Bab 10

2215 Words
“Mam Pap, Aretha ijin pindah ke apart kantor ya.” ucapku begitu menduduki kursi meja makan. “Kamu itu, baru aja pulang, masak udah pindah lagi.” balas Mama yang sedang menuangkan minuman ke gelas Papa. “Cuma sampe awal tahun doang kok. Kerjaan buat akhir tahun numpuk banget, Aretha lembur terus. Dari pada pulang jauh jauh ke rumah larut malem kan ya. Tiap weekend Aretha pulang kok.” bujukku lagi. “Ya sudah, biar saja Mam. Dari pada bahaya di jalan, ntar.” balas Papa mengijinkan. “Yesss, thankyouu, Pap.” sahutku gembira sambil memberikan kecupan ringan di pipi Papa. “Awas lho ya, jangan bawa bawa cowok ke dalem.” tambah Mama mengingatkan. “Haha, siap Mam.” ~~~~~~~~~~ Aku datang lebih awal hari ini, selain menghindari macet, aku juga hendak menaruh koperku terlebih dahulu ke apartment sebelah kantor. Apartment itu memang merupakan salah satu fasilitas karyawan dengan minimal jabatan sebagai manajer. Jadi, sebenarnya aku bisa saja pindah ke situ, tapi mengingat kedua orang tuaku, aku lebih memilih untuk tinggal dengan mereka. Aku kembali melihat arloji di tangan kiriku, masih pukul 7.25. Setelah mengunci pintu, aku segera turun ke bawah dan memutuskan untuk membeli kebutuhan kafeinku di cafe sebelah kantor. Bunyi lonceng terdengar begitu aku memasuki cafe. Harum semerbak kopi memenuhi seluruh ruangan. Aku langsung berjalan menuju meja kasir dan memesan hot caramel macchiato. Selama menunggu pesanan, aku berdiri di samping meja pengambilan sambil menjelajahi feed instagramku. “Hot caramel macchiato, double shot.” ucap sang barista sambil menyodorkan gelas kertas ke meja pengambilan. Aku yang mendengarnya, mengambil gelas itu sambil masih memperhatikan ponselku. “Ehm sorry, kayaknya itu punya saya.” kata sebuah suara yang membuatku mendongak dan menemukan seorang lelaki dengan wajah manis khas Indonesianya. “Itu double shot dan ada nama saya di situ.” ucap lelaki itu menambahkan. Dengan refleks, aku segera melihat gelas dan tidak menemukan namaku di situ, melainkan nama Elang. “Oh maaf maaf. Nggak konsen.” balasku cepat sambil menyodorkan gelas. “Nah, and i think that’s yours.” ucap lelaki itu saat barista kembali menyodorkan gelas kertas berisi hot caramel macchiato. Aku segera mengambilnya dan benar, kali ini tertulis namaku di situ. Aku tersenyum sungkan kepada lelaki di sampingku dan mengucapkan kata maaf sekali lagi. “Nggakpapa, santai aja. Btw, kerja di Putra juga?” “Iya, baru semingguan.” “Oh pantes saya belum pernah lihat. Saya Elang Kalandra, Marketing Manager.” ucapnya sambil mengulurkan tangan kanannya. “Aretha Raynelle, Operating Manager.” sahutku sambil membalas jabatan tangannya. “Ah iya, posisi itu barusan diganti ya.” kata Elang yang hanya kubalas dengan anggukan pelan. “So, mau ke kantor bareng?” tawar Elang. “Sure.” Akhirnya, aku dan Elang, kenalan baruku berjalan beriringan keluar cafe menuju kantor. ~~~~~~~~~~ “Arethaaa, astaga, mending hari ini lo nggak usah ke kantin deh.” ucap Helena yang tahu tahu sudah memasuki ruanganku. “Lah kenapa emangnya, Na?” tanyaku bingung. “Lo tadi pagi jalan bareng sama Elang si manajer marketing kan?” “Kok tahu?” “OMG, dia itu jadi santapan kedua setelah pak bos. Lo dikatain maruk sama cewek cewek, mana tadi gue denger mereka mau ngampirin lo gitu waktu makan siang ntar.” jelas Helena yang membuatku mengerutkan dahi. “Astaga, padahal gue cuma jalan bareng gara gara abis dari cafe. Kita baru kenalan doang itu.” “Tapi sayangnya mereka nggak tahu kalo kalian baru cuma kenalan. Udah pokoknya ntar lo diem diem aja di sini, gue yang beliin makanan terus kita makan siang bareng di ruangan lo.” putus Helena yang membuatku ingin melayangkan protes. “Udah nggak usah protes, demi keselamatan lo. Bye, gue mau kerja.” ucap Helena yang langsung berbalik pergi tanpa menunggu balasan dariku. Sepeninggal Helena, aku hanya bisa menghembuskan napas lelah. Astaga, ternyata para wanita di sini sungguh luar biasa. Hei, aku hanya jalan beriringan dengan manajer marketing itu, bukan bermesraan seperti yang dilakukan pasangan fenomenal kemarin. Shit, aku teringat lagi. Dengan cepat aku mengusir pemikiran itu dan kembali fokus dengan layar komputer yang menampilkan laporan akhir tahun. ~~~~~~~~~~ Gue memijat leher dengan pelan. Rasa kaku yang melelahkan mendatangi gue lagi. Rasanya gue bakalan tidur seharian besok Sabtu. Setelah istirahat beberapa saat, gue kembali menekuni laporan-laporan yang tertata di meja gue. Akhir tahun tinggal menghitung hari, tapi entah kenapa rasanya begitu lama. Pengaruh kerjaan yang luar biasa menumpuk ini mengharuskan gue untuk lembur setiap hari. Gue hendak kembali fokus dengan laporan produksi dari pabrik pusat, namun gue teringat sesuatu. Gue lupa untuk menyuruh Aretha memberikan laporan perihal kunjungan kami ke pabrik baru beberapa hari yang lalu. Gue meletakkan bolpoint yang sedang gue pegang dan beralih ke telepon yang berada di pojok meja. Setelah beberapa saat menunggu, suara Aretha di seberang sana akhirnya terdengar. ‘Halo.’ ‘Aretha, saya kemarin lupa nyuruh kamu bikin laporan kunjungan. Tolong buat sekarang dan saya minta laporannya jadi hari ini.’ ‘Baik, Pak. Nanti sore saya letakkan di meja Bapak kalau misal Bapak sudah tidak ada di tempat.’ ‘Saya lembur. Jadi, saya tunggu nanti.’ ‘Ok, Pak Dafa.’ Tanpa membalas ucapan Aretha barusan, gue langsung memutuskan sambungan dan kembali mengerjakan berkas-berkas yang sudah menunggu untuk dikerjakan. ~~~~~~~~~~ Arloji di tangan kiri gue sudah menunjukan pukul setengah 6 sore. Gue melepaskan kaca mata minus gue dan meregangkan badan sejenak. Ya, beberapa lama setelah gue bekerja, mata gue kena masalah gara-gara keseringan baca berkas-berkas. Gue menyenderkan diri di senderan kursi dan memejamkan mata sejenak. Saat hendak terlelap, ketukan di pintu kembali menyadarkan gue. “Masuk.” Pintu terbuka dan menampilkan Aretha yang membawa sebuah map di tangan kirinya. “Ini laporan kunjungannya, Pak Dafa.” ujarnya seraya mengulurkan map itu ke gue. Gue menerima map itu dan langsung membukanya. “Duduk dulu, Ret, sekalian saya cek.” Aretha mengangguk lalu mematuhi perintah gue dengan duduk di kursi depan meja. Setelah selesai membaca dan beberapa kali membolak-balik laporan itu,  gue pun mengangguk puas dan membubuhkan tanda tangan gue di halaman akhir. “Good job. Nggak diragukan lagi lulusan Cambridge emang top.” “Itu maksudnya muji saya atau muji diri sendiri, Pak?” sindir Aretha yang membuat gue tergelak. “Nyadar juga, Ret.” “Udah kebiasaan denger sesuatu yang berbau kepedean dari Bapak.” “Just call my name, cuma ada kita berdua di sini.” “Nggak ah, ntar jadi kebiasaan, Pak.” sahutnya yang membuat gue terkekeh kecil. “Terserah, deh. Btw, lembur juga?” tanya gue seraya menyerahkan laporan tadi kembali kepada Aretha. “Yap dan kayaknya sampe akhir tahun.” balas Aretha sambil menerima laporan itu. “Syukur deh bukan cuma gue yang begitu haha.” “Lah Pak Bos juga lembur?” “Iyalah. Kerjaan gue lebih banyak dari pada kalian malah.” sahut gue yang kembali menyenderkan diri di senderan. “Yang tabah deh, Pak. Semangat kerja.” “Lo juga, deh. Kan sama sama lemburnya.” “Iya dah. Pacarnya disuruh nyemangatin juga, Pak, biar makin seger.” “Lo kira sirup marjan, seger.” “Gue nggak nyangka, pacar lo Audrya.” ucap Aretha setelah beberapa saat dia terdiam. “Dulu kan lo nggak pernah pacaran sama sekali. Jago juga, begitu pulang bisa nyabet cewek kayak Audrya. Dan lagiii gue denger denger, lo gonta ganti pacar hobinya.” tambah Aretha lagi yang tidak gue balas. Gue menunggu dia sampai selesai mengucapkan semuanya. “Jadi, udah berapa kali ganti pacar dari awal balik?” tanyanya yang membuat gue tersenyum sesaat sebelum menjawab, “Gue dulu pernah bilang kan, kalo bakal pacaran waktu udah berpenghasilan sendiri. Dan kebetulan cewek kayak Audrya dan mantan mantan gue mau sama gue, ya udah, pacaran deh.” “Why? Is that bothering you, Aretha?” tanya gue kepada wanita itu yang hanya terdiam tanpa memberikan balasan. Aretha lalu menggeleng dan berkata, “No, it’s just... a little surprise for me. Gue pikir, misal pun lo punya pacar, lo bakal jangka panjang sama satu cewek. Karena lo yang gue kenal dulu, jauh dari tipe cowok playboy.” “Well, maybe you will think that this is a bullshit, but let me tell you this. Gue pasti bakal punya hubungan jangka panjang just with one woman, saat gue nemuin dia.” ucap gue yang membuat Aretha kembali terdiam dan memandangi gue dengan intens. “Ok, gue percaya. Hahaha buat apa juga ya gue ngomongin ini sama lo.” balas Aretha dengan tawa kikuknya. Gue tersenyum samar lalu berkata,”It’s ok, santai aja. Lo sendiri gimana?” Aretha menaikan kedua alisnya tanda bingung, lalu gue menambahkan, “Your love life. Sempet pacaran nggak sama bule di sana?” “Haha, well actually, pernah nyangkut satu. Tapi you know, ujung ujungnya juga s*x, terus putus deh.” jawab Aretha santai yang membuat gue tertawa geli. “Syukur deh ya nggak ampe jebol haha.” balas gue yang membuat Aretha melayangkan tatapan tajam ke arah gue. “Udah maghrib btw, mau ke mushola bareng?” tawar Aretha yang langsung saja gue angguki. “Gue ambil rukuh dulu deh ya.” “Ok, gue ikut sekalian.” ~~~~~~~~~~ “Baru pulang, Ret?” tanya Dafa yang ternyata sudah berdiri di belakangku. “Iya, Pak. Kerjaan yang selesai udah lumayan.” “Can you just call my name?” pinta Dafa yang membuatku tersenyum lalu berkata, “Iya, Daf. Kerjaan yang selesai udah lumayan. Puas?” Dafa tersenyum lalu mengangguk puas sebagai jawaban. Tepat saat aku hendak bertanya lagi, pintu lift terbuka dan kami berdua pun masuk ke dalam tabung besi itu. “Rumah lo jauh?” tanya Dafa begitu pintu lift tertutup. “Lumayan. Makanya sampe akhir tahun gue tinggal di apart kantor.”  jawabku yang membuat Dafa terkejut. “Really? Gue juga berpikiran sama kayak lo, makanya gue udah tinggal di sana dari minggu kemarin.” sahut Dafa yang tak bisa kupingkiri berhasil memunculkan rasa senang dalam diriku. “Dan karena lo bawahan langsung gue, gue pastiin kalo apart kita selantai. Jadi kita tetangga sekarang.” “Baah, sial banget gue.” candaku kepada Dafa yang membuat lelaki itu tertawa untuk sesaat. “Halaah padahal seneng kan jadi tetangga gue.” balasnya yang mau tak mau aku benarkan dalam hati. “Terserah lo dah.” kataku yang ternyata menjadi penutup pembicaraan kami karena ada orang lain yang memasuki lift. “Malam Pak Dafa, malam Aretha, bener kan Aretha?” tanya orang itu yang ternyata adalah kenalan baruku tadi pagi, Elang. “Oh, Elang kan?” “Yap, bener.” “Lembur juga, Lang?” tanyaku sekedar basa basi. “Iya, biasa, akhir tahun.” tepat saat Elang selesai berucap, pintu lift terbuka dan mengharuskan kami bertiga untuk keluar. “Pulang sendirian, Ret?” tanya Elang saat kami sudah berada di luar kantor. “Iya, tapi saya pulang ke apart kantor, kok, deket tuh.” balasku seraya menunjuk sebuah gedung yang berada tepat di sebelah kantor. “Sama ! Saya, ehm pake gue lo aja kali ya.” aku mengangguk dan Elang pun kembali berkata, “Gue biasanya pindah ke apart kalo lagi lembur lembur gini. Tapi biasanya sih keterusan gitu sampe beberapa bulan haha.” “Pak Dafa juga tinggal di apart?” tanya Elang yang dari tadi hanya melibatkanku dalam obrolan. “Iya, sama kayak kalian, kalo lagi lembur aja.” jawab Dafa yang diangguki oleh Elang. Selanjutnya, tak ada dari kami yang berucap lagi sampai akhirnya memasuki gedung apartment. ~~~~~~~~~~ “Duluan ya, Pak, Ret. Selamat istirahat.” pamit Elang yang turun terlebih dahulu di lantai 5. Kami berdua hanya mengangguk sebagai balasan. Gue dan Aretha masih terdiam sampai akhirnya kami berdua turun di lantai 10, lantai tempat tinggal kami. “Kayaknya love life lo sama lancarnya kayak gue.” celutuk gue saat Aretha hendak berbelok ke arah tempat tinggalnya. “Maksudnya?” tanyanya bingung. “Si manajer marketing, kayaknya tertarik sama lo.” balas gue yang membuat Aretha mengerutkan dahinya. “Apaan sih, ngaco lo. Udah sana tidur, istirahatin otak lo biar beres.” sahut Aretha yang tanpa menunggu balasan dari gue langsung berjalan ke pintu apart dan memasukinya begitu pintu terbuka. Gue masih berdiri di tempat yang sama sampai pintu kamar Aretha tertutup sempurna. Lalu, gue pun berjalan menuju apart gue dan memasukinya. Setelah meletakkan tas di meja depan tv, gue langsung merebahkan diri di sofa. Gue memejamkan mata dan menutupinya dengan tangan kanan gue. Helaan napas berat keluar beberapa kali dari mulut gue. Gue merasa lelah dan entah sejak kapan ada rasa baru yang muncul. Ada yang mengganjal di hati gue. Rasa itu muncul saat si manajer marketing tadi berbicara dengan Aretha. For f*****g sake, mereka cuma ngobrol basa basi doang, apa yang bikin gue jadi ngganjel gini, dah. Lagian, kalo emang si burung Elang itu tertarik sama Aretha, biarin lah. Si Karet berhak buat berhubungan sama cowok. Dengan gusar gue bangkit dari rebahan dan berjalan menuju pantry. Gue membuka kulkas dan meneguk sebotol air mineral dingin sampai tandas lalu membuangnya ke tempat sampah. Pikiran mengganggu tadi kembali muncul saat gue terdiam bersandar di depan kulkas. Gue mengacak-acak rambut gue sebal lalu berjalan memasuki kamar. Kok bisa ya gue keganggu sama hal begituan? Goddamit, kayaknya gue beneran butuh istirahat. ~~~~~~~~~~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD