16. Terbongkar

1985 Words
Author : Pagi sekali Nyonya Dela sudah bersiap pergi, bahkan melewatkan sarapannya. "Mami, mau ke mana? Ini masih pagi," tegur Tuan Rahadian melihat istrinya berjalan ke ruang depan bukan ke ruang makan. "Kantor Andra," jawab Nyonya Dela tak acuh. "Mi, jangan terlalu mengatur dia, hargai privacy-nya. Andra udah dewasa, umurnya hampir 30 tahun." "Justru itu. Memangnya Papi mau, orang-orang di luar sana berpikiran negatif tentang keluarga kita? Andra hampir kepala 3, jangankan istri, pacar aja dia enggak punya. Siapa nanti yang mau jadi penerus Wirata? Papi mau perusahaan kita hancur?" "Itulah kesalahan Mami, terlalu mendengar pendapat orang. Mami terlalu menggantungkan hidup dari omongan orang lain!" Tuan Rahadian membentak Nyonya Dela. "Papi yang bikin Andra jadi anak pembangkang! Ini kesalahan Papi!" Nyonya Dela membalas teriakan suaminya. Tak ada sahutan lagi, yang terdengar hanya deru mesin mobil pergi meninggalkan halaman rumah. *** Andra membereskan beberapa berkas di atas ranjang. Tubuhnya masih basah, handuk pun masih melilit di pinggangnya. Siska bergelayut manja di pundak Andra, memainkan rambutnya yang masih acak-acakan. Andra terlalu fokus, sampai tak mengindahkan perempuan di sampingnya. "Bikinin kopi ya, Sayang. Pakai tiramisu," pinta Andra, lalu mengecup pipi Siska. "Aku udah bikin sarapan roti isi, mau sekalian dibawa?" Siska masih memainkan jemari di rambut Andra. "Boleh."Andra menjawab singkat. "Mmm." Siska akhirnya beranjak dari ranjang, pergi ke dapur. Selang beberapa detik datang kembali membawa gelas berisi kopi dan piring dengan beberapa potongan roti isi. Setelah menyimpan di atas nakas, Siska berjalan menuju lemari. Inilah kegiatannya akhir-akhir ini. Terkadang Siska merasa sudah menjadi seorang istri ; di pagi hari dia membuatkan sarapan, menyiapkan pakaian kantor, menunggu Andra pulang kerja, lalu makan malam bersama, dan tentu saja menemani tidurnya. Apalagi sudah sebulan penuh Andra tinggal bersamanya. Dan Andra, tentu saja sama. Merasa sudah menjadi seorang suami ; menafkahi Siska lahir batin, bahkan menanggung biaya kuliah dan orang tua di kampung. Tak tanggung-tanggung, setiap bulan Andra memberi jatah 10 juta untuk orang tua Siska. Dan yang dia dengar, sekarang ayah ibu Siska sudah mempunyai beberapa hektar sawah yang dikelola sendiri, tapi karena kewalahan akhirnya mereka memperkerjakan beberapa tetangga. Adik-adiknya bisa bersekolah dengan layak, bahkan Doni sudah punya motor sendiri untuk mempermudah kegiatannya. Andra yang awalnya merasa iba dan berniat menolong, akhirnya meminta kesediaan Siska untuk menjadi teman yang bisa sedia setiap saat. Karena Dicky sudah punya kehidupan sendiri, tidak bisa seperti dulu lagi yang bebas datang saat Andra butuh. Dan ternyata, Andra larut dalam kehadiran Siska. Kini dia yang menjadi teman Siska, teman hidup dan teman tidur. Sejak mengenal Siska Andra sebenarnya sudah jatuh hati, tapi rasa itu terhalang oleh status Siska yang pernah hampir menjadi wanita penghibur. Hingga dia sendiri yang berhasil menjadikan Siska penghibur pribadinya. Andra jatuh, dan tak bisa bangkit lagi. Walau terdengar seperti sebuah lirik lagu, tapi memang itulah kenyataannya. Andra jatuh kepelukan Siska dan tak bisa melepasnya. Kini, semua yang dia lakukan hanya untuk Siska. "Apakah ini cinta? Tidak. Ini perasaan yang melebihi cinta. Aku ingin dia menjadi milikku, hanya milikku." Itulah yang selalu Andra tekankan dalam hatinya. Lalu Siska? Siska sendiri sudah jatuh hati saat pertama kali Andra menolongnya. Hingga membuatnya meminta tolong lagi untuk kedua kali. Dan di pertemuan ketiga saat Andra membawanya ke Bali, Siska sudah benar-benar tak bisa menghindar dari perasaannya. Di mana ada pria seperti Andra, yang mau menolong perempuan yang tidak dikenalnya? Lalu menebusnya dari jeratan g***o. Dan akhirnya, memberi komitmen di luar akal sehat. Hanya dengan menemaninya mengobrol, membuatkan kopi dan menemani jalan-jalan di saat Andra mau, maka Siska diberi uang jajan setiap bulannya. Selain itu juga diberi kebebasan menikmati kemewahan hidup di apartemen, biaya kuliah, tabungan yang setiap bulan mengalir, kiriman untuk orang tua dan kartu kredit untuk shopping. Ya, kadang Siska terkesan w************n, tapi sesungguhnya tidak. Bahkan dia tidak pernah mengambil uang tabungannya. Dari hasil mengumpulkan uang jajan pun sudah cukup baginya. Sampai bisa dia gunakan untuk menolong Luna. Walaupun Andra menggelimanginya dengan harta, tak semena-mena dia bisa mudah berfoya-foya. Siska tak ingin Andra beranggapan kalau dia memanfaatkannya. Siska memang berubah, hanya dari penampilan. Yang lainnya, Siska masihlah gadis desa pemalu yang selalu hidup sederhana. Baginya memiliki Andra pun sudah lebih dari cukup. "Mungkinkah ini cinta? Yang pasti, aku ingin selalu berada di samping Andra. Dan hidup bersama Andra, selamanya." Itulah bisikan hati Siska. Setelah melahap habis sarapannya, Andra mengenakan pakaian. Tentu saja Siska membantunya, juga memakaikan dasi dan jas. "Kuliah jam berapa?" Andra menatap Siska yang sedang menyimpulkan dasi di lehernya. "Jam 2 siang." Siska merapikan jas dan dasi Andra. "Oya, Dinda sakit. Tadi pagi Dicky kirim pesan enggak bisa jemput. Boleh aku naik taksi?" "Tunggu intruksi dari aku." Andra mengecup bibir Siska.."Aku berangkat kerja dulu ya, Sayang. Doain prospek hari ini sukses, biar bisa beliin kapal pesiar buat kamu," sambungnya sambil membelai pipi Siska. Siska tersenyum dan mengangguk, lalu memberi kecupan lembut di bibir Andra. ***** "Bu Dela? Selamat pagi, Bu." Rosi yang sedang membereskan meja Andra tercengang. "Mana Rey?" Nyonya Dela mencari sosok Andra di ruangannya. "Belum datang, sepertinya sebentar lagi." Rosi menjawab dengan penuh hormat. "Rosi, apa kamu melihat sesuatu yang berbeda pada Rey?" Nyonya Dela menatap Rosi. "Tidak, Bu. Pak Rey masih seperti biasa." Rosi seperti sedang mengingat-ingat. "Tapi, saat kemarin Pak Rey kedatangan seorang gadis, beliau memang tampak berbeda, eh ...." Lalu menutup bibirnya. "Gadis? Siapa?" Nyonya Dela terlihat penasaran. "Benar itu?" Sorot matanya semakin tajam. "Iya, Bu. Masih muda, sepertinya umur dua puluhan. Saya kurang tau pasti siapa dia, tapi Pak Rey terlihat begitu memerhatikannya. Bahkan Pak Rey menyuruh seorang OB untuk mengawalnya secara istimewa dari lobby sampai ke sini. Dan ...." Rosi terlihat agak ragu. "Kenapa?" desak Nyonya Dela semakin menekan. "Mereka ... mesra sekali, Bu." Rosi menjawab takut. "Siapa nama gadis itu? Seperti apa dia?" Nyonya Dela mulai emosi, seperti seorang polisi sedang mewawancarai tersangka. "Na-namanya ... Sis-Siska. Di-dia ... dari tampilannya mungkin masih kuliah." Rosi semakin takut melihat wajah Nyonya Dela yang sedang marah. "Lebih menyeramkan dari bos," batinnya. "Apa? Mahasiswi?" Nyonya Dela sudah tidak tahan mendengar lebih jauh. "Jangan katakan sama Rey kalau saya menanyakan perihal ini." Lalu pergi dari hadapan Rosi. "Gila! 3 tingkat lebih serem dari si bos." Rosi mengusap d**a selepas kepergian Nyonya Dela. **** Andra : Mendengar Dinda sakit, hari ini sehabis rapat aku putuskan mengunjungi Dicky. Kebetulan rapat diadakan di restoran yang tak jauh dari rumahnya. "Aku denger Dinda sakit. Gimana keadaanya sekarang?" tanyaku cemas. "Udah agak baikan, kok. Udah biasa juga, abis imunisasi," jawab Wulan sambil menimang-nimang Dinda. "Semaleman aku enggak tidur, makanya pagi hari aku w******p Siska enggak bisa jemput," papar Dicky sebelum meminum kopi di tangannya. "Santai aja, Siska masuk kuliah jam 2. Biar aku yang anterin." Aku menepuk pundak Dicky. Dicky tersenyum. "Udah tidur, Bu?" Dia memalingkan wajah pada istrinya. "Udah, Yah," jawab Wulan lesu. "Istirahat dulu, Lan, entar malah kamu yang sakit. Nih, aku udah bawain makan siang." Aku menyimpan bungkusan plastik di meja. "Deren sama Darka ke rumah Ibu?" lanjutku. "Iya, tadi dijemput sama Dika," jawab Dicky. Wulan berpamitan ke kamar. Aku dan Dicky masih duduk menikmati kopi bersama. "Kalau kamu sibuk, aku bisa jemput Siska," tawar Dicky. "Enggak usah, hari ini enggak ada rapat penting lagi, biar aku yang jemput." Aku meyakinkan. "Kalau gitu kenapa enggak sekalian diajak ke sini?" "Hah, enggaklah, entaran aja. Penyakitnya makin parah kayaknya, deh." Aku sedikit tertawa. "Penyakit manjanya itu?" Dicky tergelak. "Enggak tau kenapa, akhir-akhir ini manjanya kadang bikin aku repot. Semalam sampai pingin dibikinin coklat hangat, padahal aku udah mau tidur," gerutuku. "Istriku biasanya kalau manjanya udah kelewat gitu, dia lagi berada di dua fase. Datang bulan, sama hamil." "Oya?" Aku terperangah. "d**k, sejak pertunangan itu, aku tidur di apartemen," ucapku tanpa melihat wajahnya. "Enggak aneh kali, emang kebiasaan kamu, 'kan?" ejek Dicky. "Siska kayaknya belum dapet, maksudku ... datang bulan." Aku menatapnya ragu. "Masa? Bener, nih?" Dicky pun terlihat kaget. "Jangan-jangan ... Siska hamil?" Aku melebarkan mata. "Udah nanya Siska?" Dicky tak kalah melotot. "Malu," sahutku agak berat. "Telanjang depan dia enggak malu, nanya gitu doang malu," ledek Dicky. "Enggak enak, aku takut dia salah sangka. Ya, kamu tau 'kan keadaan aku. Bukannya enggak siap punya anak, tapi Mami sama Papi, aku enggak yakin mereka bisa terima Siska." "Aku ngerti. Mendingan kamu pastiin dulu deh, jangan dulu berasumsi." Dicky menepuk pundakku. Aku mengangguk. Lalu melirik jam tangan, pukul 11.45. "Aku ke apartemen dulu, Siska ngajak makan siang.  Kalau enggak diturutin mukanya pasti cemberut seharian." Aku bangkit dari duduk. "OK, silakan." Dicky ikut berdiri. "Tanda-tanda hamil apa?" tanyaku sambil berjalan keluar teras. "Mmm, ya itu. Manja, ngambek enggak jelas, makan jadi rakus atau kadang enggak doyan makan sama sekali. Yang paling dominan dilihat, pusing sama mual-mual." Dicky menerangkan panjang lebar. "Mual-mual sama pusing." Aku mengangguk-anggukan kepala, kemudian berpamitan. Masuk ke dalam mobil. Sepanjang jalan mataku fokus menatap jalanan, tapi pikiranku terus memikirkan Siska. "Hamil? Apa mungkin?" gumamku. Sesampainya di apartemen, Siska sudah siap berangkat. Menyambutku dengan wajah ceria. "Kok, lama?" tanyanya manja. "Nengok dulu Dinda. Kebetulan abis rapat deket-deket rumah Dicky." Kupeluk tubuhnya. "Udah siap?" "Udah, dong!" Siska menggandeng tanganku. "Yuk!" ajakku. ***** Author : Di sebuah mal, Nyonya Dela duduk berhadapan dengan Hani di coffee shop. Sejak tadi pagi hatinya gelisah karena mendengar keterangan dari Rosi. "Aku seneng Tante ngajak aku makan siang." Hani tersenyum lebar. "Jangan terlalu senang," sanggah Nyonya Dela. Membuat senyum di wajah Hani memudar. "Kalau bukan karena Andra, aku enggak mau berhubungan lagi sama kamu. Sebenarnya aku bisa cari informasi sendiri, tapi aku enggak mau melibatkan banyak orang. Biarlah aku manfaatkan kamu untuk mencari tau apa sebenarnya yang terjadi sama Andra," batin Nyonya Dela. "Apa yang kamu tau tentang Rey?" tanyanya kemudian. "Maaf, Tante. Informasiku enggak gratis." Hani kini tersenyum simpul. "Apa yang kamu mau, hah?" Nyonya Dela mendelik. "Aku udah bilang, 'kan, kemarin. Aku minta ... ke-se-pa-ka-tan," sahut Hani mantap. "Tante Dela, apa kabar? Lagi makan siang, nih!" Tahu-tahu ada seseorang menghampiri. "Viko? Ya ampun, lama enggak ketemu. Tante baik, gimana kamu?" Nyonya Dela berdiri menyambut uluran tangan Viko. "Aku baik, Tante." Viko tersenyum, lalu melirik Hani. Dan kembali menatap Nyonya Dela. "Model di butik," ucap Nyonya Dela seakan mengerti raut tanda tanya Viko. "Oh, aku kira calon menantu. Pantesan beda." Viko tertawa. "Maksud kamu?" Nyonya Dela menyipitkan mata. "Beberapa waktu lalu 'kan Rey pinjam kapal pesiar Viko, katanya mau ngasih kejutan sama kekasihnya. Kayaknya sih, Rey melamar dia." Viko meyakinkan. "Apa nama perempuan itu ... Siska?" Hani ikut bicara "Ah, ya. Namanya Siska." Viko menggangguk. Nyonya Dela terperangah. Hani tersenyum. "Maaf nih, Tan. Viko enggak bisa lama-lama, udah ditunggu temen." Viko berpamitan dan pergi. Nyonya Dela duduk kembali. "Jadi benar Hani sudah tau semuanya. Aku akan lebih cepat tau, jika dia mau memberi tahu," batinnya. "OK. Apa kesepakatannya?" Kini Nyonya Dela menatap tajam Hani. "Aku mau ... pertunanganku yang dulu gagal, bisa terlaksana kembali." Hani berkata tegas. "Mamamu?" Nyonya Dela bertanya tidak yakin. "Udahlah, Tante. Enggak usah dipikirin. Mama pasti bahagia lihat aku bahagia. Aku pikir Mama udah enggak terlalu ambil pusing sama kejadian dulu." Hani berusaha meyakinkan. "Bukannya dia dendam sama Tante?" "Mama cuma kecewa, dia udah terlalu bahagia karena pertunangan itu. Bahkan semua keluarga dari Surabaya dan Bali diminta hadir. Tapi ternyata, pertunangannya gagal." "OK, kalau gitu. Tante sepakat." Nyonya Dela mengulurkan tangan. Jelas Hani menyambutnya dengan perasaan semringah. *** "Ini apartemen perempuan itu?" Nyonya Dela menatap kaget. "Iya. Aku lihat mereka masuk ke dalam," sahut Hani. Setelah menunggu beberapa menit, terlihat mobil Andra masuk. Lalu berhenti di tempat parkiran. Andra turun dari mobil, membukakan pintu untuk Siska. Siska turun dengan wajah ceria. Kemudian Andra membuka pintu belakang, mengeluarkan beberapa tas belanja. Berlalu sambil menggandeng Siska, masuk ke dalam apartemen. "Siska, siapa kamu? Bisa-bisanya Andra sampai lupa pulang gara-gara kamu!" gumam Nyonya Dela kesal. Dan Hani, tentu saja lebih marah, ditambah cemburu yang menggebu. Nyonya Dela hendak turun dari mobil, tapi Hani mencegahnya. "Jangan buru-buru Tante, kita harus bermain cantik. Lagi pula pengawasan di sini ketat, enggak sembarang orang baru bisa masuk. Kita belum tau apartemennya di lantai berapa." Nyonya Dela mendengkus kesal, menahan amarahnya. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD