Bab 7

2316 Words
Satu semester lagi-lagi berlalu begitu cepat. Liburan semester sekaligus liburan menyambut musim semi pun juga sudah hampir selesai. Dan seperti biasa, tidak ada yang spesial. Aku kembali menatap jalanan melalui kaca jendela di apartmentku. Karena suhu udara yang sudah mulai bersahabat, orang-orang nampak semakin banyak berkeliaran di luar. Sebenarnya, aku juga ingin melakukan hal yang sama, tapi entah kenapa rasa malasku lebih besar. “Ret, lo beneran nggak dateng ke graduation nya Dafa?” tanya Flora yang baru saja keluar dari kamarnya. Ya, hari ini Dafa akhirnya lulus. Dia sudah memberiku kabar kemarin dan memintaku untuk datang ke kampus hari ini sekaligus ke farewell party nya nanti malam. Namun, entah kenapa aku merasa tidak ingin datang untuk bertemu Dafa. “Woi, ditanya malah bengong.” kata Flora sambil menepuk pundakku. “Sorry sorry. Nggak ah, gue males.” jawabku akhirnya yang membuat Flora mengerutkan dahinya. “Omg, Ret. Lo itu di undang sama seorang Dafa. Kesempatan emas banget tahu nggak sih.” aku hanya mengedikan bahu sebagai tanggapan perkataan Flora barusan. Flora menghela napas panjang lalu berkata, “Lo, jangan jangan ada apa apa ya sama Dafa?” Pertanyaan itu, membuatku semakin terdiam. Aku menyeruput tehku sebentar lalu kembali menghadap jendela tanpa menghiraukan Flora. “Ok, that’s it. Lo suka sama Dafa.” kata Flora akhirnya yang membuatku berbalik menghadapnya. Astaga, sahabatku ini memang luar biasa. “Gue harus gimana, Flo?” tanyaku yang membuat Flora langsung menarikku ke dalam pelukannya. “It’s ok, Ret. Yang jelas lo itu nggak salah karena rasa suka emang nggak bisa lo kontrol. Lepasin aja, kalo jodoh nggak kemana kok.” kata Flora menenangkan. Setelahnya, Flora mengajakku untuk duduk di bangku balkon kamar dan memberikanku selimut agar tetap hangat. “Jadi, kapan lo suka sama Dafa?” tanya Flora membuka percakapan. “Gue nggak tahu sih, Flo. Gue nyadarnya waktu liburan semester kemarin.” “Yah, wajar sih. Siapa juga yang nggak kepincut sama tu cowok, apalagi lo yang satu kelompok. Mana sering ketemu lagi.” “Gue udah agak lupa sebenernya sama dia karena nggak ketemu waktu liburan. Tapi waktu gue sakit, lo inget kan? Dafa malah muncul dan dia yang ngebantuin gue.” “Karena kejadian itu, gue makin susah buat ngilangin rasa suka gue. Kalau gue dateng dan liat Dafa, itu makin ngebuat gue susah, Flo. Keputusan gue buat nggak dateng udah bener kan?” tanyaku mengakhiri ungkapan perasaan. “Kalau itu lebih ngebuat lo tenang, gue cuma bisa ngedukung. Tapi jangan sampe nyesel, Ret. Inget, hari ini itu kesempatan terakhir lo buat liat Dafa.” kata Flora sambil menepuk bahuku pelan. Setelahnya, Flora meninggalkanku di balkon dan memasuki ruangan. Aku termenung memikirkan perkataan sahabatku tadi. Ya, hari ini adalah kesempatan terakhirku untuk melihat Dafa. Apa yang harus kulakukan? Apakah aku harus datang? ~~~~~~~~~~ “Lo dari tadi risau banget sih, Daf. Kagak bisa tenang gitu, napa lo?” tanya Bara yang ternyata sudah menduduki sofa di kiri gue. “Nggakpapa, cuma mikir aja, abis ini mau ngapain.” “Alah, alesan. Padahal juga kantor bokap lo sudah menanti.” “Justru itu. Cepet banget gue kerjanya.” “Nggakpapa lah, toh otak lo kerja. Nggak kayak gue sama Gala yang kerja otaknya setengah setengah.” “Alhamdulilah kalian ternyata sadar diri ya.” “Sialan lo.” sahut Bara setelah menabok kepala gue pelan. “Lo nggak ngikut si Gala tuh lagi joget gila gilaan?” tanya Bara sambil menunjuk Gala yang sedang asik berjoget bersama teman teman kampus kami. “Nggak ah, kan gue anaknya pemalu.” “Bah, boong dosa, Daf. Udah ah, gue masuk ke kamar deh, mau skype  sama cewek gue.” pamit Bara yang langsung berlalu sebelum gue sempat menyahutinya. Sepeninggal Bara, gue kembali menatap kelakuan Gala yang makin menggila. Malam ini, gue dan kedua sobat gue mengadakan farewell party untuk berpamitan dengan teman-teman kampus. Yah, walaupun kenyataannya cuma Gala yang menikmati pestanya. Gue sama Bara ma cuma ngikut aja. Gue yang memang nggak suka keramaian, akhirnya memutuskan untuk mengambil jaket dan diam diam keluar dari apartment. Kayaknya udara di luar lebih menyenangkan dari pada udara sumpek di dalem. Sekalian, gue pengen keliling Cambridge sendirian sebelum balik besok lusa. Nggak kerasa, tiga tahun lebih udah terlewat gitu aja. Gue pikir, gue nggak bakal betah betah amat selama di sini. Tapi itu semua salah. Bahkan gue merasa, tiga tahun terlalu cepat untuk tinggal di tempat ini. Di sini, gue belajar banyak hal. Salah satunya adalah kemandirian. Emang bener, hidup jauh dari keluarga itu susah. Tapi lo bakal belajar banyak hal selama tinggal sendirian. Asal, jalan lo masih ‘bener’. Kalo ngerasa sulit buat nahan diri dari godaan, satu yang harus lo inget, orang tua. Jangan sia-siain kepercayaan dan perjuangan mereka buat nyekolahin lo jauh jauh ke negara orang. Ok, cukup buat gue ceramah. Seperti biasa, jalanan Cambridge selalu penuh dengan orang dan gue suka itu. Gue suka aja, bisa ngelihat banyak orang dengan berbagai wujud dan ekspresi. Malam ini, gue berjalan secara perlahan, menikmati detik-detik terakhir di tempat ini. Gue berusaha untuk merekam semuanya dan menyimpannya baik-baik di dalam ingatan. Gue berjalan tak tentu arah, sampai akhirnya langkah gue berhenti di depan sebuah bangunan. Gue nggak tahu kenapa bisa sampai ke tempat ini. Padahal frekuensi gue dateng ke sini masih bisa dihitung dengan jari. Gedung di depan gue ini adalah apartment Aretha. Tu cewek satu, padahal udah gue undang kenapa nggak dateng dah. Padahal dia sendiri yang nyuruh gue buat ngundang dia. Wait, nggak mungkin kan ya dia sakit gara-gara udara musim semi. Ck, kalo ampe sakit, parah banget antibody nya. Sebenernya, gue nggak ngerti kenapa gue bisa sampe sini. Tapi, akhirnya gue memutuskan untuk duduk sejenak di bangku taman seberang gedung. Apa gue harus bilang Aretha kalo gue di depan apartmentnya ya? Mumpung di sini, gue bisa sekalian say goodbye. Ah, tapi ntar dikira gue sengaja nyamperin dia lagi. Ya udahlah, gue diem aja di sini sekalian istirahat. Siapa tahu ntar Aretha turun. Semoga. ~~~~~~~~~~ Entah sudah berapa lama gue terdiam di sini. Mungkin, agak sedikit lama karena orang-orang di sekitar sini udah mulai menatap gue dengan pandangan curiga. Santai kali, masak orang cakep kayak gue mau ngrampok. Akhirnya, gue pun memutuskan untuk berdiri dan hendak berjalan menyusuri jalanan lagi. Namun, tepat saat kaki gue hendak melangkah, mata gue menangkap sosok itu. Si Karet. Gue kembali menghadap ke depan dan mengamati Aretha yang nampak santai dengan balutan celana training dan kaos berlengan panjang. Gue menunggu dia melihat ke arah gue dan saat itu terjadi, gue melambaikan tangan ke arahnya. Untuk sesaat, cewek itu nampak kebingungan. Namun setelahnya, Aretha mulai berjalan menghampiri gue. “Lah tuan rumah pesta kenapa malah di sini? Tamu tamu lo, lo tinggal?” tanya Aretha begitu sampai di hadapan gue. “Tuan rumahnya kan bukan cuma gue, ada Gala sama Bara. Lagian lo tahu sendiri kalo gue nggak suka pesta.” Aretha tampak mengangguk mengerti lalu dia berkata, “So, kenapa bisa nyasar sampe sini?” “Pengen jalan jalan, nikmatin detik detik terakhir di Cambridge.” “Terus lo sendiri? Ngapain malem malem keluar? Mau nyulik anak jangan jangan.” “Ck, terus aja ngehina. Mau ke minimarket beli makan.” jawab Aretha sambil menunjuk sebuah minimarket yang berada di ujung jalan. “Ya udah, kebetulan lo mau beli makan, sekalian traktir gue.” “Yailah, kan yang mau pergi lo, kenapa gue yang traktir?” sahut Aretha yang berbalik dan mulai melangkahkan kakinya. “Ok, gue traktir lo dan lo traktir gue.” “Dasar aneh.” ucap Aretha yang hanya gue balas dengan kekehan. ~~~~~~~~~~ “Astaga, kenapa gue malah nemenin lo wisata kuliner, sih.” sungutku kepada Dafa yang sedang asik menikmati makanan untuk ke entah berapa kalinya. “Yaelah, gue mau pergi, lho. Terakhir kalinya nih lo jalan ama gue, nggak usah protes napa.” balas Dafa yang membuatku hanya bisa menghela napas. Kenapa kamu harus mengingatkan itu, Daf? “Untung lo pulangnya lusa. Coba kalo besok, keluar semua tuh makanan waktu naik pesawat.” “Cie khawatir.” “Bodo lah, abisin cepetan.” Dafa kembali melahap makanannya dan aku memilih untuk memandangi jalanan di depan. Entah aku harus senang atau sedih, menemani Dafa untuk terakhir kalinya. Sebenarnya, tadi aku hendak berjalan mencari angin sebentar, ingin berpikir apakah aku datang atau tidak. Tapi ternyata, orang yang membuatku bingung itu muncul di hadapanku begitu saja. Malahan sekarang aku jadi menemaninya berkeliling. “Buset dah, bengong mulu ni anak. WOII KARET!” Dafa berteriak tepat di telingaku dan membuatku menatapnya dengan tatapan membunuh. “Hehe maapin, abisnya lo bengong mulu natap jalanan kayak orang tanpa tujuan hidup.” ucap Dafa dengan cengirannya yang super menyebalkan itu. “Tapi teriaknya nggak usah di telinga gue juga kali. Bisa budeg beneran dah kalo gini.” sungutku yang tidak dihiraukan oleh Dafa karena dia sedang menerima kembalian dari sang penjual. “Udahan ya, perut lo udah nggak muat kan pasti.” kataku saat Dafa sudah kembali berada di hadapanku. “Iya iyaa, khawatir banget sama perut gue. Yok, gue anter lo balik.” sahut Dafa yang kemudian berjalan lebih dulu di depanku. Aku tidak langsung mengikuti langkah Dafa. Aku memperhatikan sejenak punggung laki-laki itu. Punggung seseorang yang aku lihat untuk terakhir kalinya malam ini. Ingin sekali rasanya aku memeluk punggung itu. Tapi aku tak bisa. Punggung itu, bukan milikku. “Yailah ni anak bengong lagi. Cepetan Karet.” ucap Dafa yang berbalik menghampiriku lalu menarik tanganku. “Awas lo bengong mulu ntar kesambet. Eh tapi, setan mana yang mau nyambetin lo, kan lo lebih menakutkan hahahaha.” kata Dafa yang di akhiri dengan tawanya yang membahana. Aku hanya membalas dengan senyum pongah lalu segera meninggalkan Dafa di belakang. “Yailah ngambek. Iya iya maaf.” ucap Dafa yang sekarang sudah kembali berjalan di sampingku. Aku hanya meliriknya sekilas dan memilih untuk diam tidak membalas. Perjalanan kami menuju tempat tinggalku hanya diiringi oleh suara ramai dari orang-orang sekitar. Sepertinya, aku dan Dafa sama-sama tidak ingin untuk mengeluarkan suara. Entah karena tidak ada topik atau karena situasi, mengingat ini adalah moment terakhir kami bersama. Ketika akhirnya kami sampai di gedung apartmentku, aku dan Dafa terdiam sebentar dengan posisi saling berhadapan. “So, i think i must say goodbye.” ucap Dafa memecah keheningan di antara kami. Aku akhirnya mendongak dan menatap Dafa. “Thanks for everything.” “Minta maafnya nggak nih?” godaku yang dibalas dengan kekehan Dafa lalu berkata,”Sorry juga buat semua tingkah menyebalkan gue. Cuma iseng, jangan dimasukin ke hati.” Sayang sekali, kamu sudah masuk ke hati, Dafa. Aku membalasnya dengan tertawa dan berkata, “Untung ya gue baik, kalo nggak udah gue sebarin semua tingkah menyebalkan lo. Biar fans lo pada kabur.” “Sebarin aja, toh gue udah nggak kuliah lagi.” balas Dafa santai. “Kuliah yang bener, jangan kebanyakan main, cepet lulusnya biar nggak nambahin biaya ortu lo. Kalo bisa lo part time, cari duit sendiri. Dikurang kurangin job nyulik anaknya.” pesan Dafa yang diakhiri dengan candaan dan membuatku mendengus geli. “Tetep ya job nyulik anak kayaknya udah paten banget buat lo sebutin. Iya iya, lo juga, kerja yang bener ntar, cari duit yang banyak. Jangan ngikut gue nyulik anak di sana. Dan jangan lupa sama gue. Kali kali ntar kita ketemu lagi jangan sombong.” “Siap. Ya udah, udah mau tengah malem ntar gue di culik tante tante mampus dah. Lo masuk dulu gih.” kata Dafa seraya mengibaskan tangannya menyuruhku masuk. “Lo duluan ah yang jalan, sekalian gue awasin biar nggak di culik tante tante.” “Yaelah, gitu amat, Karet. Kalo lo nggak masuk dulu, ntar lo keluar lagi pasti mau ngejob.” sahut Dafa dengan mata memicing. Aku tergelak sesaat lalu menggeleng. “Nggak nggak. Ya udah nih, gue naik sampai ujung tangga terus gue liatin dari sini.” ucapku yang sudah berhasil menaiki tangga. Akhirnya, Dafa pun menurut dan mulai melangkahkan kakinya setelah menatapku sambil tersenyum untuk sesaat. Aku kembali menatap punggung itu. Punggung seorang lelaki yang ingin sekali aku temui setiap hari namun tak bisa. Mengingat kalau ini terakhir kalinya aku bertemu dengan Dafa, tanpa sadar aku sudah berlari menyusul orang itu dan memeluknya. Untuk sesaat, aku merasakan Dafa terhenyak kaget dan mematung. Namun setelah beberapa saat, Dafa berbalik dan membawaku ke dalam pelukannya. Shit, aku menangis. Saat aku mulai terisak, aku mendengar Dafa tertawa dan menepuk-nepuk punggungku menenangkan. “Gue kira lo seneng gue bakal pergi. Kan enak tuh nggak ada yang gangguin lo lagi.” ucapnya setelah isakanku mulai mereda. “Iyalah seneng. Gue begini akting aja biar kesannya ada yang sedih gitu lo tinggal.” sahutku setelah melepaskan pelukan kami. “Iya deh, gue iyain aja biar lo nggak malu.” balas Dafa sambil mengacak-ngacak rambutku. Sial, kenapa aku tidak berpikir dengan jernih, sih. “Ayo gue anter lagi sampe masuk. Ntar lo lari lagi meluk gue.” goda Dafa yang aku balas dengan tabokan keras di lengannya. Kali ini, Dafa mengantarku sampai memasuki gedung apartment. “Naik buruan.” “Beneran jangan lupa sama gue lho ya. Ati ati pulangnya.” pesanku untuk terakhir kalinya. Dafa tersenyum lalu mengangguk mantap. Aku membalas senyumannya dan terdiam sejenak sebelum akhirnya berbalik menaiki tangga. Selamat tinggal cowok menyebalkan. Ya, sangat menyebalkan namun anehnya malah berhasil memasuki hatiku. Selamat tinggal Dafa, cinta pertamaku di Cambridge. ~~~~~~~~~~ Gue mengawasi Aretha sampai benar benar hilang sebelum akhirnya berbalik dan keluar dari lobby. Sekali lagi, untuk yang terakhir kalinya, gue menatap gedung tempat tinggal Aretha. Ok, i think it’s time to say goodbye. Selamat tinggal, Karet. Cewek pertama yang mau nggak mau gue akuin sebagai cewek yang terdekat dengan gue. Cewek yang berhasil membuat banyak kenangan dalam waktu singkat. Setelah puas menatap bangunan ini, gue pun berbalik dan berjalan meninggalkan tempat ini menuju tempat tinggal gue. Goodbye Aretha. Semoga kita bisa bertemu lagi suatu hari nanti, sekali lagi. ~~~~~~~~~~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD