Chapter 4

467 Words
Ada dendam dari anak untuk ayahnya. *** Dengan wajah berungut, Diana turun dari mobil mewahnya. Ia merapikan sedikit pakaiannya dan mulai menaiki anak tangga dari batu alam dengan hentakan keras hingga hak runcing sepatunya seolah bisa menembus tiap anak tangga sampai ke dasarnya. Tak ada yang berani mengusik langkah Diana, semua pelayan segera memberi jalan dan membukakan pintu. "Di mana orang tua itu?" tanya Diana ketus pada seorang pelayan yang membukakan pintu. "Di rumah kaca, Nyonya Diana." "Ahhh....!" Diana mengeluh kesal. Rumah kaca membuatnya harus berjalan lebih jauh. Heran ia dengan ayahnya yang masih saja sibuk ini itu tidak jelas. Tapi ia tak ada pilihan. Demi anak lelakinya, ia harus menemui Edwin. Selalu ada loyalitas dan kesigapan dari para asisten rumah tangga di rumah Edwin. Seorang pelayan masuk dan berbicara lirih di dekat telinga Edwin. Seketika wajah Edwin yang tadinya sumringah dengan bonsai kesayangannya, menjadi bersungut. Ia mengangguk dan mengusir si pelayan dengan gunting daun di tangan. Pasti minta uang lagi. Dasar lintah, gerutu Edwin dalam hati. "Pa!" sapa Diana dari pintu. Edwin pura-pura tidak dengar, ia tetap memeriksa batang tanaman bonsainya. "Kenapa Papa jadikan Deon CMO? Kenapa Sambara yang justru jadi CEO?" tanya Diana dengan nada tinggi di depan ayahnya yang serius dengan tanaman bonsainya. "Ya kan sama aja," jawab santai Edwin. Padahal dalam hati terkejut karena dugaannya meleset. Dia tak menduga Diana akan mengungkit pekerjaan. Karena biasanya putri sulungnya itu hanya mengerti meminta uang. "Apanya yang sama? Papa pikir saya bodoh?" "Ya kan sama-sama memimpin perusahaan, toh." Edwin berdiri sembari membawa salah satu pot tanaman bonsai yang sudah selesai dipotong pucuknya, ke sudut lain rumah kaca. "Papa! Papa yang benar aja, dong. Deon itu kan cucu tertua, kenapa dia justru jadi gedibal Sambara? Papa mau pilih kasih?" "Gak ada yang menganggap anakmu gedibal. Kanunya aja berlebihan. Dan keputusan menjadikan Sambara CEO bukan dari saya saja. Ada rapat pemegang saham. Kamu tahu itu. Kamu kan lulus Amerika." "Tapi Papa yang punya kuasa. Harusnya Papa batalin keputusan itu! Papa memang pilih kasih, ya! Dulu mama dan mamanya Bayu, sekarang...." "Cukup!" Edwin berbalik dan menoleh sengit. Kedua mata yang dinaungi alis tebal berwarna putih, menatap penuh amarah ke arah Diana. "Jangan pernah kamu bawa-bawa nama istri-istri saya apalagi keduanya sudah almarhumah!" tegas Edwin yang kemudian dengan kasar meletakkan gunting tanaman. Melepaskan sarung tangan dan melemparnya begitu saja ke lantai. Perlahan ia mendekati putrinya. Diana yang tadinya garang seketika nyiut nyalinya. Biar bagaimana rentanya Edwin, status sebagai ayah dan kepala rumah tangga membuat Diana tak berrani mecam-macam. "Tapi kenyataannya Papa memang tidak adil." "Kamu berkata perihal keadilan sedang hatimu dipenuhi kedengkian. Sampai kapan pun, kamu akan tetap merasa tidak adil. Lagi pula, keputusan sudah dibuat. Saya hanya mengikuti permintaan suara terbanyak." Edwin melangkah keluar rumah kaca. Meninggalkan Diana yang geram ingin teriak dan melempar Edwin dengan pot. "Dasar tua bangka. Mama mati karena kamu! Lihat saja suatu nanti!" Diana melihat tanaman bonsai yang belum di apa-apain Edwin. Ia mengambil gunting tanaman, dan mengunting asal. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD