Chapter 38 : Kursi Roda

1162 Words
Angin berembus pelan, perlahan-lahan cahaya jingga terpancar dari ufuk barat, menandakan matahari akan segera terbenam. Verx terdiam di kursi rodanya, tidak mengatakan apa pun lagi. Ia merasa kesal pada dirinya sendiri, tidak, lebih tepatnya, kesal terhadap takdir yang selama ini ia jalani. Dimulai dari sebuah kematian dan kebangkitan, lalu sekarat dan hampir mati, tetapi pada akhirnya dapat kembali hidup. “Apa kau marah karena aku memelukmu waktu itu? Sehingga kau lagi-lagi tidak mati dan dapat hidup hingga sekarang?” Alicia masih tampak murung. Verx mengembuskan napas panjang. “Jika bisa, aku akan jauh lebih bersyukur bila aku hidup normal kembali. Tapi, bagiku sekarang, aku akan mencoba mensyukuri hidup dan bahagia bersamamu, sampai takdir benar-benar memisahkan kita selamanya.” “Itu artinya ....” Alicia sedikit tersentak, lalu menegakkan kepalanya lagi. “Bohong kalau aku bilang aku tak masalah hidup hanya seperti ini. Tapi, seperti yang aku katakan, aku tak bisa melupakan kenangan bersamamu begitu saja. Walaupun hidup ini memang berat, akan terus kucoba untuk menghadapinya. Bersamamu, kupikir aku bisa, Alicia.” Seketika angin berrembus kencang, mengurai rambut Alicia kala Verx mengucapkan kalimat tadi. Alicia tampak terpana mendengar Verx mengucapkan kata-kata manis itu, membuat jantungnya sedikit berdebar. Namun, satu hal yang jelas bagi Alicia, Alicia sedikit pun tak membenci kata-kata itu. Perlahan, Alicia kembali mendorong kursi roda Verx menuju ke taman, di mana mereka sudah berencana pergi tadi. “Terima kasih, Verx, sudah percaya padaku selama ini ....” Mendengar nada suara Alicia yang sudah lembut, berbeda dari sebelumnya, Verx tersenyum tipis, menunjukkan rasa bahagianya. Jika ia adalah Verx yang sebelumnya, yang kesepian dan tanpa siapa-siapa, sekarang ia pasti sudah tiada dari dunia ini. Namun, keadaannya berubah kala ia bersama dengan Alicia. Setidaknya, ia dapat bersyukur dapat menghirup udara di bumi. Mereka berdua pun tiba di tempat tujuan, tetapi di sini mereka malah bertemu dengan sosok yang tidak pernah mereka duga sebelumnya. Verx menyuruh Alicia berhenti kala melihat sosok yang dimaksud tadi berdiri, seperti hendak meninggalkan bangku taman yang dia duduki tadi. Sosok tersebut menoleh ke arah Verx, lalu memalingkan pandangan tanpa mengatakan sepatah kata pun. Dia sepertinya tidak mau bertemu dengan Verx sekarang, kendati dia mengenal Verx. Sebelum sosok itu pergi, Verx langsung memanggilnya, membuat dia berhenti, “Hei, kau murid Collins, kan?” Sosok pemuda yang dipanggil Verx itu, menoleh ke arah Verx. “Namaku Sean, Verx. Aku sudah memberitahumu tentang itu kan?” “Baik, maaf, Sean.” “Sudahlah, katakan saja apa yang kau mau? Aku tidak mau membuang banyak waktu denganmu ....” “Langsung ke intinya saja. Apa yang akan kau lakukan selanjutnya? Apa kau tidak berniat untuk kembali ke desamu?” “Hentikan basa-basi konyolmu itu. Hal itu tidak ada hubungannya denganmu.” Sean memalingkan pandangan ke arah lain, terlihat sedikit kesal. “Mau aku tetap tinggal di sini atau kembali ke desaku, aku akan memutuskannya sendiri. Kau tak memiliki hak untuk mengaturnya.” “Aku tidak bermaksud mengatur,” jawab Verx. “Aku hanya bertanya dan ingin mendapatkan jawaban saja darimu. Tak lebih dari hanya sekedar ingin tahu.” Sean terdiam sejenak, kemudian kembali membuka mulut sembari berjalan pergi, “Kau juga tak memiliki hak untuk tahu. Aku bebas melakukan apa yang kusuka tanpa perlu memberitahu siapa pun.” Mau tak mau, Verx membiarkan Sean pergi meninggalkan ia dan Alicia di taman ini. Akan tetapi, meski ia terlihat membiarkan Sean begitu saja, sebenarnya Verx masih tetap memperhatikan Sean, sebab Sean adalah murid dari orang yang ia hormati, yakni Collins. “Apa kau ingin aku mendorongmu untuk mendekatinya?” tanya Alicia saat melihat Verx tidak mengalihkan pandangannya dari Sean. Namun, Verx langsung menggelengkan kepala beberapa kali. “Tidak perlu. Biarkan dia melakukan apa yang dia inginkan, asalkan itu tidak melewati batas wajar. Aku yakin, saatnya akan tiba di mana dia juga akan merasakan atau memahami apa yang harus dia lakukan selanjutnya.” “Aku tidak mengerti, apa kau menaruh sebuah harapan padanya?” “Well, dari yang aku tahu, dia adalah satu-satunya yang cocok untuk memimpin para Pengguna Lingkaran Sihir, setelah Ben, Sigerson dan Wrath tiada nantinya.” “Mengapa kau bisa berpikiran seperti itu?” “Hanya sebuah firasat. Dan mungkin saja aku salah, sebab aku belum melihat ke orang lain, yang mungkin saja jauh lebih memiliki potensi daripada Sean. Tapi, satu hal yang jelas, Sean adalah murid kesayangan Collins, sang leluhur yang menciptakan Dunia Bawah Laut ini, serta satu-satunya pengguna Lingkaran Sihir yang menguasai dua kekuatan. Kekuatan Penciptaan dan kekuatan Memanipulasi Kehidupan.” Tentu Alicia sedikit tersentak mendengar ini, karena membuat kesimpulannya sendiri. “Jadi menurutmu, ada kemungkinan kalau dia juga bisa menjadi seperti Collins?” Verx menggelengkan kepala. “Akan bagus bila memang ada kemungkinan itu, tapi, aku hanya memikirkan kalau dia mungkin dapat menjadi seorang Pengguna Lingkaran Sihir Biru yang sangat handal ke depannya. Hanya saja, dia memang memerlukan cukup banyak latihan khusus untuk melakukannya.” “Jadi begitu ....” Alicia menjadi kurang bersemangat lagi mendengar penjelasan Verx. Akan tetapi, bukan berarti dia menjadi murung atau semacamnya. “Kalau begitu, kita hanya perlu perlahan-lahan membuatnya sadar tentang apa yang harus dia lakukan, kan, Verx?” “Yeah, perlahan-lahan itu adalah hal yang baik. Kita memang tidak dituntut untuk melakukan semuanya dengan cepat. Asalkan pada akhirnya semua berjalan sesuai rencana, maka hasil yang bagus pasti dapat diraih.” Verx menghela napas panjang. “Kurasa aku harus sedikit belajar untuk menikmati sebuah proses.” “Kalau tentang menikmati sebuah proses, biarkan aku yang membantumu mengerti hal itu!” Semangat Alicia langsung memuncak kembali. “Seperti yang aku harapkan dari Alicia.” Memang tadi Verx secara tidak sengaja membuat Alicia bersemangat, tapi Verx tentu saja tak mengeluhkan hasil tak terduga ini. Sebaliknya, ia malah senang sekarang. ** ** ** Sementara itu, Sean terus berjalan menjauh dari taman. Ia tak mau melirik ke belakang walau hanya sekali, kesal dengan Verx yang sudah mengusik waktu tenangnya. Dulu, memang benar Sean sempat membenci Verx, terlebih ketika di padang gurun saat itu, ia benar-benar merasa dipermalukan. Biasanya, orang pada umumnya senang sekarang setelah melihat orang yang pernah mereka benci, malah mendapatkan sebuah malapetakan. Akan tetapi, Sean berbeda dari prinsip itu. Apa yang membuatnya kesal adalah Verx yang sekarang sekarat. Padahal, semenjak saat itu ia menjadi sangat ingin mengalahkan Verx, tetapi yang terjadi malah sesuatu tak terduga. Di samping itu, Sean juga masih belum dapat mengikhlaskan kepergian gurunya. Memang benar, akan jauh lebih baik kalau ia dapat merelakan apa yang memang harus direlakan. Namun, mengucapkan hal tersebut jauh lebih mudah daripada melakukannya. Sean sangat sadar kalau dirinya memang masih belum cukup dewasa untuk dapat merelakan hal-hal yang memang sudah seharusnya direlakan. Sean lantas menghentikan langkah kala kepalanya tertunduk. Kini ia memikirkan sesuatu hal, sampai mulutnya tak sengaja berucap, “Apa yang harus aku lakukan sekarang, Tuan? Tolong berikan petunjukmu.” Angin mendadak berembus. Seolah mendapatkan petunjuk, Sean secara tak sengaja memalingkan pandangan ke belakang, melihat Verx dan Alicia—samar-samar—masih ada di taman, menunggu matahari terbenam di ufuk barat. Sean tak tahu mengapa, tetapi ia terdiam melihatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD