Chapter 2

1173 Words
Aku masih teringat akan dirimu. Meski kita bertemu tidak mulus. *** Kahayang memacu sepeda motor matiknya menuju ke restoran orang tuanya yang berbeda dua blok dari toko bunganya. Mulutnya betah mengerucut ke depan. Sedangkan hatinya dipenuhi kata-kata marah, tertuju pada laki-laki yang ia belum tahu namanya. Sampai di restoran orang tuanya, Kahayang melangkah cepat masuk. Dilihatnya hanya ayahnya di meja kasir. "Pa...," Andin yang sedang melakukan pencatatan, terkejut mendapati putrinya tiba-tiba muncul dengan wajah cemberut. Ia menduga jika putrinya sedang mengalami hari yang buruk, sampai lupa melepas helmnya saat masuk. "Mama mana, Pa?" tanya Kahayang sambil celingak-celinguk. Andin menurunkan kacamata sampai ke pangkal hidung. "Mamamu ke toko Bu Ida. Suaminya tadi keserempet motor." "Hah? Serius? Yang nyerempet kabur?" "Ada Lingga. Di lempar batu sama dia." "Kena?" Andin menyengir puas. "Tepat di punggung." Dan tawa pun pecah. "Lingganya mana?" Kahayang kembali celingukan. "Terjebak di sana, mungkin." "Kok bisa?" "Pak Salim gak mau di bawa ke rumah sakit atau puskesmas. Minta di bawa pulang ke tokonya. Jadi tadi sama mamamu, di antar Pak Salim ke tokonya. Nah, itu mereka." Kahayang menoleh. Ibunya berjalan cepat dan dibelakangnya, Lingga yang masih pakai seragam SMA. Segera Kahayang memeluk dan menciumi kedua pipi ibunya yang sudah berdiri di dekatnya. "Ada apa? Tokomu tutup?" tanya Lia yang kemudian duduk di meja kasir, sebelah suaminya. Ia melambai ke seorang pegawainya dan minta untuk dibuatkan es teh manis. "Kamu juga?" tanya Lia pada putrinya. Kahayang menggeleng. "Kamu mau, Ling?" Kali ini pertanyaan ditujukan pada putranya yang sudah selesai mengirim pesan entah ke mana. Lingga menggeleng dan memasukkan ponselnya ke saku. Ia memutar tubuh kakaknya dan tersenyum sangat manis. "Aduh..., anak cantik kok masuk rumah pakai helm," ujar Lingga sembari melepaskan kaitan helm di dagu Kahayang. Andin dan Lia saling menoleh dan mengerling. Jelas Lingga punya maksud. "Saya cantik, ya?" Kahayang mengedip-kedipkan kelopak matanya. Lingga mengangguk mantap. Tangannya bergerak cepat mengambil kunci motor Kahayang yang tergeletak di meja kasir. "Anak cantik. Pinjam motornya, ya." Lingga berlari kecil sebelum Kahayang sadar dan ngomel. Dan benar, Kahayang teriak kesal, "Lingga!" "Hush! Gak baik anak perempuan teriak-teriak. Untung restoran lagi sepi," tegur Lia. "Itu Lingga...! Saya ke toko pakai apa?" keluh Kahayang dongkol. "Jalan kaki juga gak jauh. Sekalian jalan sehat." "Mama selalu belain dia." Kahayang menjatuhkan dirinya di kursi depan meja kasir. Kembali bibirnya mengerucut. "Kamu tadi cari mamamu ada apa?" Andin mengingatkan Kahayang akan tujuannya datang dan mencari istrinya. "Oh, iya. Ma..., bisa cuci jas ini?" Kahayang menyodorkan jas biru gelap ke ibunya. Ibunya mengamati dengan serius. "Ini punya Geri?" Lia meragukan kalau itu milik Geri, kekasih Kahayang. Geri memang kaya, tapi untuk nilai jas ini saja, rasanya tak mungkin juga Gery memilikinya. Bahan yang terlalu halus, jahitan yang teramat rapi, pasti dikerjakan oleh orang terpilih dan bahan pilihan. "Jas mahal ini," ujar Andin yang juga ikut memegang Jas dan meraba bahannya. "Geri mau ada acara penting?" "Ini di cuci karena barang second?" tanya Lia. Yang ditanya justru menggaruk-garuk kepalanya gemas. Ayah ibunya bertanya seperti sedang menginterogasi. Ia menatap kedua orang tuanya bergantian. "Bisa tidak, saat saya mengajukan tanya, jangan dibalik lagi menjadi pertanyaan?" "Oke. Jadi ini punya Geri?" tanya ibunya santai. "Arghhh.... Kan tadi saya dah bilang, bisa tidak.... Ah, sudahlah." Kahayang lemas. Percuma menghadapi kedua orang tuanya, terutama sang ibu. "Bukan. Itu bukan punya Geri." Dan Kahayang mulai mempersiapkan diri akan interogasi yang sebenarnya. Lia dan Andin terkejut. Keduanya saling menoleh bingung. Kahayang memang anak yang supel dan mudah bergaul. Sebagai orang tua, mereka tahu dan kenal teman-teman Kahayang dan semuanya sekelas dengan Kahayang alias bukan golongan sultan. "Punya pelanggan toko," lanjut Kahayang demi melihat kebingungan di wajah kedua orang tuanya. "Cowok?" tanya ibunya antusias. "Muda?" sambung ayahnya. Makin frustrasilah Kahayang. Harusnya ia tadi mengikuti saran Elis untuk membawa jas itu ke binatu. Tapi karena pertimbangan tidak mau keluar uang, ia berpikir untuk minta tolong ibunya saja. Ada sesal terselip. Jika pertanyaan tak dijawab, maka ia akan terus dikejar sampai di rumah. Jika dijawab, maka akan ada pertanyaan-pertanyaan baru diajukan, sampai kedua orang tuanya puas. "Iya. Dia cowok. Dia kaya-raya. Dia muda. Dan dia siluman." Kahayang mengambil jas di tangan ibunya. Ia memutuskan untuk ke binatu saja. Tapi, jas ditahan sang ibu dengan senyum lebar nan licik. "Mama bisa mencucinya, kok, Sayang." Sikap lembut ibunya justru menakutkan Kahayang. "Kapan diambilnya?" tanya Lia. "Lusa." "Jo! Ajo!" Lia berteriak ke arah dalam. Seorang pegawai muda yang selalu tersenyum, muncul. "Iya, Bu." Ia mengangguk ke arah Kahayang dan mengerling. "Pulang sekarang dan cuci jas, Bu?" Kahayang menunduk dan mengembuskan napas. Semua pegawai restoran menguping. Memang ia ditakdirkan untuk tidak punya rahasia. "Pa, pulang, ya." Lia mencium pipi suaminya dan mengerling ke arah Kahayang. "Kamu kapan terakhir ke salon? Besok ke salon, ya. Ayo, Ajo." Ajo mengangguk dan mengambil kunci motor dari tangan Andin. Ia pun ikut mengerling lagi ke arah Kahayang. Dan Kahayang mengacungkan tinjunya untuk Ajo. *** Sembara buru-buru keluar dari mobilnya. Ia sengaja tidak memasukkan mobilnya ke garasi. Ia meminta tolong salah satu pekerja rumah yang lelaki untuk memarkirkan mobilnya ke dalam garasi. Ini sudah hampir jam sembilan malam. Opa Edwin tidak akan makan malam jika tidak bersamanya. Opa Edwin hanya mau makan sendiri jika Sembara makan di luar untuk bersosialiasi atau negoisasi atau Sembara sedang berpergian. Seperti dugaan. Opa Edwin menonton televisi di ruang tengah yang sekaligus ruang makan karena tidak ada sekat agar tercipta kesan luas. "Opa, ayo, makan," ajak Sembara dengan senyum manis. Edwin Bimantara tersenyum lebar. Ia berdiri dibantu cucu tersayangnya. Sebenarnya ia masih sangat bugar di usianya yang sudah sangat senja. Tapi, bersama Sembara, ia senang menjadi sedikit manja. Setelah makanan yang dimau sudah tersaji di piring, Edwin bersiap makan dulu. Tetapi matanya menangkap noda di bagian lengan kemeja cucunya. "Itu kenapa?" Sembara yang mengikuti arah mata opanya, tersenyum. "Ada nenek sihir makan es krim sembarangan." Awalnya Edwin Bimantara mengernyit tak mengerti. Namun, tak lama kemudian ia terkekeh dan mulai menyuapi makanannya. "Cantik?" "Apanya cantik kalau kerjanya marah-marah saja," jawab Sembara sambil mengunyah makanannya. "Nenek sihir itu mudanya cantik." "Kok, Opa tahu?" "Almarhum omamu itu cantik." Seketika Sembara tertawa terbahak-bahak. Kakeknya selalu punya gaya humor yang unik. Dark jokes, istilahnya. "Kapan kamu punya kekasih?" tanya Opa Edwin. "Deon aja ceweknya gonta-ganti dan di mana-mana." "Nanti saya minta satu ke Deon." "Kamu masih normal, 'kan?" tanya Opa Edwin dengan suara berbisik. Sembara melongo melihat ekspresi opanya yang serius. "Menurut Opa bagaimana?" tanya Sembara dengan mengerling. "Kalau kamu sampai belok, nih!" Opa Edwin mengacungkan garpunya dengan mimik wajah marah. Bukannya takut, Sembara justru tertawa. "Kamu cari perempuan yang bagaimana?" tanya Opa Edwin lagi. "Yang baik aja, Opa." Sembara sudah selesai makannya. Ia membersihkan bibirnya dengan serbet kecil. "Banyak perempuan baik. Yang spesifiklah." Sembara menatap opanya. "Saya sedang tidak ingin buru-buru, Opa. Kalau memang sudah waktunya saya bertemu jodoh. Pasti kami akan bertemu." "Ya, bagaimana mau bertemu kalau tidak dicari?" tanya Opa Edwin sewot karena merasa digurui. "Kenapa harus buru-buru, Opa." "Opamu ini sudah bau tanah. Sudah tidak kuat. Menggendong cicit akan menjadi keinginan terakhir." Sembara paling tidak suka pembicaraan yang mengarah pada kematian. Ia sangat sayang pada opanya. Sejak menjadi yatim piatu, Opa Edwin Bimantara telah menjaga, merawat, dan mendidiknya layaknya orang tua. Ia belum mau kehilangan lagi. "Opa carikan buat saya," putus Sembara asal bicara. Opa Edwin seketika berbinar menatap cucu kesayangannya itu. "Kamu serius?" "Iya." "Kamu mau yang seperti apa?" Sembara termenung. Ingatannya kembali pada pelayan wanita di toko bunga. Wanita yang memiliki mata boneka. Wanita yang selalu marah. Dan Sembara tersenyum. "Malah senyam-senyum," tegur Opa Edwin. Sembara tertawa geli dan menatap Opa Edwin. "Sepertinya selera wanita kita sama." Alis abu-abu Opa Edwin saling menaut. "Maksudmu?" "Saya suka nenek sihir." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD