Bagian Tiga

1278 Words
Andin tengah berdiri dibalkon kamar sambil menatap langit malam yang penuh dengan bintang. Ia mengabaikan angin malam yang mungkin saja bisa membuatnya masuk angin.  Pikirannya kembali berputar pada masa-masa dulu, dimana semuanya masih terasa mudah bagi Andin. Tidak serumit sekarang. Andai dulu masalah itu tidak datang, mungkin sekarang ia tidak akan ketakutan seperti ini. Helaan nafas panjang terdengar dari Andin. Ia menunduk untuk menatap ponsel ditangannya saat merasakan benda itu bergetar. Ada satu pesan yang masuk dengan nama Alvaro disana. Andin pun memilih mengabaikan, tapi pesan itu kembali datang, membuat Andin tak punya pilihan lain selain membukanya. Alvr : Ngapain berdiri diluar? Alvr : Mikirin gue ya? Andin sontak mendengus geli saat membaca pesan narsis itu, ia berniat menutup menu pesan saat benda itu bergetar kembali. Masih dari Alvaro yang mengiriminya pesan. Alvr : Malam ini indah banget ya, bintangnya banyak. Sontak Andin mengangkat pandangan, menatap jauh ke seberang sana. Dimana ada Alvaro berdiri di balkon kamarnya dengan tangan melambai pelan. Sejak kapan dia disana?! Cowok itu menunjuk-nunjuk ponselnya, menyuruh Andin untuk melihat pesan. Dan Andin menurut. Alvr : Dilangit ada rasi bintang lo. Mau gue tunjukin? Terdengar menarik. Andin pun mengetikan balasan dan mengirimnya langsung. Tak berapa lama balasan pun tiba. Alvr : Liat dan ikutin gerakan tangan gue. Andin menatap ke depan, memperhatikan Alvaro yang menggerakan tangannya untukM menunjuk langit, memberitahu jika disana ada rasi bintang Andin. Taurus. Lagi. Ponsel Andin kembali bergetar. Masih dari orang yang sama. Alvr : Mending lo masuk, baju lo terlalu tipis. Andin diam. Ia menatap Alvaro sejenak sebelum mengetikan sebuah pesan. Andin : Al... Tak lama Alvaro membalas. Alvr : Kenapa? Andin menghela nafas panjang. Andin : Lo yakin sama perjodohan ini? Alvr : Kenapa harus nggak yakin? Percuma saja bertanya pada Alvaro, Andin pasti tidak akan menemukan jawaban dan hanya mendapatkan pertanyaan yang dilempar balik oleh cowok itu. Untuk itulah, dari pada membalas pesan Alvaro, Andin memilih untuk berbalik dan masuk ke dalam kamar. Membiarkan ponselnya berdering oleh panggilan masuk dari Alvaro. *** Seperti pagi-pagi sebelumnya, Alvaro kembali menjemput Andin untuk berangkat kuliha bersama. Seperti biasa, cowok itu sudah duduk diteras rumahnya sambil bermain dengan Bino—kucing perliharaan Andin. Cowok itu mengangkat pandangan saat mendengar suara langkah kaki mendekat, dan ia segera berdiri ketika Andin muncul. Wajahnya mengenyit saat menemukan wajah Andin yang tanpa ekspresi. Padahal biasanya, jika tidak ekspresi marah maka cewek itu akan menunjukan ekspresi kesalnya. “Udah?” Tanya Alvaro untuk mencairkan suasana. Tapi Andin hanya mengangguk dan berjalan lebih dulu. “Eh tunggu dulu!” Alvaro mencekal tangan Andin, membuat langkah cewek itu terhenti.  “Apa lagi?” Tanpa kata, Alvaro berjongkok di depan kaki Andin lalu mengikat tali sepatu cewek itu yang tidak terpasang dengan benar. "Tali sepatu lo nggak kenceng, kalo lepas terus lo jatuh gimana? Kan repot," Ia kemudian berdiri, kemudian menatap Andin yang hanya diam. Cewek itu seperti tengah memikirkan sesuatu, tapi Alvaro tidak tahu apa yang dipikirkan pleh Andin. “Berangkat sekarang?” Andin mengangguk. Dengan tenang dan tak berisik seperti biasanya, Andin duduk disamping kemudi, memakai sabuk pengamannya lalu memyenderkan tubuhnya  dengan pandangan menatap kesamping. Ketika mobil dihidupkan, Alvaro menyodorkan sebuah bekal ke depan Andin, membuat cewek itu memgernyit bingung. “Ini apa?” "Dari Mama, katanya buat lo.” Ia menjalankan mobilnya. Andin menerimamya, mengintip sedikit isinya. Dan ternyata isinya sandwich. Ia menutup kembali bekal itu dan memeganginya. “Gue nggak biasa sarapan.” Alvaro mendengus. "Sarapan itu penting, Ndin. Dengan sarapan, otak lo bisa jadi lebih pinter.” “Jadi maksud lo gue b**o gitu?” Ia sedikit tak terima. Alvaro meringis. "Emang buktinya kan? Nilai lo gak jauh-jauh dari D sama E. Soal kuis paling mudah aja lo masih susah jawab." Andin cemberut. Yang di katakan Alvaro memang benar. Tapi percayalah, dia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk meningkatkan nilainya. Tapi jika hasilnya tetap sama, dia bisa apa? "Ehm..Ndin?" “What?” “Elah! Sok inggris banget sih.” Andin memutar matanya malas. “Apaan?” Alvaro berdehem, lalu membasahi bibirnya. "Seminggu lagi...kita..." Ia menghentikkan ucapannya ketika melihat reaksi Andin yang langsung membatu. Cewek itu langsung menoleh dengan wajah kesalnya. “Ini semua tuh gara-gara lo!” "Kok gue?!" "Iyalah! Coba kalo lo nolak, semua ngak bakal kayak gini," Alvaro meringis pelan. "Al, lo nggak bisa batalin pernikahan ini?” Alvaro mengernyit tak suka. "Lo gila?! Nyokap gue udah nyiapin segala persiapannya. Dan lo dengan entengnya minta di batalin. Lo nggak mikir apa gimana kecewanya nyokap gue nanti?” Andin menunduk sedih. Benar juga, kenapa dia tidak berpikir kesana. "Sorry," Alvaro melirik sekilas. "Lagian kenapa lo nggak mau nikah sama gue sih? Ada cowok lain yang lo suka?!" Andin mendengus. "Nggak ada cowok yang gue suka! Tapi gue juga nggak mau nikah sama lo!" "Kenapa?" "Lo mau tau alasannya apa?" Alvaro mengangguk. "Lo tuh nyebeliiiin banget, bikin gue emosi terus. Gue bisa mati muda nanti." Padahal bukan itu alasan Andin menolak perjodohan ini. Ada satu alasan yang tidaak bisa ia katakan. “Jadi cuma karena itu? Bukan karena ada cowok yang lo suka?" "Tadi kan gue udah bilang! Lagian gimana mau ada yang suka sama gue, kalo lo selalu menyebar fitnah!" "Fitnah apaan sih?" Andin cemberut. Tangannya ia lipat di depan d**a. "Pikir aja sendiri!" "Nggak usah sok-sokan ngambek. Lo jelek, tambah jelek kalo cemberut gitu." "Kayak lo ganteng aja!" Balas Andin. "Gue 'kan udah bilang, cuma orang-orang berhati mulia yang bisa liat ke-gantengan gue." "Terus kenapa sampai sekarang lo masih jomblo juga?" Skak mat! Alvaro langsung tak bisa menjawab. Cowok itu bergerak tak nyaman di tempatnya sambil sesekali melirik Andin yang kini fokus menatap ke luar jendel. Syukur deh. *** "Cieee yang berangkat bareng terus sama Varo nih ya?" Metta yang baru datang langsung  menyenggol pelan bahu Andin sambil menaik-turunkan alisnya. Bukankah itu menyebalkan?! “Diem deh.” Metta bersender di samping loker Andin. Sementara Andin tengah membongkar isi loker, mencari bukunya. "Jadi...lo beneran mau..." Ia mengangkat kedua telunjuknya dan mempertemukan ujungnya. "...nikah sama Alvaro?" Bisiknya pelan. Andin menutup pintu loker begitu sudah menemukan bukunya. "Menurut lo?!" Metta mengagguk. "Menurut gue sih iya." “Nggak usah nanya kalo udah tahu! Lagian gue aja masih nggak mau nikah sama dia!” Metta terkekeh pelan. "Lo ada masalah apa sih sama dia? Sampai segitunya sama Varo? Lagian dia ganteng loh." Andin mendelik sambil melangkah menuju kelas. "Jadi kalo ganteng kenapa?!" Metta mencibir. "Lo kalo ngomong sewot mulu." "Lagian lo nyebut nama Alvaro mulu. Kan jadi kesel!" Metta tersenyum, merangkul bahu Andin. "Udah, nggak usah marah-marah lagi. Mending kita masuk kelas aja." “Terserah!” *** "Psstt...Metta..." Andin berbisik pelan, memanggil Metta yang duduk di depannya. Sementara matanya memandang awas pada dosen killer yang kini tengah mengawasi. "Apaan?" Balas Metta ikut berbisik. Cewek itu sudah menyandarkan punggungnya di kursi, memudahkannya berbicara dengan Andin. "Jawaban nomor 6 apaan?" "Astaga..." Bisik Metta. "Itu soal kuis paling mudah, Ndin. Masa lo nggak tahu sih?" "Gue beneran nggak tahu, Ta. Gue lupa ngehafal semalem." Metta berdecak. Tapi cewek itu tetap menuliskan jawaban yang di minta Andin pada kertas kecil dan melemparkannya ke belakang. Andin dengan antusias menerima jawaban dari Metta. Saking antusiasnya, ia bahkan tak sadar jika Pak Anto sudah berjalan mendekat ke arahnya. "Andin," "Eh! Iya, Pak?" Cepat-cepat ia menyembunyikan kertas contekannya di balik kertas kuis. "Sedang apa kamu?" Pak Anto menatap Andin curiga. "Saya lagi ngerjain soal kuis, Pak." Pak Anto menurunkan kacamatanya, matanya memicing menatap gerak-gerik Andin. "Terus kenapa pake bisik-bisik sama Metta?" Andin menelan ludahnya susah payah. "Um...saya bisik-bisik karena mau...pinjem tipe-x." Ia menunjukkan tipe-x Metta yang memang telah ia pinjam sejak tadi. Meski tak sepenuhnya percaya, Pak Anto akhirnya pergi dari hadapan Andin. "Astaga jantung gue. Untung aja Pak Anto nggak tahu." Keluh Andin ketika merasakan jantungnya bergemuruh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD