Andra :
Apa memang ini impiannya?
Siska terus berlarian di atas dak kapal. Padahal belum dua puluh empat jam yang lalu dia merasa pusing dan mual karena mabuk laut. Sekarang sepertinya dia sudah kembali menjadi Siska yang normal. Melompat, berteriak, berlari.
Aku? Hanya duduk manis melihatnya. Benarkah aku sudah bisa mewujudkan mimpi-mimpinya? Hanya sebatas itu sajakah? Apa tak ada yang lebih?
Tiba-tiba dia berhenti, suaranya tak terdengar lagi. Aku yang sebenarnya sedang kalut memikirkan perasaan sendiri, dan masih mempertanyakan 'who am I?' untuk dirinya, tetap saja merasa khawatir setelah melihat perubahannya. "Siska! Kamu kenapa?" Aku berlari menghampirinya.
Dia berjongkok, wajahnya meringis seperti menahan sakit.
"Kamu sakit lagi, hah?" Aku ikut berjongkok, membelai kepalanya.
"Andra ... lapar," ucapnya lesu.
"Astaga! Aku pikir kenapa?"
"Makanan terakhir aku mie ayam di kantin kemarin. Itu juga enggak habis."
Aku duduk, menekuk kedua kaki. Teringat pada lelaki itu. "Bentar lagi sarapannya dateng. Tungguin, ya?"
Siska mengangguk. Lalu ikut duduk, menyandarkan kepalanya di pundakku. "Andra ...."
"Apa?"
"Kamu percaya, 'kan, kalau aku enggak pernah nakal?"
Kubelai pipinya dari samping. "Dia suka sama kamu."
"Tapi aku enggak. Sumpah--"
Tiba-tiba suara helikopter terdengar menderu semakin dekat.
"Sarapannya dateng," bisikku sambil menepuk pipinya.
Siska menegakkan kembali kepalanya. Aku segera berdiri. Helikopter terbang di atas kapal. Tak berapa lama seseorang turun menggunakan tali, membawa keranjang besar di punggungnya.
"Maaf agak telat, Pak Rey!"
"No problem. Asal nanti malam jangan sampai terulang," bisikku pada asisten kepercayaan Viko.
"OK! Saya jamin tidak akan terulang." Dia mengacungkan jempolnya, lalu kembali memanjat tali.
"Thanks!" teriakku saat dia melambaikan tangan untuk berpamitan.
Siska berlari menghampiri. "Ayo, makan!"
Aku menggangguk. Mengajaknya duduk di dak kapal. Kami membuka kotak makanan, langsung melahapnya. Siska menghabiskan tiga roti isi beserta dua botol milk shake.
"Waw, kamu lapar banget. Jangan sampai habis semua, nanti malem kita baru bisa dapet makan lagi," ucapku menahan tawa.
"Mmm, tapi rasanya enak banget, Andra. Walau cuma sandwich tapi tempat makannya bikin susah kenyang."
Tak kuasa lagi aku menahan tawa, tapi Siska tak memedulikan. Dia malah membaringkan tubuh yang tampaknya terlalu kenyang. "Jam berapa sekarang?" Dia mengusap-usap perut.
"Jam sepuluh," jawabku.
"Apa? Gawat!" Dia bangun dan berlari ke dalam.
Kenapa dia? Bisa berubah hanya dalam hitungan menit. "Sebentar melankolis, sebentar manja, sebentar teriak-teriak, sebentar nangis, sebentar diem, sebentar laper, sebentar histeris. Tapi ... aku suka," gumamku sambil membereskan sisa makanan.
Setelah semua beres, aku pun masuk ke dalam. Menyimpan kotak makanan di ruang depan, kemudian menyusul Siska ke kamar. Rupanya dia sedang berdiri di hadapan cermin besar, mengusap-usap wajah, tangan dan kaki.
Seksi. Baju yang dia pakai sejak ke kampus kemarin ; dress selutut berwarna hijau tosca terlihat membentuk tubuhnya. Walau agak kusut tapi tetap terlihat menarik. Kudekati, memeluknya dari belakang.
"Andra, gimana ini? Aku enggak bawa sunblock. Entar aku item gimana?" pekiknya histeris.
Kukecup pipinya, menurunkan bibir menyusuri leher putihnya. "Tenang, Sayang. Aku udah beli kemarin. Semua lengkap, sunblock, baju, sepatu ...."
Siska berbalik. Menatapku dengan senyum mengembang. "Masa?" Dia memainkan telingaku, dan satu tangan lainnya mengusap dadaku.
"Iya."
Dia memelukku. Menenggelamkan kepalanya. "Katakan lagi."
"Apa?"
"Yang tadi."
"Yang mana?"
"Itu, waktu kamu beli baju aku ...."
"Oh, iya. Aku udah beli baju sama underwear-nya juga."
"Kok, underwear, sih!" Dia melepas tangannya, mundur selangkah.
"Kenapa? Kamu pasti butuh underwear, 'kan?"
Siska membuang wajah dengan mimik cemberut.
"Aku beliin kamu lingerie juga. Pasti kamu makin sexy," ucapku sambil mendekatinya.
Dia menghela napas, lalu mengembuskannya dengan agak keras. Berbalik, melangkah pergi. Masuk ke kamar mandi.
Why? Memang apa yang kukatakan tadi? Kucoba mengingat kembali ke beberapa menit lalu. Kata apa yang membuat Siska menjadi tersipu begitu?
Aku merenung. Apa mungkin?
Baiklah. Kita lihat. Apa tebakanku benar atau salah. Kubuka pintu kamar mandi. Siska sedang berdiri di bawah kucuran shower. Sekujur tubuhnya sudah basah. Naluri kelelakianku timbul seketika. Tak menunda waktu, kulucuti bajuku. Tapi saat berada di belakangnya, ternyata dia menyadari kehadiranku. Siska berbalik, menempelkan tubuhnya pada dinding.
"Kenapa ... Sayang?" Kuangkat dagunya.
Matanya mengedip. Tetes-tetes air menggantung di bulu matanya. Jelas terlihat rona merah di kedua pipinya. Aku memiringkan kepala, mengikis jarak yang tersisa. Siska pun akhirnya memejamkan mata. Mengulum lembut bibir merah jambu itu, dipenuhi hasrat yang mulai berkobar.
Kugenggam kedua tangannya, mengangkat dan menahannya pada dinding di belakang Siska. Dadaku yang mulai tersengal menempel pada dua gundukan di dadanya. Setiap dia bergerak, maka semakin bertambah api gairahku.
"Mmppttt ...." Siska mulai melenguh.
Kuturunkan satu tangan. Bermain di bagian bawah tubuhnya. Siska mendesah. Suaranya sangat seksi. Menyulut nafsuku untuk segera disalurkan. Kulepas ciuman kami. Menarik tubuhnya sedikit ke depan, lalu memutarnya agar membelakangiku.
"Ah ... Andra ...."
-
"Andra, bisa bantuin?" Siska menyodorkan tubuh belakangnya.
Rupanya dia kesulitan. Baju yang kubelikan berupa gaun pantai dengan tali yang harus diikat ke leher. "Cukup?" tanyaku memastikan.
"Selalu cukup," sahutnya sambil berbalik. "Kenapa bisa?" lanjutnya.
"Bisa apanya?"
"Kamu tau semua ukuranku," ucapnya sambil menyisir rambut.
Kudekati dia, lalu berbisik, "insting."
Dia malah memukul lenganku. "Ih, insting macam apa itu?!" jeritnya.
Kupeluk tubuhnya, mencium dalam leher beraroma strawberry. "Insting yang muncul semenjak bertemu dengan kamu," bisikku.
Siska tersipu, merundukkan wajah.
"Kenapa malu?" tanyaku.
Dia menggeleng. Kupeluk lagi tubuhnya lebih erat. Menciumi pucuk kepalanya.
"Jangan kelamaan. Aku mau ke atas lagi ...."
Aku tertawa. Menyadari terlalu larut dalam perasaan. "Come on!" Kulepas pelukanku setelah mencium keningnya lembut. Lalu berjalan ke arah ranjang, di mana ada beberapa tas belanja di sana.
"Kamu enggak bilang kalau mau shopping dulu?"
"Saking senengnya mau liburan, lupa enggak suruh bawa baju. Ya, sambil nunggu kamu aku belanja dulu," sahutku sambil mengambil satu kaos.
"Jangan keseringan beliin baju, lemariku udah penuh," celotehnya sambil membuka tas belanja yang lain.
"Terus gimana? Aku kasih uangnya kamu enggak beli juga," timpalku.
Siska tak menjawab lagi, sibuk membuka isi tas yang lain. "Andra! Kenapa enggak bilang kalau beli kamera juga?"
"Lupa. Itu juga pas mau balik kampus ingetnya. Kamu 'kan suka foto-foto!" godaku sambil mencolek dagunya.
"Ayo! Fotoin aku!" Siska merengek, menarik ujung lengan kaos.
"Bentar aku belum pakai celana!'
"Ih ...! Cepetan, deh!" Siska mengentakan kaki keluar kamar.
"Iya!" seruku.
Akhirnya ....
Dia terus bergaya, terseyum, berlari ke sana ke mari, berpose sambil lompat. Dan aku? Inilah aku. Keahlianku bertambah sejak mengenalnya, termasuk menjadi fotografer dan nahkoda. Siska benar-benar menikmati, sampai sore semangatnya masih terus menyala.
Aku lelah, dan duduk melihatnya. Meminum sebotol softdrink sambil memandangi Siska. Tingkahnya, gayanya. Dengan baju pantai yang tertiup angin, rambutnya yang tergerai. Kuambil kamera dan memotretnya. Indah sekali. Semangatnya mulai tenggelam saat matahari mulai bersembunyi.
"Aku seneng banget, Andra. Makasih!" Dia menghampiriku.
"Enggak cape?" Aku meraih tangan kanannya memberi isyarat duduk. Siska mengerti.
"Mmm, enggak. Aku kelewat seneng kayaknya," ucapnya sambil duduk. Kemudian merebahkan tubuh dengan kepala di atas pahaku. Dia menguap, tampaknya kantuk mulai datang.
Akhirnya, dia kalah.
*****
Siska :
Aku benar-benar bahagia hari ini. Sebait kata terima kasih pun tak cukup sebagai imbalan setimpal untuk Andra, dia sungguh sudah memberiku kejutan yang luar biasa. Kunikmati liburanku ini. Aku berlari, berteriak, melompat ke sana ke mari. Sampai kulihat matahari meredup dan semangatku pun mulai berkurang. Rasanya tubuh ini sudah ingin beristirahat.
"Aku seneng Andra banget, Andra. Makasih!" ucapku sambil menghampirinya.
"Enggak cape?" tanyanya sambil meraih tanganku.
"Mmm, enggak. Aku kelewat seneng kayaknya," sanggahku sambil duduk. Lalu merebahkan tubuh dan kepala ini.
Tangan lembut Andra membelai wajahku. Dia mengusap keningku, aku serasa seperti bocah yang sedang dininabobokan oleh ayahnya. Tanpa terasa mataku ikut terpejam.
-
Aku terjaga saat mendengar suara gaduh di luar. Mengerjap-ngerjapkan mata beberapa kali. "Berisik. Ada apa?" Aku berusaha mengumpulkan tenaga. Hingga akhirnya terdengar sebuah ledakan. Segera aku bangkit dan berlari ke luar. "Andra ...," panggilku tak percaya atas apa yang terlihat.
Sebuah meja makan lengkap dengan lilin-lilinnya yang menyala indah di tengah gelapnya malam. Aku dekati meja itu, ada hidangan makan malam. Dan, kue. "Kue ulang tahun?" Aku masih bingung. Tiba-tiba ....
Duuar!
Ledakan itu terjadi lagi. Aku terkesima, melihat sinar yang melesat ke atas langit, dan membuyarkan keindahan warna warni. "Andra!" Aku berlari menghampirinya yang sedang menyalakan kembang api. "Indah banget!" pujiku takjub. Aku memeluknya dari samping. Menatap langit malam yang indah di tengah laut.
Andra menoleh, lalu berbisik, "Happy birthday."
"Hah?" Aku terkejut.
"Happy birthday, Sayangku."
Aah, kue ulang tahun itu? Ada angka 21 di atasnya. Bukankah itu umurku sekarang?
Kutarik tangan Andra. Jam Rolex itu menunjukan angka 12. "Ini hari ulang tahun aku?" tanyaku masih tak percaya.
"Yes, 21 years old at 22 July." Andra berjongkok menyimpan kembang api di tangannya. Lalu dia kembali berdiri, merangkulku. Mencium lembut bibirku. "Ulang tahun sendiri lupa! Mikirin apa?" Andra mencubit hidungku.
"Ih, Andra!" Aku menepis tangannya. "Jadi ini kamu lakukan semua ... buat aku?" tanyaku penuh haru.
"Everything for you, Honey," bisiknya sambil membelai pipiku.
Aku terpana mendengarnya. Rasanya masih belum percaya, bahkan aku takut ini mimpi.
"Ayo, kita rayakan lagi!" ajaknya.
Kami menyantap makan malam, atau mungkin lebih tepat disebut makan tengah malam.
"Tuhan mendukungku," paparnya di sela waktu makan.
"Apanya?"
"Lihat cuacanya, dari kemarin cerah. Terus kapalnya juga. Untung aku ketemu Viko bulan lalu, jadi bisa pinjem kapalnya." Andra terkekeh. "And than ...."
"What?" tanyaku penasaran.
"Kamu tidurnya kebluk banget, Sayang. Aku sempet worry, takut kamu bangun sebelum waktunya." Dia tertawa.
"Ihh, kamu gitu!" Aku pukul lengannya. Malu dan ... bahagia. Ada yang berdesir setiap dia memanggilku sayang.
"A ...." Andra menjulurkan sendok.
"Sampai kapan kita berlayar?" tanyaku, lalu membuka mulut menerima suapannya.
"Besok sore, ya. Enggak apa-apa, 'kan?"
"Hmm, enggak apa-apa. Segini juga aku udah seneng banget. Kalau gitu aku mesti lakuin lagi 1 hal yang masih tertunda."
"Apa, Sayang?"
"Entar aja. Kita makan dulu," sahutku malu.
Selesai makan Andra menyalakan lilin di atas kue berhias angka 21. Lalu menyanyikan lagu happy birthday. Kutiup apinya dengan penuh kebahagiaan.
"Selamat ulang tahun," ucapnya lalu mencium keningku.
"Makasih, Andra." Aku meraih tangannya, menggenggamnya kuat. "Hari ini kamu beri aku banyak kebahagiaan."
"Dan kamu udah memberi banyak kebahagiaan di hidupku," timpalnya, mencium tanganku.
Kami bertatapan dengan senyum penuh bahagia.
"Jadi hal apa yang mau kamu lakuin?" tanya Andra akhirnya.
"Baiklah. Aku jawab sekarang," ujarku sambil keluar dari kursi. "Sini!" Lalu kuseret lengannya menuju bagian depan kapal. "Pernah lihat adegan di film Titanic, 'kan, Rose sama Jack?" tanyaku.
"Oh, itu! OK, aku ngerti." Andra tersenyum.
Lalu kami melangkah bersama, berdiri di ujung kapal. Andra memelukku, mencium pipiku. Lalu menggenggam kuat tangan ini dan mengangkatnya ke samping. Benar-benar seperti Rose dan Jack. Aku merasa terbang.
"Siska ...," panggil Andra.
"Hmm?" sahutku dengan mata terpejam.
"I love you," bisiknya.
Aku membuka mata. Terkejut dengan ucapannya itu. Lalu menoleh ke samping. Kepalanya bertumpu di atas pundakku. "Seriusly?" tanyaku tak percaya.
"Hmm. I say ... I ... love ... you."
Lalu, bibir itu menciumku penuh kelembutan dan kehangatan.
*****