Chapter 3

616 Words
Jangan pernah percaya kalau ada orang bilang "Sibuk". Karena kata sibuk adalah kata tepat yang dipakai untuk menjauh. *** Gery menyisir rambutnya yang lebat dengan sangat hati-hati dan perlahan. Seolah mahkotanya itu akan mudah rontok jika diberi sedikit tekanan dan tempo yang cepat. Ia kemudian menelngkan kepala ke kiri dan ke kanan dengan senyumpuas. Sudah merasa bersih dan sekaligus tampan. Meski tidak ke mana-mana, hanya di rumah, tetap Gery menjaga penampilannya. Ponselnya berdering. Saat membaca nama siapa yang menelepon, Geri menerima dengan setengah malas. "Ya, Ayang," sapa Gery. "Kamu, kok, gak balas WA saya. Telpon saya juga enggak." Suara Kahayang terdengar sangat kesal. "Kan tadi sudah balas WA-nya. Saya lagi ada rapat." Gery merapikan sekali lagi rambutnya dengan tangan dan kemudian keluar kamar. "Rapatnya kan gak sampai berjam-jam." "Abis rapat kan bikin laporan. Kamu harusnya sudah paham ritme kerja saya." Gery menuju ruang makan. Ia melihat ibunya berbicara dengan asisten rumah tangga. Dihampirinya sang ibu dan dicium pipinya. Gery kemudian duduk. "Tapi, kan tetep kamu bisa menelepon saya setelah semua selesai." "Ya, maaf." "Ini kamu di mana?" "Di rumah. Dan mau makan. Ini Mama nungguin." Tatapan Gery terarah pada Ida, ibunya, yang sudah duduk di hadapannya. Terdengar suara napas dilepaskan. "Baiklah. Telpon saya nanti. Ya?" "Iya. Ya, sudah, ya. Gak enak, nih, Mama nungguin." Setelah Kahayang berkata 'iya', telepon pun ditutup Gery. Ida mengulurkan tangan dan gery menyerahkan piringnya untuk diisi nasi beserta lauknya. "Si Ayang?" "Iya, Ma." "Hhh.... Kamu kok betah pacaran ama perempuan begitu," keluh Ida sembari menyerahkan piring makan yang sudah terisi nasi beserta lauk-pauknya. "Cinta, Ma," goda Gery bermaksud meredakan kekesalan ibunya. "Halah. Cinta, cinta. Yang realistislah. Kamu kan sudah jadi kepala manajer pemasaran. Di perusahaan besar pula. Bimantara Grup. Carilah yang sejajar sama kamu. Syukur-syukur lebih tinggi dari kamu." "Emang apa kurangnya Ayang, Ma? Dia kan sudah punya usaha sendiri." "Jualan bunga itu kamu sebut usaha? Itu sih hanya mainan. Berapa, sih, dari jualan bunga? Kelihatan keren aja karena dia punya tempat. Pada dasarnya sama aja seperti penjual bunga di dekat makam." Gery memilih diam. Ada perasaan tidak nyaman jika ibunya membicarakan kekasihnya. Apalagi jika direndahkan. Meski begitu, Gery tidak pernah bisa membela Ayang. Mungkin karena sebagian besarnya kata-kata ibunya benar. "Lagi pula, kelak kalau kamu nikah sama dia, apa kamu gak malu sama orang-orang kantormu kalau tahu Ayang itu cuma lulusan SMA?" Gery menghela napas. Dalam hatinya kali ini menyalahkan Ayang yang kekeuh tidak mau kuliah. Bukan karena orang tua Ayang tidak mampu. Kalau cuma menguliahkan Ayang dan adiknya, dengan penghasilan restoran sederhana, orang tua Ayang sanggup. Masalahnya Ayang tidak mau. "Sudahlah, Ma. Ayo, makan. Marah-marah terus nanti nasinya jadi kerak." Gery berusaha menyudahi topik. "Pokoknya, Mama maunya kamu dapat calon istri yang tidak akan menyusahkanmu dan tidak mempermalukanmu." Gery tak menjawab hanya mengangguk-angguk saja. *** Elis mengeluarkan motornya, sedangkan Kahayang mengunci pintu dan menggembok pagar samping. Wajahnya cemberut. Ia kesal dengan Gery yang dirasanya semakin berubah. Semakin jarang memberi kabar juga semakin jarang bertemu. Kalau dirasa-rasa, Gery berubah sejak ia naik jabatan. "Apa sesibuk itu, ya, orang kalau naik pangkat?" dumel Kahayang mendekati Elis. "Si Gery, ya?" Kahayang mengangguk. "Mungkin. Kayaknya sih, iya." "Tapi sesibuk-sibuknya masak iya gak ada waktu buat ngasih kabar meski cuma berupa pesan?" "Mmm.... Tadi katanya apa?" "Rapat seharian, trus bikin laporan." "Nah, ya udah. Berarti memang sibuk." "Ya..., tapi tetep harus ada waktu dong," gerutu Kahayang dengan nada tinggi. Ia masih belum bisa menerima logika bahwa kesibukan menghalangi seseorang berkirim pesan. "Ihhh..., kok, malah emosi." Elis tersenyum dan membelai lengan sepupunya itu. "Ayo, pulang. Saya traktir makan sate." Seketika wajah murung Kahayang berubah berbinar. "Serius?" Elis mengangguk dan tersenyum geli. Ia tahu kelemahan sepupunya itu. Makanan enak dan minuman dingin. Kahayang langsung duduk di bangku belakang dengan semangat. "Ayo!" Untuk sejenak, Kahayang melupakan kekesalan hatinya. Sedari siang, sepertinya tenaga Kahayang diforsir untuk marah-marah dan kesal. Dari munculnya lelaki bak dewa yang menyebalkan sampai kelakuan sang kekasih yang gak punya waktu. Mungkin hari ini Kahayang memang sedang apes. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD