Part 4

2063 Words
Willy terdiam melihat Aca menangis. Tangisan Aca semakin menjadi. Willy jadi merasa tidak tega. Ini pertama kalinya dia membuat Aca menangis. "Hentikan tangisan kamu, Ca. Aku tau kamu terpaksa melakukannya. Tapi menyalahkan orang lain dari masalah yang kita buat sendiri bukan cara yang tepat untuk lari dari masalah." "Kamu gak ngerti Will dengan apa yang aku rasakan. Kalau kamu jadi aku pasti kamu juga akan melakukan hal yang sama." Aca melenggang pergi meninggalkan Willy. Willy membiarkan cewek itu pergi. Mereka kini tak sepaham lagi. Aca yang Willy kenal sudah berubah. *** 13.00 WIB Pulang kuliah. Aca duluan sampai di rumahnya. Ketika dia masuk ke dalam rumah, di ruang tamu dia dapati orang tuanya sedang berbicara dengan orang tua Willy. Aca mau langsung ke kamar, tapi langkahnya mau ke sana tertahan karena sang Papa memanggillnya. "Aca, sini sebentar," panggil Malik. Aca menurut dan menghampiri orang tuanya. Dia pun duduk di dekat Mamanya. “Gimana kuliah kamu hari ini?” tanya Malik pada putri kesayangan itu. “Baik-baik aja kok Pa,” jawab Aca lalu tersenyum. Seolah tak ada yang terjadi di kampus tadi. “Gak ada yang aneh-aneh?” tanya Malik lagi. “Gak ada kok. Semuanya normal kayak biasanya.” "Syukurlah..." Aca mengukir senyum. “Oh iya Ca, bekalan yang Mama buatin kamu makan, kan?” tanya Sita. Aca mengangguk. "Habis?" "Iya habis." Aca berbohong. Dia tidak memakannya. Dia membuangnya. “Anak, pintar.” Sita mengelus kepala Aca. Aca tersenyum kembali. Kejadian saat dia pingsan di kampus sebaiknya tidak dia ceritakan, takutnya nambah beban orang tuanya. Sudah cukup dia membuat orang tuanya setres karena kehamilannya. Jadi tidak usah dia tambah lagi setres itu. "Ca, mana Willy?” tanya Anggara. Aca mengangkat bahunya tanda tak tahu. Dia tak pulang bareng dengan pria itu. Lagian saat kelas bubar tadi Willy langsung menghilang. Hingga dia tidak melihat jejak pria itu. “Kamu gak liat dia?” tanya Seli. “Maaf Tante, aku gak liat.” "Anak itu pasti keluyuran. Emang anak gak berguna," umpat Anggara. Baru saja Anggara berucap demikian tiba-tiba Willy datang dan menatap orang-orang yang juga sedang melihat ke arahnya. Dan dia mendengar saat ayahnya itu menjelekkannya. Sakit perasaannya tapi hal semacam itu sudah biasa. Ayahnya memang terlalu sering memandang buruk dirinya. Dan hal yang baik hanya terdapat pada adiknya. Tak adil memang, begitulah nasibnya. "Darimana kamu? Harusnya kamu pulang bareng Aca!" ucap Anggara seraya menatap Willy dengan tatapan amarah. "Aca itu sudah jadi tanggung jawab kamu! Kamu harus jagain dia dan gak boleh biarin dia pulang sendirian," tambah Anggara. “Ayah gak mau terjadi sesuatu pada Aca, paham kamu!” Willy menghela napas berat. Begitulah orang tuanya. Selalu lebih mengkhawatirkan orang lain daripada anak sendiri. Tanpa diminta Willy pun ikut bergabung di ruang tamu. Dia duduk di dekat bundanya. Tak perlu disuruh, dia dapat menebak pasti orang-orang sedang menunggu kedatangannya. "Dengerin baik-baik. Ayah dan Papa Aca sudah memutuskan. Kamu dalam waktu dekat akan menikah dengan Aca," terang Anggara pada putranya. "Menikah? Kapan?" tanya Aca. "2 hari lagi. Tepatnya di hari Sabtu. Itu waktu yang sudah Om dan papa kamu putuskan," jawab Anggara. "Apa?" Willy tertohok mendengar perkataan ayahnya itu. Secepat itukah dia harus menikah dengan Aca? Seharusnya orang tuanya tidak boleh memutuskan secepat itu. Karena dalam waktu singkat itu dia tidak bisa membuktikan bahwa dia tidaklah bersalah. Dan dia tidak akan sempat menjelaskan pada pacarnya jika dia dijebak dan harus menikah dengan Aca. Dia tudak mau kekasihnya nanti salah paham dan jadi menganggapnya pria yang buruk. Aca cuma menunduk diam setelah tahu pernikahannya dengan Willy akan segera terlaksana. Meskipun dalam hatinya dia tidak menginginkan pernikahan itu tapi dia membutuhkan Willy sebagai penutup aibnya. Jadi dia tidak punya pilihan selain menyetujuinya. "Kamu keberatan?" tanya Malik pada Willy. Dia melihat jelas wajah anak itu tampak keberatan. “Jelas Willy keberatan Om,” jawab Willy. “Willy gak mau menikah dengan Aca. Willy gak salah apa-apa, Om. Willy gak memperkosa Aca. Dia menuduh Willy atas apa yang gak Willy perbuat,” jawab Willy mencoba menjelaskan kebenaran. PLAK! Willy ditampar saat selesai berbicara. Malik tidak terima dengan perkataan anak itu. Dia yakin Willy berdusta. Malik tentu saja lebih percaya pada putrinya karena selama ini yang dia tahu putrinya itu selalu berkata jujur padanya. Aca terkejut saat papanya menampar Willy. Namun dia tak berbuat apa-apa. Hanya bisa menonton saja. “Bajiangan kamu,” maki Malik. “Saya gak nyangka kamu seberengsek ini jadi anak!” "Menyesal saya sempat bangga-banggain kamu," tambah Malik. Willy diam. Percuma dia lanjut bicara karena tak seorang pun yang percaya padanya. Ayah dan bundanya bahkan diam saja saat anak mereka dipukuli. Tampaknya dia memang harus sadar, di dunia ini dia terlahir sendirian dan menanggung derita yang tak pernah putus. Malik mengontrol emosinya yang berapi-api. Dia berusaha tenang kembali dan mengabaikan Willy. "Aca, kamu setujukan dengan pernikahan kamu yang akan segera terlaksana?" Malik melarikan pandangannya pada anak bungsungnya. “Persetujuan kamu lebih penting daripada dia.” Malik menunjuk Willy di akhir ucapannya. Sebelum menanggapi, Aca melihat ke arah Willy. Dia melihat cowok itu terlihat marah besar padanya. Dia pun segera mengalihkan pandangannya lalu memberikan anggukan sebagai persetujuan. "Pernikahan kalian akan dilaksanakan secara kekeluargaan saja. Kalau dibesar-besarkan Papa takut nanti kamu jadi bahan perbincangan orang-orang. Lebih baik diadakan secara tertutup sehingga tidak banyak yang tahu," ucap Malik. "Aku setuju," sahut Anggara. "Memang lebih baik dilakukan secara diam-diam saja. Takutnya jika dibesar-besarkan orang-orang akan tau kehamilan Aca." Anggara menujuk Willy. "Ini semua gara-gara kamu. Liat, karena ulah kamu Aca jadi menanggung akibatnya." Dia menghela napas kasar. Anggara melarikan pandangannya pada Malik. "Sekali lagi aku minta maaf, gara-gara Willy masa depan Aca jadi hancur." "Nasi sudah menjadi bubur. Anak berengsek kamu ini harus bertanggung jawab atas kesalahan yang dia buat." Malik menunjuk Willy. "Saya mengizinkan kamu menikah dengan Aca bukan berarti saya memaafkan dosa hina kamu." "Harus berapa kali Willy bilang Om, Willy tidak menghamili Aca!" tekan Willy seraya bangkit dari posisi duduknya. Dia kehabisan kesabaran. Dia tak terima dibilang pendosa hina. Dia tak melakukan sebuah kesalahan. Dia hanya difitnah oleh Aca. "Willy!" Bunda Willy menarik Willy menyuruh putranya itu untuk duduk kembali. "Tenangkan diri kamu," pintanya. Willy mengepal jemarinya. "Bunda, aku ini anak Bunda. Seharusnya Bunda percaya sama aku. Aku gak mungkin menghamili Aca.” “Gak mungkin kamu bilang, Will. Terus kenapa aku bisa hamil Will, kalau bukan karena kamu! Terus aku hamil anak siapa? Gak mungkin Will aku pura-pura hamil,” sanggah Aca cepat. “Om dan Tante harus percaya sama aku, kalian taukan aku ini gak pernah dekat dengan cowok manapun selain Willy,” lanjut Aca untuk menyanggah omongan Willy supaya orang-orang lebih percaya padanya. “Hanya dekat dengan aku? Terus siapa A-” Willy tak menyelesaikan omongannya karena mengingat orang tua Aca yang tak tahu menahu soal Aca yang sudah berani pacaran padahal dilarang keras oleh orang tuanya. Sial, kenapa dia harus peduli masalah itu. Kenapa dia dilahirkan dengan hati yang terlalu peduli dengan orang lain daripada peduli dengan dirinya sendiri. Aca dalam kebimbangan. Dia takut Willy akan mengatakan semuanya. Cepat dia cari cara agar Willy tidak mengatakan rahasia besarnya. “Kamu jangan fitnah aku Will! Aku gak pernah berhubungan dengan cowok manapun, hanya kamu satu-satunya cowok yang dekat dengan aku.” “Aku gak nyangka sama kamu, Ca. Taganya kamu ngomong kayak gitu. Padahal yang kamu katakan itu bohong. Aku yang kamu fitnah bukan aku yang fitnah kamu.” “Willy cukup!” bentak Anggara. “Jangan banyak bicara, kalau salah mengaku saja, jangan cari pembenaran!” ketus Anggara. “Udah lah Will,” tambah Seli. “Ayah dan Bunda kenapa sih? Harusnya kalian membela aku. Anak kalian ini sedang difitnah tapi kenapa kalian malah lebih percaya sama orang lain!" Bulir-bulir air mata jauh di kedua belah pipi Willy. "Willy! Cukup!" bentak Anggara. "Kamu itu jelas-jelas salah! Jadi gak usah cari alasan lagi. Akui saja perbuatan kamu, jangan malah balik memfitnah Aca." Willy mengepal tangannya. Dia tak tahan lagi pada suasana ini dan memilih pergi. Dia masuk ke dalam kamarnya dan menangis frustasi atas masalah yang menimpanya. Aca yang di ruang tamu juga beranjak pergi. Saat dia menuju ke kamarnya, dia melewati kamar Willy. Dia berhenti di sana dan mengintip Willy di balik pintu. Dia melihat Willy menangis sambil menonjok tembok kamar. Aca memilan ujung roknya, dia merasa bersalah atas apa yang dirasakan Willy tapi dia tidak bisa mengobati rasa perih itu karena dia tidak mungkin akan mengatakan semua kebenaran yang terjadi. "Maafkan aku Will..." *** 19.30 WIB Keluarga Aca dan keluarga Willy sedang duduk bersama di meja makan. Hanya kehadiran Willy yang tak terlihat di sana. Malam ini ayah dan bunda Willy menginap di rumah Malik. Karena mereka masih sibuk mengurus surat-surat untuk mengajukan pernikahan anak mereka. Saat ini mereka berhenti sejenak untuk mengisi perut mereka. Kebetulan memang sudah waktunya untuk makan malam. "Yah, kok Willy gak keliatan?" bisik istri Anggara pada suaminya. "Sudah, gak usah urusin dia. Dia sudah besar, jika dia lapar pandai aja cari makan sendiri," balas Anggara ketus tapi dengan bisikan. Seli pun tak berkutik. Dia melanjutkan makannya meskipun pikirannya masih memikirkan sang putra sulungnya. Walau dia sadar dia bukan ibu yang baik untuk Willy tetapi sebagai seorang ibu tentu saja ada rasa khawatir pada darah dagingnya itu. "Gimana kabar Stef, Sel?" tanya Sita di sela makannya. "Alhamdulillah, dia sudah mendingan. Dia juga sudah pandai bergaul sama teman sebayanya," jawab Seli semangat. Dia senang akhirnya kakaknya itu mau lagi berbicara dengannya. Dia kira karena ulah Willy hubungannya dengan sang kakak akan jadi perang dingin. "Syukurlah," balas Sita. “Kamu gak ada kepikiran untuk menetap di sini?” tanya Sita pada adiknya itu. “Ada, cuma gak bisa karena Anggara gak bisa meninggalkan pekerjaannya. Dia sudah menjadi karyawan tetap di sana dan memiliki tanggungjawab yang besar,” jawab Seli. “Ohh gitu. Jadi selamanya kamu akan jadi penduduk Amrik?” “Ya begitulah. Tapi gak tau juga kedepannya akan seperti apa. Bisa aja aku akan kembali tinggal di sini." Aca selesai makan dan begitu juga dengan yang lainnya. Saat Aca mau pergi tangannya ditahan sang mama. "Tunggu," pinta Sita. Aca kembali duduk. Aca bertanya-tanya dalam benaknya kenapa mamanya menahan dia pergi. Dia takut mamanya menanyakan kronologi kejadian yang sampai membuatnya hamil. Karena dia akan sangat biung menjelaskannya. "Ceritakan sama Mama dan semuanya kenapa Willy bisa sampai memperkosa kamu?" tanya Sita. “Iya, coba kamu ceritakan. Om penasaran dengan kronologi kejadiannya. Om ingin tau seberengsek apa anak Om yang gak tau diri itu,” tambah Anggara. “Pa, gitu-gitu Willy itu anak kita,” bisik Seli yang tak suka Anggara menjelekkan Willy di depan orang lain. “Anak kamu, bukan anak aku,” balas Anggara dengan bisiskan juga. Hati Seli tiba-tiba sakit seperti ditusuk tombak secara dadakan setelah mendengar ucapan suaminya. Aca membeku. Dia menggigit bibir bawahnya. Dugaannya tepat. Orang-orang penasaran dengan kronologi yang membuatnya hamil. Dia berusaha keras untuk mencari ide untuk mengarang cerita agar semua orang percaya padanya. "Apa Willy menghamili kamu di rumah ini?" Damar bertanya. Dia ikut penasaran dengan yang dialami adiknya itu. Aca masih terdiam. "Ceritakan saja Ca," ujar Seli. "Tante gak apa-apa kok. Kamu gak perlu menutup-nutupi masalah ini. Lagian kamu dan Willy akan segera menikah." Semua orang menunggu Aca bicara. Hingga akhirnya Aca memberanikan diri untuk buka suara. "Jadi... waktu itu rumah ini kosong dan hanya tinggal aku dan Willy di rumah. Dan tiba-tiba... Willy masuk ke kamar aku dan... hiks..." Aca tak melanjutkan ceritanya. Dia sengaja menangis agar dia tak banyak bicara. Sebab saat ini pikirannya sedang kosong jadi dia tak tahu harus mengarang cerita seperti apa. Tak tega melihat Aca yang berderai air mata. Sita pun tak memaksa Aca untuk melanjutkan ceritanya. Dia peluk putri bungsunya itu. "Willy memang berengsek," ketus Damar. Dia beranjak pergi dari meja makan. Damar pergi ke kamar Willy untuk melabrak pemuda itu. Sampai di depan pintu kamar Willy. Dia menggedornya seraya memanggil-manggil Willy. Beberapa detik kemudian Willy membuka pintu kamar dan betapa kurang beruntungnya dia karena langsung mendapat tonjokkan dari Damar hingga hidungnya sampai mengeluarkan darah segar. "b*****t lo!" maki Damar. "Gue salama ini selalu beri lo amanah buat jaga adik gue! Tapi kenapa lo malah melecehkan dia b*****t!" Lagi, Damar menonjok Willy. Willy bangkit dan menahan Damar yang ingin menojoknya kembali. "Aku gak pernah melecehkan Aca, Kak!" sanggah Willy. "Aku selalu jagain dia! Aku selalu berusaha jadi orang yang bisa dia andalkan! Tapi apa balasan dia ke aku. Dia fitnah aku! Aku dijadikan kambing hitam sama dia!" "Gak usah membolak-balikan fakta, anjing!" umpat Damar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD