkan saat anak itu melakukan kesalahan. Tapi kenapa aku tidak diperlakukan sama? Hiks..." Bunda memeluk Willy. Menenangkan putranya itu. Willy melepaskan pelukan bundanya. Dia tidak perlu pelukan, dia butuh jawaban. "Ayah, bilang ke aku Yah, kenapa? Apa alasannya?" PLAK! Bukannya mendapat jawaban, Willy malah digampar untuk sekian kalinya. "Ayah cukup!" Bundak tak tahan lagi putranya dipukuli. "Kamu diam," ucap Anggara pada istrinya. Bunda tak bisa berbuat apapun lagi. Dia harus menuruti jika hidupnya ingin nyaman dan aman. Willy memegangi wajahnya yang lebam akibat dipukuli berkali-kali. "Ayah, apakah aku anak yang memalukan bagi ayah sehingga Ayah dan Bunda menintipkan aku di sini?" Entah apalagi yang harus dia tanyakan. Dia bingung karena kedua orang tuanya itu tak seperti orang tua pada umumnya. Anggara terdiam sambil berkacak pinggang. Sang bunda mengelus pundak Willy. "Enggak, Wil. Kamu salah. Ayah kamu bekerja di luar negeri dan bunda harus menamani ayah kamu. Makanya kami menitipkan kamu di sini." "Tapi kenapa Stefan ikut sama kalian? Kenapa aku gak kalian ajak? Dia juga sekolah di sini sebelumnya. Tapi kalian bawa dia ke Amerika. Sedangkan aku kalian titipan di sini. Kalian bahkan gak pernah mengunjungi aku. Kalian cuma pulang saat lebaran aja, itupun bukan untuk ketemu aku, tapi ketemu nenek yang di Bandung." "Karena Stefan sakit, makanya dia ikut kami," jawab Bunda. "Terus, aku yang sehat ini kalian tinggalkan?" Bunda dan Ayah saling melihat satu sama lain. "Kenapa kalian diam?" "Cukup mengalihkan pembicaraan Willy. Kamu fokus saja pada masalah perzinahan kamu yang membuat saya malu punya anak kayak kamu!" Anggara tak tahan disudutkan putranya. "Perlu kamu tau ya Willy. Kamu itu harus sadar diri. Kamu dan Stefan itu berbeda. Dia lebih berharga dari kamu. Lagipula kamu itu seorang kakak yang harusnya gak boleh cemburu pada adik sendiri. Wajar saya lebih percaya pada Stefan karena dia gak pernah mengecewakan saya. Sedangkan kamu, ckck, selalu aja bikin susah keluarga. Buktinya kelakuan kamu sekarang ini yang buat bunting sepupu sendiri. Memalukan!" tambah Anggara. Willy terdiam menahan perih di dadanya. "Kamu sadar gak, perbuatan kotor kamu merusak nama baik keluarga dan hubungan bunda kamu sama kakaknya jadi renggang, kamu akan mendapatkan akibatnya," lanjut Anggara. "Ayah akan menjauh. Ayah akan ninggalin aku. Ayah dan bunda gak akan pulang lagi dan aku ditelantarkan di sini." Willy menghela napas beratnya. "Bagus, kalau kamu sudah paham," ucap Anggara. Willy mengepal jemarinya. "Saat kalian pulang nanti. Sampaikan pada Stefan, kakaknya ini mendoakan supaya dia sehat dan panjang umur. Penyakitnya hilang dan pindahkan saja padaku." Willy melenggang pergi dari hadapan orang tuanya. Dia menuju ke kamar mandi dan menangis di dalam sana. "Aku salah apa Tuhan?" "Kenapa hidup aku seberat ini?" "Aku juga ingin bahagia." "Tapi kenapa kau selalu datangkan masalah padaku." "Aku cepek Tuhan... aku cepek... hiks..." *** 19.00 WIB Keluarga Aca dan keluarga Willy berkumpul di ruang tengah. Kedua belah pihak duduk di sofa yang berhadapan. Aca duduk di tengah Papa-Mamanya. Sedangkan Willy duduk di samping bundanya dengan jarak yang jauh. Meski ingin duduk seperti posisi Aca, tapi Willy sadar diri. Orang tuanya berbeda. Orang tuanya sudah menjauh. Dia tidak akan dibela di sini. Dia akan disalahkan dan dicampakkan. "Anggara, anak macam apa putramu itu! Sampai tidak tau diri, malah memperkosa anakku dan menyebabkan Aca hamil di luar nikah! Willy menghancurkan masa depan dia, benar-benar kelewatan!" umpat Malik. "Aku menyesal sempat menganggap dia sebagai anakku. Taunya sikap dia tak lebih baik dari binatang," lanjut Malik. Willy yang mendengarnya cuma bisa tahan diri, sabar dan diam. "Aku sangat minta maaf, dia memang anak yang tidak tahu diri. Aku mengaku salah dan akan bertanggung jawab atas kejadian yang dia perbuat." Berbeda dengan orang tua lain yang biasanya membela sang anak tapi Anggara lebih menyalahkan anaknya sendiri. "Kak, maafkan Willy ya. Mungkin dia khilaf," ucap Bunda Willy merasa bersalah atas apa yang menimpa Aca. Sita hanya diam tidak menanggapi. Willy menundukkan kepalanya. Di posisinya saat ini sangat menyakitkan. Kadang dia iri pada Aca yang selalu mendapatkan kepercayaan dari orang tuanya. Mendapat dukungan dan selalu dibela dalam keadaan apapun. Sedangkan dirinya... ah, sudahlah. Dia memang tak beruntung di muka bumi ini. "Willy, minta maaf pada keluarga Aca dan pada Aca juga," pinta Anggara memaksa. Willy mengangkat kepalanya. Dia memandang Aca. Menatapnya sampai tak berkedip. Cewek itu adalah wanita pertama yang dikagumi sejak kecil. Cewek itu teman terbaik yang dia punya. Tapi kenapa cewek itu juga yang menghancurkannya. Salah apa dia sampai difitnah sekejam ini. "Ayo minta maaf," pinta Anggara lagi. "Aku gak mau," tolak Willy. "Willy, minta maaf sekarang!" Suara Anggara naik satu oktaf. "Aku gak mau. Aku gak salah apa-apa. Jadi kenapa aku harus minta maaf." Willy membuat Anggara naik darah, Malik juga dibuat naik darah oleh anak itu. Malik yang selama ini tinggal sama Willy sangat kecewa dengan sikap Willy. Dia tidak mengira anak itu akan bersikap tidak tahu diri. Untuk minta maaf saja tidak mau dan tidak mau pula mengakui kesalahannya. Sungguh dia kecewa pada Willy. Damar kesal dengan ucapan Willy. Cowok 25 tahun itupun menghampiri Willy dan langsung menamparnya. PLAK! Aca kaget melihat kakaknya menampar Willy. Tetapi dia cuma bisa diam saja. Orang tua Willy diam saja melihat putra mereka ditampar oleh Damar. Bunda mau buka mulut tapi tidak berani. Takut Sita semakin marah padanya. Setelah dia pikir-pikir wajar Willy mendapat tamparan karena anaknya itu salah. Sebab tak mau minta maaf dan mengakui kesalahannya. Willy tersenyum miring pada Damar. "Makasih pukulannya." Willy berdiri menghadap Damar. Menatap pria yang dia hormati itu. "Aku minta maaf karena gagal menjaga Aca, tapi aku gak akan pernah minta maaf atas kehamilan dia," ucapnya di depan orang-orang. Willy merasa kehadirannya di sini tidak diperlukan lagi. Dia pun pergi meninggalkan ruang tengah yang mencekam ini. Dimana dia merasakan sakit yang tak berdarah tapi terluka amat parah. Sepeninggalan Willy. Damar kembali duduk di tempatnya semula. Perbincangan kembali berlanjut meski tanpa kehadiran Willy. "Karena Aca hamil, aku mau dalam waktu dekat Willy menikahi Aca!" Pinta Malik pada Anggara. "Oke, aku setuju," balas Anggata tak keberatan sedikitpun. "Aku akan menanggung semua biayanya. Sebagai permohonan maaf atas kesalahan yang dibuat Willy," lanjut Anggara. "Oke."   ***   Kamis pagi pukul 06.30 WIB. Willy dan Aca berangkat ke kampus secara terpisah. Aca naik mobil diantar sopir dan Willy naik motor gedenya pemberian almarhum sang kakek. Sampai di kampus mereka barengan. Tidak seperti dulu saat menuju ke kelas mereka akan berjalan bersama. Kini mereka seperti orang asing. Willy sengaja mempercepat langkahnya. Dia sampai di kelas duluan dan tidak lama Aca pun menyusul. Mereka sejurusan. Sama-sama jurusan managemen bisnis. Kini mereka sudah berada di kelas 304 blok A khusus untuk kelas jurusan yang mereka ambil. "Will, muka lo kenapa?" tanya Kevin yang duduk di depan Willy. "Efek samping maskeran," jawab Willy asal. "Ckck, bercanda lo gak lucu. Serius kena apa tu muka?" "Gak kena apa-apa." Willy memang bukan tipe cowok yang doyan curhat masalah pribadinya. Dia terkenal introvert. Aca memperhatikan Willy. Heran, karena Willy memilih tak mengatakan apapun pada Kevin. Cowok itu sungguh tertutup. Padahal Kevin teman dekat Willy satu-satunya. *** Pukul 10.00 WIB. Jam istirahat. Para mahasiswa bubar pergi ke kantin. Willy tidak kemana-mana. Begitu juga dengan Aca. Kebetulan mereka duduk berdampingan. Mereka sama-sama diam dengan pemikiran masing-masing. Hubungan mereka benar-benar renggang. Willy menoleh sebentar. Lehernya terasa kaku makanya dia menolehkan kepalanya dan tidak sengaja terlihat wajah Aca. Muka cewek itu tampak pucat. Willy menurunkan pandangannya. Karena baju Aca ketat, perut wanita itu terlihat lebih menonjol. Kehamilan wanita itu kini sudah terlihat jelas di mata. Tapi bodohnya dia baru sadar sekarang bahwa Aca hamil. Dia mengalihkan pandangannya. Tak ingin peduli karena cewek itu sudah sangat mengecewakannya. Tiba-tiba ... Plentang! Suara ponsel jatuh dan ponsel itu milik Aca. Willy melihat Aca sudah pingsan di bangku secara mendadak. Cemas, Willy menghampiri Aca dan berusaha membangunkannya tapi Aca tetap tak sadarkan diri. Takut Aca kenapa-napa, Willy menggendong Aca dan melarikan Aca ke UKM (Unit Kesehatan Mahasiswa). Perjalanan menuju UKM membuat para mahasiswa heboh karena melihat Willy menggendong Aca. Willy tidak peduli dengan sorakan teman-teman kampusnya. Dia fokus pada tujuannya. Sampai di UKM Willy membaringkan tubuh Aca di ranjang. Sialnya di ruang itu tidak ada siapa-siapa sehingga dia harus sendirian menangani Aca. Beberapa menit kemudian ada tanda-tanda Aca terbangun. Cepat Willy menjauh. Saat cewek itu benar-benar sadar dia mengubah raut wajahnya menjadi dingin. "Jangan pingsan lagi, merepotkan," ucap Willy dan dia segera pergi meninggalkan Aca. Aca turun dari ranjang. Dia kembali ke kelas dan ada Willy di sana. Aca duduk di bangkunya. Dia cek ponselnya dan banyak pesan masuk dari mamanya. [ Jangan lupa makan anak mama ] [ Makanannya ada di ransel kamu ] [ Jangan setres-setres ya. Mama dan papa sayang sama kamu. Kami takut kamu sakit ] [ Tenang aja, masalah kamu akan membaik ] [ Bye anak mama tersayang ] Aca menghela napasnya. Syukurlah orang tuanya tidak marah padanya. Willy sedang memainkan ponselnya. Dia masuk ke **. Dia mengetik nama Stefan Putra Anggara di pencarian. Ketemu dengan akun adiknya. Dia melihat postingan adiknya itu. Dia melihat banyak foto Stefan bersama ayah dan bunda mereka. Wajah Willy tidak ada satupun di postingan Stefan. Sebagai seorang kakak tentu dia sedih tidak ada fotonya di ** adiknya. Willy juga search ayah dan bundanya. Setelah memeriksa kedua akun orang tuanya itu. Hasilnya gambar dirinya tidak ada di postingan keduanya. Dulu ada, mungkin sudah dihapus karena permasalahan yang terjadi. Willy meletakkan ponselnya di meja. Kesal dan kecewa. Dia benar-benar dijauhi keluarganya. Menyedihkan. Aca diam-diam melirik Willy. Dia menatap wajah pria itu. Saat Willy merasa ada yang memperhatikannya, dia menoleh dan mendapati Aca sedang memandanginya. Aca cepat mengalihkan pandangannya ke depan. Pura-pura tidak terjadi apa-apa. "Aku benci sama kamu, Ca," ungkap Willy terang-terangan. "Aku gak minta kamu suka sama aku. Aku cuma minta kamu bersedia menikahi aku," balas Aca tanpa mengalihkan pandangannya. "Kenapa harus aku? Kenapa bukan Adi? Dia yang menghamili kamu, bukan aku." "Jika Adi ada, aku gak bakal minta kamu menikahi aku. Dan aku gak bakal menjadikan kamu sebagai pelakunya." "Menjadikan aku sebagai pelakunya bukan jalan keluar yang baik, Aca." "Itu menurut kamu, Will. Enggak berlaku untuk aku." "Aku gak bisa terus terang ke papa-mama aku. Kamu tau kan orang tua aku seperti apa. Jadi aku gak mungkin berani bilang yang sebenarnya Will. Jalan satu-satunya cuma satu. Dengan aku menuduh kamu." "Kamu jahat sekali dengan aku, Ca. Aku gak pernah mikir kamu bisa sejahat ini sama aku." Aca menatap Willy. "Aku gak ada pilihan, Will," ucapnya penuh penekanan. "Aku terpaksa Will! Aku terpaksa! Hiks ..." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD