Tidak tau harus apa

1003 Words
Sukma menatap test pack dengan tangan gemetar. Bagaimana bisa dia langsung hamil? padahal dia baru melakukan sekali dengan Mario kala itu. Sukma menutup mulut nya karena shock. Perempuan itu pun langsung membuang testpack yang dipegangnya kedalam toilet. "Kok bisa..." lirih Sukma nampak tidak percaya dengan apa yang terjadi dengan nya. Dia tadinya iseng membeli testpack diapotek karena Mbak Nina yang menyarankannya. Iya, Mbak Nina tau apa yang terjadi pada Sukma. Gadis itu selalu menjadi tempat Sukma untuk mengeluarkan keluh kesah. Mbak Nina bahkan ingin membuat laporan kalau Sukma diperkosa pria tidak dikenal. Namun Sukma melarang nya, toh meraka juga tidak memiliki bukti apa apa selain Sukma tau nama nya Mario. Sukma benar benar beruntung, Mbak Nina masih ada untuknya dan tidak menjauhi nya. Gadis yang lebih tua dari Sukma itu malah bilang kalau Sukma ada apa apa kabari dia. Sukma bangkit dari posisinya berjongkok. Cepat cepat dia keluar dari kamar mandi dan mengambil tas nya, dia harus memastikan ke dokter. Ia tidak akan percaya hanya dengan test pack saja. Bisa saja kan testpack itu salah. Namun Sukma yang sudah berjalan keluar tiba tiba berhenti. "Gimana kalau gue benar benar hamil?" lirih Sukma. Sukma menarik rambut nya, frustasi dengan apa yang dialaminya. Dari sekian banyak orang kenapa harus Sukma? Kalian tau apa yang lebih miris selain Sukma di perkosa? esoknya Mario sudah tak ada dirumah kecilnya. Sukma hanya menemukan segepok uang di atas meja. Dia kira Sukma itu apa? p*****r? Uang itu bukan membuat Sukma senang malah membenci Mario. Tidak ada orang yang mau diperkosa lalu diberi uang sebagai imbalan. Hanya orang orang bodoh yang mau menyerahkan keperawanannya demi uang. Sukma rela lapar tiga hari tiga malam daripada melakukan hal menjijikan itu. Tapi sekarang, dia bahkan mirip dengan mereka. "Gue harus gimana..." kata Sukma putus asa. Sukma menangis dibalik pintu rumah nya. Sukma menyembunyikan wajahnya diantara kedua tangannya. Sukma terduduk lemas, tidak bisa berpikir jernih. Suka hidup saja sudah susah, kenapa harus ditambah cobaan lagi. **** "Sudah memasuki minggu keempat, dijaga baik baik ya. Biasanya minggu minggu awal itu rewel terus." kata dokter. Sukma menegang. Dia harus senang atau sedih? "Kalau lagi morning sick gausa takut, tinggal dikompres aja. Gausa minum obat obatan ya mbak?" saran dokter yang baru saja melakukan USG pada Sukma. "Mbak?" Bu dokter tampak heran melihat Sukma malah jadi linglung. "Ha? oh iya dok. Saya denger kok" Bu dokter tersenyum. "Kalau ada apa apa kesini aja, boleh curhat curhat sama saya. Soalnya tiap orang hamil itu beda beda keluhan nya." Sukma mengangguk. "Iya dok" "Dijaga baik baik ya, jangan sampai kecapean. Janinnya masih rentan" kata Dokter lagi. "Iya, dok..." balas Sukma ragu. Setelah Sukma keluar dari ruangan Bu dokter itu, pikirannya terbang kemana mana. Dia hidup sendiri saja sudah cukup susah, bagaimana bisa dia menghidupi dua orang? Sukma bukannya naik taksi, gadis itu malah berjalan menuju taman yang tak jauh dari rumah sakit. Dia ingin menenangkan diri dulu. Agar dia tau harus apa. Sukma menghela napas setelah duduk di kursi panjang. Akhir akhir ini dia seperti nenek nenek yang cepat sekali lelah. Sukma mengeluarkan hasil USG dari dalam tas nya. Mengamati foto itu lamat lamat, sampai akhirnya Sukma mengelusnya. "Kalau Mama melahirkan mu, Mama takut kamu tidak akan bahagia nanti..." lirih Sukma. Dia benar benar tak tau harus bagaimana. Ia memang memiliki tabungan yang dia simpan jika ada sesuatu yang terjadi nanti. Tapi tentu saja tabungan itu tidak seberapa, membesarkan anak itu membutuhkan banyak uang. Lalu siapa yang akan menafkahi dia kalau nantinya dia tidak bisa bekerja karena harus merawat bayi nya. "Aborsi?" Sukma terdiam setelah mengatakan hal itu. Bukankah di usia awal kandungan seperti ini sangat mudah itu aborsi. Sukma menghapus air matanya. Dia benar benar bingung harus apa sekarang. Semua nya memenuhi kepala Sukma hingga Sukma tidak bisa memilih mana yang harus dia lakukan. Sukma mendongakkan kepalanya menatap seorang anak yang tiba tiba jatuh tepat di depannya. "Eh..hati hati" ujar Sukma lalu membantu bocah laki laki yang paling berusia 5 tahunan itu untuk berdiri. "Terimakasih Tante cantik.." Sukma tersenyum. "Sama sama, jangan lari lari lagi ya? nanti jatuh, sakit" bocah cowok itu mengangguk pada Sukma. Namun baru saja Sukma tersenyum melihat kepatuhannya, bocah itu kembali lari membuat Sukma menggeleng kan kepala nya. "Lucu sekali.." kata Sukma terus menatap bocah itu sembari tersenyum. Deg Sukma langsung menunduk lagi, menatap hasil USG nya getir. Dia saja tidak mau anak orang lain terluka, kenapa dia bisa memiliki pikiran untuk membunuh anaknya sendiri? "Apa gue benar benar harus jaga dia?" monolog Sukma. ****** Nina memeluk Sukma yang menangis sampai sesenggukan. "Nggak papa. Mbak selalu disini buat lo. Kalo ada apa apa Lo bilang sama mbak ya Ma?" kata Nina sembari menghapus air mata Sukma yang membasahi pipi nya. "Tapi...punya anak ga sesederhana melahirkan aja mbak. Sukma harus ngerawat dia, biayain dia, Sukma takut gabisa.." Nina menggeleng kan kepala nya. "Kalau Tuhan udah kasih takdir ini ke Lo, itu tanda nya Lo mampu. Pasti ada jalannya nanti" ujar Nina. Hanya Nina, satu satu nya orang yang Sukma percayai. "Sukma gatau harus apa kalau ga ada Mbak Nina. Cuman Mbak Nina yang ada buat Sukma. Sukma ga punya siapa siapa" "Hei denger, setelah ada dia. Lo ga akan sendirian lagi, dia akan jadi temen lo nantinya. Lo bilang gamau jadi jahat kayak orang tua Lo, kenapa Lo ada niatan buat bunuh dia?" Sukma tertegun. Benar, dia benci dengan orang tua nya yang menelantarkan dirinya tanpa suatu alasan yang jelas. Dia tidak mau jadi jahat seperti mereka, namun kenapa dia berniat membunuh darah daging nya sendiri yang bahkan itu lebih jahat dari yang orang tua nya lakukan. "Hei, dengerin Mbak. Gue bakal selalu ada buat Lo Ma. Asal Lo jangan gugurin dia, kalo Lo gugurin gue malah jauhin Lo. Dia udah diberi kesempatan hidup, biarin dia lihat bagaimana dunia." "Nanti, dia akan jadi satu satu nya orang kenapa Lo harus tetep hidup Ma. Percaya sama gue" Mbak Nina kembali memeluk Sukma, mengelus surai panjang milik Sukma yang hanya bisa menangis. "Gue selalu ada disini Ma. Gue janji, gue selalu disini buat lo" kata Mbak Nina.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD