Siska :
Aku bahagia. Terlalu bahagia ....
Andra mengajakku ke padang rumput, kami berlari bersama. Tertawa bahagia. Tapi tiba-tiba ada lingkaran hitam di depan kami, dan lingkaran itu menarik tubuh Andra.
"Andra ...." Aku terbangun dari tidur. Peluh membasahi seluruh tubuh. Kulihat ke samping, Andra masih ada di sini. Bersamaku. Ahh, hanya mimpi. Tangannya tetap melingkar di tubuhku, matanya masih terpejam, tertidur pulas. Kupandangi wajahnya, lalu menggunakan telunjuk memainkan hidungnya.
"Morning kiss?" tanyanya pelan.
Aku pikir dia tidak menyadarinya. Kukecup lembut bibir Andra.
"Manis banget bibir kamu," godanya sambil meremas dadaku.
"Ihh, genit!" Kucubit perutnya yang rata itu.
"Jangan sentuh bagian bawah. Kamu mau aku terkam lagi?" Matanya terbuka dengan tatapan sayu.
Aku hanya mengerucutkan bibir. "Andra ...," panggilku sedikit manja.
"Apa, Sayang?"
"Semalem ...."
"Semalem kenapa?"
"Kamu ...."
Andra mengangkat alis.
"Semalem kamu romantis," ucapku pelan.
"Demi kamu." Lalu dia mengusap pipiku.
Suara gemuruh terdengar di atas kapal. Sepertinya orang suruhan Andra datang mengantarkan sarapan. Sontak Andra bangkit dan melompat dari atas kasur.
"Andra, kamu masih telanjang!" Aku berteriak.
"Astaga!" Andra yang sudah hampir membuka pintu kamar kembali berbalik menyambar celana dan piyamanya. "Makasih udah ngingetin, Sayang! Kalau enggak, hancur sudah reputasiku." Andra membuat lingkaran di wajahnya, lalu berlari keluar.
Dasar!
***
Hari terakhir liburan di kapal pesiar, berat rasanya. Andra sudah memutar kemudi kapal, kembali menuju dermaga. Aku menemaninya di ruang kemudi.
"Andra, kapan kita berlayar lagi?" Aku bergelayut manja di belakang punggungnya.
Andra menarik tubuhku, membawaku ke depan dan berganti memeluk dari belakang. "Aku janji, suatu hari nanti aku pasti ajak kamu berlayar lagi. Berlayar di kapal pesiar yang besar dan mewah, keliling Benua Eropa, atau mau Benua Asia aja?"
"Enggak perlu kapal pesiar gede, Sayang. Kapal pesiar kayak gini aja," sahutku dengan nada manja lagi.
"Kalau gitu aku mesti kerja ekstra keras, dong. Biar bisa beli kapal sendiri. Malu, 'kan? Masa seorang Reyandra Pratama Wirata pinjem mulu kapal pesiar buat liburan." Andra mendengkus.
Aku tertawa mendengar ocehannya.
"Coba sekali lagi yang tadi?" Andra berbisik di telingaku.
"Yang mana?" Aku menoleh ke arahnya.
"Tadi perasaan manggil ... sayang?" godanya.
"Oya, udah lupa tuh!" Aku tertawa lagi.
*****
Andra :
Rasanya memang berat pulang kembali ke Jakarta. Apalagi melihat wajah Siska yang terlihat sedih, pasti dia juga enggan pulang. Tapi mau bagaimana lagi? Aku hanya di beri waktu tiga hari. Ah, sebenarnya tidak. Viko tidak memberi batas waktu, hanya aku saja yang tidak enak. Walau dulu dia kakak kelasku sewaktu kuliah di Jerman, tapi apa mungkin seorang Wirata harus terus meminjam kapal pesiar pribadi orang lain untuk liburan? Yang benar saja.
Mungkin aku harus menepati janjiku pada Siska untuk membeli kapal pesiar sendiri.
Dermaga sudah mulai terlihat, aku tinggalkan ruang kemudi. Melihat ke bawah apakah Siska sudah selesai beres-beres. Ya ampun, ternyata malah tidur. Pasti kecapean. Semua ruangan sudah bersih dan rapi seperti semula, dan barang bawaan kami sudah selesai dipacking. Kudekati dia, membenahi posisi tidurnya. Walau pun sebentar lagi berlabuh tapi tak tega melihatnya tidur dengan posisi meringkuk.
Sesampainya di dermaga, aku keluar dari kapal. Sudah ada Viko menunggu.
"Hai! Gimana pelayarannya. Lancar, Rey?" Viko menjabat tanganku.
"Lancar, Mas. Terima kasih banyak, ya!"
"Santai aja. Kalau perlu lagi tinggal ngomong, langsung pakai juga enggak apa."
"Malu aku kalau keseringan, Mas!"
"Malu, kayak sama siapa aja. Aku udah anggap kamu adik. Dulu waktu di Jerman 'kan aku juga suka nyusahin kamu, numpang kos." Viko tergelak.
Aku membalas tawanya. "Aku pamit ambil barang dulu, Mas."
"Aku panggilin Haris buat bantu. Oya, mana kekasih kamu itu?"
"Ketiduran, kayaknya kecapean."
"Ya udah, bawa aja dia. Biar barang-barang kamu Haris yang anter ke mobil," tawar Viko.
"OK, kalau gitu. Sekali lagi makasih banyak, Mas." Kusempatkan memeluknya.
"OK, sama-sama." Viko pun berlalu.
Aku masuk kembali ke dalam kapal. Siska masih terlelap tidur. "Putri tidurku." Kukecup keningnya, lalu menggendong tubuh mungilnya.
Perlahan kududukan Siska di jok mobil. Memasangkan sabuk pengaman untuknya.
"Ini barang kamu segini, Rey?" Terdengar suara di belakangku.
Aku yang sedang berjongkok langsung berdiri. "Ya ampun, Mas. Kok, jadi mas yang bawain?" tanyaku kaget sambil meraih tas di tangannya.
"Enggak apa-apa. Haris enggak ada kayaknya lagi keluar." Viko tersenyum padaku, lalu memandang Siska. "Pantes kamu sampai bikin kejutan luar biasa. Cantik," pujinya.
Aku hanya tersenyum.
***
"Kamu memang cantik. Sejak pertama kali melihatmu di hotel itu, sampai detik ini kamu selalu cantik." Aku memandang wajah Siska, di layar laptopku.
"Seandainya malam itu aku tidak menolongmu. Apa ini semua akan terjadi? Apa kita akan bertemu? Entahlah, mungkin sekarang kamu hidup dengan duniamu. Dan aku, hidup dengan kesendirianku."
Suara ketukan pintu terdengar, aku langsung menutup laptop. "Ya, masuk Rosi!" perintahku.
"Permisi, Pak Ada tamu yang mau bertemu." Rosi berdiri di ambang pintu.
"Siapa?" tanyaku.
"Katanya teman Pak Rey. Perempuan, Pak," infonya lagi.
"Ya sudah, suruh masuk," pungkasku.
"Baik." Rosi berlalu.
Tak lama kemudian pintu terbuka kembali. Aku palingkan wajah, menatapnya. "Hani?" sapaku tak percaya. "Ada urusan apa datang kemari?" tanyaku datar.
"Apa kabar, Rey?" Dia berjalan mendekat. "Kudengar pertunanganmu gagal lagi," sambungnya, lalu duduk di kursi. Wajahnya kini ada di hadapanku. Sungguh sangat menggangu.
"Bukan urusanmu," sahutku tak peduli.
"Tentu saja itu urusanku. Pertunangan kita juga gagal. Kupikir, kamu gagal lagi karena memang seharusnya aku yang menjadi tunanganmu, dulu, tiga tahun lalu." Matanya tak henti menatapku.
Emosi mulai tersulut. Kulirik jam tangan. "Kalau kamu enggak punya urusan penting, silakan keluar! Aku punya janji dengan klien," ujarku sambil menunjuk ke arah pintu.
"Hey! Ayolah, Rey. Beri aku sedikit waktu, selama ini kamu enggak pernah memberi aku kesempatan." Dia mencoba meraih tanganku, tapi aku menepisnya.
"Kesempatan? Memangnya kita punya kesepakatan apa?" Aku bertanya tanpa ekspresi.
"Bukankah tiga tahun lalu kamu setuju bertunangan denganku, Rey? Kamu tidak ingat itu?"
"Itu dulu. Bahkan aku sudah lupa," cetusku.
"Tapi aku akan selalu ingat itu, Rey." Nada bicara Hani mulai terdengar dibuat-buat.
"Aku tidak pernah punya perasaan apa-apa sama samu!" Kutatap wajahnya dengan sorot emosi. "Keluar!"
"Rey, kurang apa aku? Banyak laki-laki di luar sana yang mengejarku, tapi aku tolak mereka demi kamu. Bertahun-tahun aku menunggumu, sejak kita masih SMP. Lihat teman-teman kita, Rey. Mereka sudah menikah dan punya anak. Apa kamu enggak mau kayak mereka, hah?" Hani berdiri dan membungkukkan tubuh, wajah kami hanya berjarak beberapa centi.
Tak kuasa lagi menahan amarah. Aku berdiri, menggebrak meja. "Tentu saja aku mau, tapi bukan denganmu! Pergi sekarang juga, kamu sudah membuat aku kesal!"
"OK, aku keluar. Tapi bukan berarti aku tidak akan kembali lagi menemuimu. Aku akan terus mencoba, Rey. Ingat itu." Hani tersenyum, tangannya bergerak hendak menyentuh wajah. Kutepis segera.
Dia malah tersenyum lagi. Lalu pergi meninggalkan kekesalan untukku.
*****
Author :
Hani keluar dari ruangan Andra dengan wajah kesal. "Kenapa selalu seperti itu? Aku menunggunya sejak masih usia belasan tahun, dan sekarang saat umurku sudah hampir menginjak kepala tiga, aku masih menunggunya," batinnya.
Hani Oktavia Subrata, seorang wanita sosialita moderen. Cantik, anggun, berpendidikan dan berasal dari keluarga terpandang, Tanu Subrata.
Sebenarnya ayah Hani dan ayah Andra tidak mempunyai ikatan bisnis, tapi ibu mereka sama-sama mempunyai butik mewah yang kerap kali membuat dua nyonya itu harus bertemu. Lama-kelamaan menjalin kerja sama. Mami Dela melihat Hani yang sangat fashionable, moderen, wanita masa kini dan tentunya berasal dari keluarga sepadan.
Empat tahun lalu, saat Mami Dela datang ke butik Mama Hasna, ibu Hani. Mami Dela menyatakan kekagumannya pada Hani, dan berpendapat bahwa dia cocok bersanding dengan Andra. Tentu saja gayung bersambut.
Hani yang baru tahu kalau Andra adalah anak tunggal dari Mami Dela terang-terangan menyatakan perasaannya, jika Hani sudah menyukai Andra sejak duduk di bangku SMP. Sayang, saat menginjak SMA Andra lebih memilih masuk ke Sekolah Negeri, dan Hani tentu saja bersekolah di sekolah elit. Jatuh harga dirinya jika dia bersekolah di tempat kalangan biasa.
Hani pernah mendatangi Andra saat masih kuliah di Jakarta, dia mati-matian berusaha menarik perhatiannya. Tapi Andra tak pernah menanggapi, hingga akhirnya Andra melanjutkan kuliah ke Jerman. Hani kembali dibuat menunggu. Akhirnya Hani pun memilih mendalami ilmu fashionnya di London.
Sepulangnya dari London, Mama Hasna mempercayakan butiknya untuk dikelola Hani, ditambah perawakannya yang bisa dibilang sempurna membuat Hani merangkap menjadi model. Sejak itulah Mami Dela selalu minta bantuan Hani untuk menjadi model di butiknya juga.
Tuhan mendukungnya. Saat melihat Mami Dela datang diantar oleh Andra, benih-benih cinta yang dulu sempat pudar tumbuh kembali. Mami Dela yang melihat perhatiannya pada Andra akhirnya berinisiatif untuk menjodohkan Andra dengan Hani.
Andra menolak keras, dan Hani bersikukuh menerima, bahkan terkesan memaksa. Setiap hari Hani datang ke kantor Andra, tapi ajakan makan siangnya selalu ditolak.
Suatu hari Hani datang dengan wajah sedih, Andra merasa iba. Andra pun mau mendengar curahan hati Hani. Dia bercerita kalau teman-temannya sudah mengejeknya, karena dianggap tidak laku-laku. Sebagai teman Andra pun mau menerima tawaran makan siang kali ini, mereka pergi ke sebuah restoran.
Awalnya berjalan baik, tapi lama-lama Andra bosan dengan topik pembicaraan Hani. Masalah baju, sepatu, fashion masa kini, tas branded, kehidupannya di London dan banyak hal yang membuat Andra kehilangan rasa ibanya. Andra pun pergi meninggalkan Hani sendirian. Jelas Hani marah, dia merasa terhina. Akhirnya dia memaksa Mama Hasna mempercepat perjodohan.
Sebuah makan malam pun diadakan dua keluarga. Hani tahu kelemahan Andra, dia paling tidak bisa melihat perempuan menangis. Hani menggunakan trik itu. Sebelum acara makan malam dimulai, Hani menangis tersedu-sedu, dia mengaku kembali diejek teman-temannya.
"Rey, cuma kamu yang bisa nolong aku. Kalau kita bertunangan, maka tidak akan ada lagi Hani si perawan tua." Hani meratap iba.
Akhirnya Andra merasa kasihan pada Hani. Saat makan malam terjadi, dan Papa Tanu menanyakan kesediaan untuk bertunangan, Andra menjawab setuju. Andra yang awalnya hanya merasa iba, akhirnya harus mau terikat tali pertunangan itu.
Selanjutnya, apa yang terjadi? Setiap hari Hani datang ke kantor, meneleponnya setiap jam, mengajak jalan-jalan di akhir pekan. Setiap Andra menolak, maka semakin keras Hani berusaha.
"Gimana ini, Dicky? Aku bodoh karena mau saja menerima pertunangan ini," keluh Andra pada sahabatnya.
"Kapan acara pertunangannya?" tanya Dicky.
"Bulan depan, di hari ulang tahunnya. Tanggal lahir kami hanya selisih seminggu," jawab Andra.
"Bisa diatur, tenang saja." Dicky menjawab santai.
"Kenapa enggak mau sama Hani? Dia 'kan cantik, model, perfect." Dicky menggerakkan tangan menggambarkan tubuh.
"Enggak tau, enggak nyaman aja. Aku mau punya perempuan yang bisa bikin aku nyaman, betah lama-lama sama dia, dan bisa bikin hatiku bahagia." Andra menerawangkan pandangan.
"Yaelah, Tuan Andra melankolis banget." Dicky menepuk bahu Andra.
"Kamu sendiri, kenapa bisa sama Wulan, hah?" Andra mendikte Dicky.
"Ya itu, sama kayak kamu. Nyaman ...." Dicky memelukkan tangannya.
Dan mereka membuktikannya. Andra meminta izin merayakan ulang tahunnya di sebuah villa daerah Puncak. Hani datang ke rumah Andra, dia memaksa untuk ikut. Andra jelas menolaknya.
"Kenapa, kita 'kan mau tunangan? Kamu enggak mau ajak aku, aku calon tunangan kamu?" Hani merengek.
Andra tak tahan, baru juga jadi calon sudah seperti ini, batinnya. "Justru itu, minggu depan 'kan hari ulang tahun kamu, pertunangan kita. Jadi siapa yang mau nyiapin itu semua?" Andra menjelaskan.
"Kamu bener, aku mesti bikin acara pertunangan kita se-perfect mungkin, Andra." Hani meraih tangan Andra.
Andra menolaknya halus, dan buru-buru menghindar. "Aku pergi dulu, udah telat." Andra pergi sesegera mungkin.
Hasilnya, hampir seminggu Andra di villa. Andra tidak pulang, dan tidak memberi kabar. Ponselnya tidak aktif, Rosi sekretarisnya pun tidak tahu. Andra hanya menyuruhnya meng-cancel semua rapat dan mengubah jadwalnya. Semua orang dibuat panik, dan khawatir.
Di hari H-1 anak buah suruhan Papi Rahadian berhasil menemukan villa tempat Andra menginap. Dicky langsung membawa Andra ke rumah sakit sekitar, beruntung dia punya teman seorang dokter. Dan dokter itu bersedia membantu. Hampir seluruh tubuh Andra dicat, wajah dan tangannya penuh bintik merah.
Tepat siang hari Mami Dela menemukan nama Andra sebagai pasien di rumah sakit itu, Papi Rahadian dan Mami Dela langsung datang ke Bogor. Dan apa yang terjadi? Mami Dela menjerit histeris, dia pingsan.
Akhirnya Mami Dela memutuskan mengundur pertunangan beberapa jam sebelum dilangsungkan. Hanya mengundurkan. Namun, ternyata Mama Hasna terlalu emosi. Tidak terima perlakuan keluarga Wirata terutama Mami Dela. Akhirnya Mama Hasna memilih membatalkan pertunangan. Hani menangis, menjerit. Gaun mahalnya, make up cantiknya, cincin pertunangan mahal dan mewah, sia-sia semua.
Dan Andra, begitu bahagia. Dia tertawa terpingkal-pingkal, saat membaca sebuah berita di koran tentang pembatalan pertunangan putra putri dari keluarga Wirata dan Subrata.
"Kamu emang pinter, Dicky," puji Andra.
"Itu ide kita, 'kan?" Dicky tertawa.
"Ya, tentu saja harus seperti itu. Kamu tau 'kan Ibu Dela Agusti Wirata seperti apa? Semua harus terlihat sempurna. Dia pasti enggak mau, kalau di hari pertunangan, semua orang melihat anaknya sebagai monster cacar." Andra tertawa sampai memukul-mukul meja.
"Waw, ada apa ini? Kayaknya ada yang bahagia banget." Wulan datang membawa dua gelas jus.
"Ini nih, Tuan Andra enggak jadi tunangan, Sayang. Mending milih jadi jomblo lagi katanya," ejek Dicky.
"Mending jadi jomblo dari pada ngeladeni ocehannya itu! Hiyy ...." Andra bergidik.
"Suatu hari nanti pasti kamu temuin gadis harapan kamu. Yakinlah." Wulan berusaha menghibur.
Dan ternyata benar, beberapa bulan kemudian Andra bertemu Siska. Lalu sekarang Hani datang kembali, menuntut janji Andra yang dulu. Andra benar-benar tidak menyangka, kalau Hani masih mengharapkan dirinya. Hani beranggapan, kalau pertunangan Andra dengan Karla dan Yolanda gagal itu karena memang seharusnya dirinyalah pasangan Andra.
***
Hani datang kembali, dia akan mengajak Andra makan siang. "Aku akan terus berusaha, semakin kau menolak maka aku akan semakin keras berusaha," batin Hani.
Saat melewati meja resepsionist, Hani mendengar seseorang bertanya pada penjaga.
"Mbak, ruangan Pak Andra di mana, ya?"
"Pak Andra yang mana, ya? Anda tahu nama lengkapnya?" Resepsionist bertanya ramah.
"Oh, iya aku lupa. Namanya Pak Reyandra," jawabnya kembali.
"Oh, Pak Rey. Sebentar saya tanya dulu sekretarisnya. Silakan tunggu."
Hani yang tak sengaja mendengar, menjadi penasaran. "Siapa gadis ini? Kenapa dia memanggil Rey dengan nama Andra? Setahuku yang memanggil Andra hanya orang-orang tertentu. Mereka orang terdekat Andra," bisik Hani dalam hati. Akhirnya dia memutuskan untuk mencari tahu.
"Maaf, dengan Mbak siapa?" Resepsionist yang sedang menelepon kembali bertanya pada gadis itu.
"Siska," jawabnya singkat.
Resepsionist kembali berbicara lewat telepon. "Maaf, Mbak Siska, tunggu sebentar. Saya panggilkan dulu OB untuk mengantar Anda ke ruangan Pak Rey," pintanya kemudian setelah menutup sambungan.
Gadis itu mengangguk. Resepsionist memanggil seorang OB yang lewat. "Anterin Mbak ini ke ruangan Pak Rey," ucapnya seperti memberi sebuah kode.
OB hanya menggangguk. "Mari, Mbak, saya antar," ujarnya mempersilakan Siska dengan sangat hormat.
"Siska, siapa kamu? Sampai mendapat perlakuan istimewa seperti itu." Hani mulai bertanya-tanya.
*****