Bagian Dua

1132 Words
Selagi menunggu kelas dimulai 30 menit lagi, Alvaro memanfaatkan waktu itu untuk duduk di taman kampus sambil main game yang sebelumnya ia matiin pas dirumah Andin. Tapi baru aja ia mulai main, dua keong racun tiba-tiba datang. "Woi, Var! Pagi-pagi udah main game aja lo," Alvaro menoleh sekilas pada Satya dan Ariq, lalu kembali fokus pada game. "Baru dateng lo bedua?" "Iya, kita bedua baru dateng." Alvaro menahan senyum, geli karena kedua temennya itu yang selalu berdua kalau kemana-mana. "Kalian dateng bedua terus. Udah kayak pasangan homo aja," "Astagfirullah!" "Allahu Akbar!" Kali ini Alvaro tidak bisa menahan tawa saat mendenger Ariq dan Satya berbicara bersamaan. Akhirnya ia pun memilih untuk berhenti memainkan game dan menghadap pada kedua keong racun ini—yang sekarang ini menampilkan raut wajah syoknya. Ya ampun, memang ucapan Alvaro semengejutkan itu ya? Sampai membuat Ariq dan Satya saling menatap jijik. "Becanda kali. Serius amat lo bedua," Alvaro menendang pelan kaki Ariq dan Satya. "Lagian omongan lo serem sih. Lo tahu nggak, kalo omongan itu adalah doa? Nanti kalo omongan lo jadi nyata gimana? Si Ariq tiba-tiba naksir gue," Satya menunjuk Ariq yang berdiri di sebelahnya. "Kan ngeri gue," Alvaro kembali tertawa saat tiba-tiba Ariq memukul pelan bagian belakang kepala Satya. "Enak aja lo ngomong. Ya kali gue naksir sama lo. Gue masih normal, masih suka sama yang montok-montok." Alvaro tergelak melihat pertengkaran kedua sahabatnya itu. Dua keong racun yang selalu bertengkar tiap bertemu tapi saling menanyakan jika berjauhan. BIASALAH!!! "Udah deh. Kenapa jadi pada berantem gini," Kedua sahabatnya itu menghentikan perdebatannya dan memilih untuk duduk di samping Alvaro, mengapit Alvaro di tengah-tengah mereka. "Terus ini kenapa pada nempel ke gue?" tunjuk Alvaro pada Ariq dan Satya. Satya dan Ariq saling pandang, lalu menatap Alvaro dengan alis yang turun naik. "Gimana acara perjodohannya? Lancar? Apa Andin nolak lo?" tanya Satya. Ariq dan Satya memang sudah mengetahui tentang perjodohannya dengan Andin, karena Alvaro yang menceritakannya waktu itu, dan kalian tahu bagaimana reaksi kedua sahabatnya itu? Dua orang itu cuma saling pandang satu sama lain, kemudian tertawa terbahak-bahak sampai sakit perut. Benar-benar sahabat yang baik! "Ya jelas lah gue diterima. Mana ada sih, cewek yang bisa nolak pesona gue," Alvaro menjawil hidungnya sombong. "Alahh! Nggak usah sok ganteng gitu lo! Gue yakin, palingan lo dibantu sama Nyokap lo, biar Andin mau nerima lo!" ujar Ariq. "Iya 'kan? Ngaku lo." "Hehehe iya juga sih," ia tersenyum malu. "Dan gue juga disuruh janji sama Nyokap gue, buat nggak bikin Andin kesel." "Terus lo mau?" tanya Satya. "Gue bilang iya, nggak bakal bikin Andin kesel lagi. Tapi dalem hati gue bilang Insha Allah." ia menyengir. "Dosa nggak sih kalo kayak gitu?" "Dasar g****k!" Ariq menampar bagian belakang kepala Alvaro. "Mana ada orang janji tapi bilang Insha Allah." "Ada tuh!" "Mana?" "Gue buktinya," ia menunjuk dirinya sendiri. Hal yang tentu saja membuat kedua sahabatnya hanya bisa menghela nafas keras sambil menahan diri untuk tidak melempar Alvaro ke dalam kolam ikan di depan mereka. *** Dengan langkah menghentak lantaran masih kesal dengan keputusan orang tuanya menjodohkan dirinya dengan Alvaro, Andin lantas membuka pintu rumah sembari berteriak mengucap salam, ia melepas sepatunya dan langsung berbaring di sofa ruang tamu, menikmati belaian pendingin ruangan yang menerpa tubuhnya. Rasanya sangat berbeda ketika di luar tadi, dimana cuaca hari ini sangat panas. Ditambah lagi ada satu makhluk astral yang selalu membuatnya kesal. Ish! Mengingatnya membuat Andin kesal. Ia baru akan bangun ketika tiba-tiba saja seseorang berdiri disebelahnya, yang sontak saja membuat Andin terkejut bukan main. Tapi rasa terkejutnya tergantikan oleh rasa senang ketika melihat orang itu. "ABANG!" Andin melompat turun dari sofa dan memeluk Kakak laki-lakinya itu. "Andin kangen banget sama Abang. Abang kok nggak bilang kalo pulang?" Tanya Andin. Rama tersenyum hangat sambil mengacak pelan rambut adik perempuan kesayangannya itu. "Biar kejutan!" Andin mengerucutkan bibirnya, lalu mengurai pelukan. "Curang banget. Terus Kak Mira mana?" Rama menatap ke balik punggung Andin. “Tuh.” Tunjuknya, membuat Andin langsung berbalik. Senyum lebar terbit dari bibir Andin saat melihat Mira berjalan mendekat. Perempuan itu membuka lebar kedua lengannya, menunggu Andin untuk memeluk. Dan tak butuh waktu lama bagi Andin untuk memeluk Mira. “Aduh! Kakak kangen banget sama kamu, sayang.” Ucap Mira sambil tersenyum menatap Rama. Ia mengurai pelukan, terkejut ketika menemukan mata Andin berkaca-kaca. “Eh? Kok nangis?” “Andin nggak nangis, cuma seneng aja Abang sama Kakak pulang. Biasanya rumah selalu sepi tiap Andin pulang kuliah.” Ucap Andin sambil mengusap matanya. Rama mendekat, meramgkul pelan bahu adiknya itu. “Bentar lagi kamu nggak bakal kesepian kok. Kan nanti ada Alvaro yang nemenin kamu.” Mendengar itu membuat Andin melirik Rama kesal. “Abang ngeselin! Kenapa harus diingetin sih?” “Loh kenapa? Bukannya dulu kamu—” “ABANG!” Andin menutup mulut Rama dengan tangannya. “Nggak usah dibahas lagi.” Rama menjauh, menurunkan tangan Andin dari mulutnya. “Iya deh.” Ia kemudian menarik pelan Mira dan merangkulnya. “Oh iya, Abang mau keluar bentar. Kak Mira pingin beli rujak. Kamu mau ikut?” “Mauuu!” Andin berdiri diantara Rama dan Mira, merangkul keduanya dan mengajaknya keluar rumah. Mengabaikan ucapan Rama yang menyuruhnya berjalan pelan-pelan. **** “Kita mau beli rujak dimana sih, Bang? Kok nggak sampe-sampe dari tadi?” Keluh Andin yang sudah lelah duduk dimobil. Ia menghela nafas saat rasa bosan menghantuinya. Ya salahnya juga sih yang lupa membawa ponsel. “Sebenernya beli rujaknya tuh di depan komplek, Dek. Cuma ini tuh keinginannya anak Abang buat diajak muter-muter dulu.” “Tunggu dulu!” Andin memajukan tubuhnya hingga melewati kursi penumpang, menatap Rama dan Mira bergantian. “Anak? Maksudnya?” Rama tersenyum lebar. “Kamu nggak tahu kalo Kak Mira hamil?” Andin pun langsung menatap Mira dengan mata membelalak, tidak menyangka jika sebentar lagi dia akan memiliki keponakan. “Serius Kak Mira hamil?” Ia menatap perut Mira, masih terlihat rata. Tapi jika diperhatikan lebih dekat, perut Mira akan terlihat sedikit buncit dari sebelumnya. Itu juga yang membuat Andin tidak mengetahui jika Kakak iparnya itu tengah hamil. “Iya Kakak lagi hamil.” Jawab Mira sambil menatap perutnya dan mengusapnya lembut. Tak berapa lama Rama ikut mengusap perut Mira, membuat dua orang itu saling melempar senyuman. “Yak bagos! Anggap aja dunia milik berdua.” Sindir Andin lalu memundurkan tubuhnya kembali. Menyesal dia ikut jika hanya menjadi obat nyamuk seperti ini. Mending dia dirumah saja tadi, lanjut menonton drama korea. “Makanya nikah, biar nggak jadi obat nyamuk.” Andin mencibir. Ia melempar gumpalan tisu ditangannya pada Rama, yang malah membuat Rama semakin terkekeh senang. Sementara Andin hanya bisa menatap ke luar jendela, mulai membayangkan akan bagaimana rumah tangganya dan Alvaro nanti. Dan seketika merinding saat membayangkan jika tiap hari pernikahan mereka pasti tidak akan jauh dari perdebatan. Aishhh!! Sial banget hidup gue!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD