Perkenalan pada Keluarga Shancez

1165 Words
Saat itu tanggal dua puluh dua Desember. Beberapa hari lagi menjelang natal. Persiapan natal dengan pohon cemara dan hiasan-hiasan khas sudah mulai dilakukan di banyak-banyak rumah. Suasana hangat, memberikan nuansa kekeluargaan yang akrab. Suara tawa terdengar di banyak tempat. Senyum-senyum terkembang dengan sempurna. Natal merupakan hari yang dinantikan. Di malam menuju tanggal dua puluh tiga, Celline pulang dengan menggenggam lengan gadis remaja berusia belasan tahun. Mata gadis itu tampak kelam, dipenuhi ketakutan dan rasa tak yakin. Seolah-olah setiap langkahnya merupakan bentuk kerapuhan diri. Gadis itu dibimbing ke ruang keluarga, di mana banyak anggota keluarga Shancez tengah sibuk dengan perayaan menjelang natal. Tawa mereka terdengar renyah, sesuatu yang jarang Lyana miliki di masa lalu. "Hai semua!" Celline memecahkan suasana. Serentak, empat orang di ruangan ini menoleh secara tiba-tiba. "Hai, Sayang!" Seorang lelaki berusia tak jauh dari Celline berjalan mendekat. Dia mengecup Celline penuh rasa sayang, matanya berpendar hangat. Sebuah cinta yang kuat tak ia sembunyikam dari air mukanya. Lelaki itu berperawakan kekar, memiliki tatapan mempesona, dan anggun luar biasa. Seperti predator yang hidup di alam liar. Lyana menatap lelaki tersebut dengan takut-takut. Dia tak terbiasa berinteraksi dengan kaum lelaki. Terutama yang memiliki aura kuat sepertinya. "Ini putri dari Erica?" tanya lelaki tersebut, penuh rasa ketertarikan. "Ya. Kendall, ini adalah Lyana Aquila, putri Erica yang kuceritakan. Lyana, ini adalah Kendall, suamiku. Kau bisa memanggilnya Dad mulai sekarang! Lihatlah kemari! Akan kuperkenalkan kau pada anak-anakku!" Celline membimbing ke ruang keluarga. Di mana di sana banyak pasang mata yang menatap mereka penuh rasa ingin tahu. "Hai gadis, aku Revel. Kau bisa memanggilku sebagai brother mulai sekarang!" Seorang pemuda berusia dua puluh dua tahun dengan sorot menyenangkan tertawa renyah dan menyambut kehadiran Lyana. Rambutnya sekelam malam dengan mata biru memesona. Sehari sebelumnya, mereka semua telah diberi tahu rencana Celline untuk mengadopsi Lyana. Tak ada sorot keterkejutan di antara mereka. Semuanya menerima keadaan itu dengan baik. Lyana tersenyum canggung dan meraih tangan Revel yang antusias. Pemuda di depannya ini menunjukkan sikap kekanak-kanakan, meskipun usianya sudah bisa dikatakan matang. Dia memiliki aura yang menyenangkan. Dalam waktu sejenak saja, Lyana merasa nyaman akan kenyataan ini. "Lyana. Terimakasih telah menyambutku, Revel!" kata Lyana malu-malu. Dia menunduk ke lantai, menyembunyikan wajahnya yang merona merah. "Aku Arabella, kau bisa memanggilku Bella. Hei, kupikir kita seumuran. Kita bisa menempuh pendidikan yang sama nantinya. Wow. Itu terdengar menyenangkan! Kita akan menjadi saudara. Begitu, kan, Mom?" Bella menatap Celline, meminta kepastian. Lyana menatap gadis di depannya dengan kagum. Bella adalah gadis cantik dengan rambut pirang keemasan dan mata keemasan yang tak jauh berbeda dengan Celline. Dengan kata lain, dia adalah duplikat Celline. "Tentu saja! Lyana akan menjadi saudara kalian semua mulai saat ini." Celline membenarkan, dalam hati bersyukur karena anak-anaknya menerima kehadiran Lyana dengan baik. "Terimakasih, Bella. Kupikir itu pasti akan sangat menyenangkan!" Senyum Lyana tampak tulus, bibir merahnya tertarik sempurna. kecantikan alami menguar dari gadis itu, menarik kekaguman dari banyak orang. Di usianya yang masih belia, Lyana telah dikarunia kecantikan yang sempurna. Garis-garis wajahnya bahkan lebih anggun dari pada Erica. Tak heran jika banyak pelanggan Erica sebelumnya selalu memiliki pikiran buruk terhadap putrinya. Semua itu membuat ruang gerak Lyana semakin terbatas. Suasana menjadi hening untuk beberapa saat. Celline menoleh ke arah lelaki muda berambut gelap dengan sinar mata keemasan yang tajam dan sinis. Lelaki muda ini sedikit berbeda dari dua orang lainnya. Jika Revel dan Bella menunjukkam keramahan, sebaliknya, lelaki tersebut seperti menciptakan penghalang kuat. "Steve, kau belum memperkenalkan dirimu!" Celline memperingatkan dengan lembut. Dia sedikit khawatir dengan penerimaan putranya yang satu ini. Steve adalah anaknya yang paling berbeda. Dia memiliki kewaspadaan tinggi pada segala sesuatu, insting yang lebih tajam, dan pastinya, kecurigaan pada banyak hal. Entah kenapa, dia anak yanh paling mirip dengan Kendall. Celline melirik ke arah suaminya, menggerakkan kepalanya pelan, seolah-olah berkata, "Lihatlah putramu yang satu itu!" Kendall hanya tersenyum pasrah dan mengangkat kedua bahunya tak berdaya. Mengatasi Steve selalu menjadi hal yang paling sulit untuk mereka. Dia anak yang paling dingin, arogan, dan tentunya, paling sulit dikendalikan. "Aku Steve!" kata Steve datar, sinar matanya penuh cemoohan. Dia melemparkan pandangan ke arah televisi, menenggelamkan diri pada acara yang mulai membosankan. "Oh baiklah. Karena kau sudah mengetahui semua anggota keluarga ini secara menyeluruh, bagaimana kalau kau istirahat sebentar di kamarmu dan menunggu makan malam. Sebentar lagi akan ada pelayan yang memanggilmu turun. Kau pasti lelah, bukan?" Celline berkata dengan nada keibuan. "Ya. Terimakasih, Celline!" Lyana mengangguk kecil. "Kau bisa memanggilku Mom mulai sekarang!" Celline memgingatkan. Nadanya tegas. Lyana sedikit canggung, sebelum akhirnya mengulangi kata-katanya. "Ya, Mom!" "Bagus!" Celline menatap sekeliling, pandangannya berhenti pada Steve yang bertingkah acuh tak acuh. Bibir Celline berkerut samar, sebelum akhirnya memutuskan sesuatu. "Steve! Bisakah kau mengantarkan Lyana ke kamarnya? Mom akan sangat berterimakasih jika kau bersedia!" pinta Celline, berharap dengan begini dia bisa membuat sikap Steve sedikit mencair. Anak itu bisa sangat keras kepala. Jika dibiarkan saja, Celline takut hubungan mereka berdua buruk di masa depan. Tanpa kata, Steve berdiri dan menerima koper besar yang ditempatkan tak jauh dari Lyana. Dia berjalan pelan, memimpin Lyana ke arah kamar. "Kau tak perlu membawakan koperku. Aku bisa melakukannya sendiri!" Lyana mencoba menahan Steve, tak ingin terlalu merepotkan. Steve melirik ke arah Lyana dengan tatapan tajam dan berbisik lirih. "Jangan banyak bicara!" Kata-kata itu tak terlalu keras sehingga tidak bisa ditangkap oleh orang lain, tetapi cukup jelas sehingga mampu didengar oleh Lyana. Gadis utu membeku, tak tahu harus bersikap bagaimana. Steve jelas menunjukkan ia tak terlalu menyambut kedatangan Lyana. Sepertinya, keberadaan Lyana di rumah ini adalah sebuah kesalahan. Dengan canggung, Lyana berjalan mengikuti Steve. Mereka naik ke atas tangga lantai dua, menyusuri lorong, dan berhenti di sebuah kamar dengan pintu kayu berwarna cokelat gelap. Sisinya dipenuhi ukiran rumit seperti sulur-sulur tumbuhan. Permukaannya lembut, menunjukkan benda itu dipelitur dengan sempurna. "Ini kamarmu!" Suara Steve terdengar sinis. Lagi-lagi, Lyana membeku, tak tahu harus menanggapi seperti apa. Lyana tak tahu kesalahan apa yang ia lakukan sehingga Steve sepertinya cukup membenci Lyana entah karena apa. "Terimakasih! Maaf, jika keberadaanku tak sesuai dengan harapanmu!" Lyana berkata tulus. Bukannya menjawab ramah, Steve justru terkekeh lebih sinis lagi. Dia menatap Lyana dari ujung rambut hingga ujung kaki, penuh penilaian. Matanya disipitkan, aura kebencian jelas terasa kental di udara. "Kau tak perlu bicara sok polos padaku, Lyana! Dengan tubuh sepertimu di usiamu yang masih muda, pasti kau gadis yang sangat berpengalaman dalam bermain ranjang. Terlebih lagi di bawah asuhan ibumu. Pasti kau sudah sangat canggih dan menjadi petualang sejati. Jadi, jangan sok polos dan lugu di hadapanku. Itu sangat memuakkan!" Tatapab Steve berhenti di d**a Lyana, sinar matanya menyorotkan niat lain yang tersembunyi. Keringat dingin mulai membajir di tengkuk Lyana. Dia berjalan mundur beberapa langkah, menekan semua ketakutan yang mulai hadir di hatinya. Kata-kata Steve sungguh keterlaluan. "Kau bisa membodohi keluargaku dengan sikap polosmu itu. Tetapi kau tak bisa membodohiku. Gadis yang menunjukkan keluguan di usia tujuh belas tahun hanyalah gadis munafik!" Steve berjalan meninggalkan Lyana seorang diri, membiarkan gadis tersebut dibebani banyak kepedihan mendalam. …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD