Ch 1
Unit Gawat Darurat – Rumah Sakit Universitas Saint-Luc, Brussels
Alarm monitor berdentang keras. Angka saturasi oksigen turun di layar, membelah ketegangan udara pagi yang masih basah oleh embun sisa hujan.
"Anak laki-laki, tujuh tahun, korban kecelakaan tunggal. Dibonceng kakaknya di skuter, mereka menabrak pembatas jalan. Pasien terpental dan membentur aspal, sepertinya trauma perut berat. Kakaknya luka ringan."
"Apakah dia sudah sempat muntah darah?" tanya Élodie.
"Ya, Dokter. Tekanan darah 70 per 40, denyut 158," lapor perawat senior sambil menggiring brankar ke ruang resusitasi. Sorot matanya tak bergeser dari tubuh kecil yang terbaring pucat di atas ranjang.
Dr. Élodie Van Der Linden menanggalkan jas putihnya. Tangan kurusnya sudah bersarung steril saat ia meraih stetoskop dan mendekati anak itu.
"Vena sudah terpasang?"
"Sudah, Dokter. Infus besar di dua titik. Cairan masuk maksimal."
Matanya menyapu tubuh anak itu, mengamati setiap tanda yang bisa memberi petunjuk. Abdomen distensi. Perut bagian atas tampak membengkak. Mungkin ada ruptur organ dalam. Bau darah memenuhi udara.
"Dr. Khalid, kau mendengarku?" tanyanya pada dokter junior yang berdiri gugup di sisi lain ranjang.
"Y-ya, Dokter."
"Hubungi konsulen bedah anak, sampaikan kalau pasien tidak stabil dan harus dibawa ke ruang operasi. Sekarang."
"Ta-tapi, prosedur--"
"Jika kita menunggu tanda tangan senior lima menit lagi, anak ini akan mati. Cepatlah bergerak!" Suara Élodie tidak meninggi, tetapi tajam seperti pisau bedah.
Ia sudah berada di ruang operasi darurat ratusan kali, tapi wajah anak kecil yang satu ini membuat detak jantungnya sedikit lebih cepat. Entah kenapa.
"Perawat, siapkan portable ultrasound. Saya ingin FAST scan sekarang."
Seorang perawat mendorong mesin ultrasonografi. Élodie menyapukan gel dingin ke perut bocah itu. Monitor memperlihatkan bayangan gelap. Cairan bebas. Kemungkinan besar darah.
"Ruang operasi sudah disiapkan," ujar perawat lain, setengah berlari masuk.
"Stabilkan jalan napasnya. Kita intubasi. Dr. Khalid, bantu saya."
Tangan Élodie bergerak cekatan. Dalam waktu dua menit, selang endotrakeal telah masuk ke tenggorokan pasien. Monitor menunjukkan oksigen mulai naik. Ia memberikan tekanan ringan pada bahu Khalid yang masih gemetar.
"Kau akan baik-baik saja. Fokuskan pikiranmu pada nyawa anak ini, bukan rasa takutmu."
Langkah-langkah cepat terdengar di lorong. Seorang pria berjas operasi biru tua masuk, wajahnya tertutup masker, tetapi Élodie mengenal sorot matanya. Dr. Claes, konsulen bedah anak.
"Apa statusnya?" tanya sang konsulen.
"FAST positif. Hemodinamik tidak stabil. Sudah intubasi, tekanan masih rendah meski cairan masuk. Saya rekomendasikan laparotomi eksplorasi segera." Élodie menjelaskan cukup baik dengan ketenangan yang sulit didapatkan oleh residen lain
Dr. Claes menatap layar monitor dan mengangguk. "Kau pegang skenario dengan sangat baik, Van Der Linden. Kita bawa dia naik sekarang."
Pasien itu didorong menuju lift. Élodie berjalan di samping ranjang, satu tangan menahan tabung oksigen, satu lagi memantau monitor portabel yang diikat di tiang infus.
Saat mereka memasuki ruang operasi, denyut jantung pasien turun. Angka di monitor mulai menari tak menentu. Suara bip panjang menyentak semua orang.
"Tekan dadanya!" perintah Élodie, sudah mengambil posisi resusitasi. Ia menekan d**a kecil itu dengan ritme terlatih.
"Satu ... dua ... tig ... empat...."
"Satu miligram adrenalin, IV!"
Keringat menetes dari pelipisnya, masker menempel basah di wajah. Di tengah ruang steril yang penuh kabel dan lampu sorot putih terang, hanya suara napas Élodie dan desah berat para perawat yang terdengar.
Lima belas detik. Dua puluh. Tiga puluh.
Monitor berbunyi lagi. Irama sinus.
"Jantungnya kembali," ucap salah satu perawat dengan suara tercekat.
Élodie tak menjawab. Ia hanya memejam sejenak, menarik napas dalam-dalam. Lalu menoleh pada Dr. Claes yang sudah berdiri di sisi meja operasi.
"Aku serahkan padamu, Dokter," kata Élodie tenang.
Claes menatap Élodie sejenak sebelum mengangguk. "Kerja bagus."
Langkah Élodie melemah saat ia meninggalkan ruang operasi. Hawa di lorong berubah, lebih sepi, lebih dingin. Bau antiseptik tak lagi menenangkan, hanya menyisakan rasa perih yang menggantung di pangkal hidungnya.
Ia menyandarkan bahu pada dinding ubin putih, melepas sarung tangan, lalu meremas pangkal hidungnya dengan jemari yang gemetar halus. Suara langkah pelan mendekat dari ujung koridor.
"Maxime," ucap Élodie lirih.
Kakaknya berdiri beberapa meter darinya, mengenakan setelan abu-abu gelap yang terlalu formal untuk rumah sakit, tapi terlalu kusut untuk pertemuan bisnis.
"Élodie," sapa Maxime datar. Wajahnya tegang, dagunya sedikit terangkat seperti biasa saat ia menyampaikan berita buruk.
Élodie tidak bergerak dari posisinya. "Apa ini tentang ayah?" tanya Élodie, langsung pada intinya.
Maxime mendekat, lalu berhenti tepat di depannya. "Stroke ringan. Kemungkinan besar dipicu stres."
Élodie menarik napas dalam. "Apa penyebabnya?"
"Kontrak itu." Maxime mengusap tengkuknya. "Aku dan ayah tidak menyadari ada klausul tersembunyi dalam kerja sama dengan Fraser Group. Kami kira itu hanya investasi sementara untuk menyelamatkan likuiditas. Ternyata, ada syarat akuisisi penuh jika nilai saham jatuh di bawah ambang tertentu. Dan hari ini saham kita jatuh."
Suasana lorong seketika terasa lebih sempit. Élodie memutar tubuhnya, menatap wajah kakaknya lekat-lekat. "Kau menyerahkan perusahaan keluarga pada Philippe Fraser?"
Maxime menghindari tatapannya. "Kami tidak punya pilihan. Ia sudah menyiapkan semua. Tim hukum kita terlambat membaca. Persetujuan dewan tinggal formalitas."
"Lalu bagaimana yayasan?"
Maxime terdiam sejenak.
"Max," desak Élodie, suaranya mulai bergetar.
"Termasuk. Yayasan berada di bawah payung hukum perusahaan induk. Jika pengambilalihan terjadi, semua properti termasuk rekening akan dibekukan sementara."
Sejenak Élodie tak bisa bicara. Matanya menatap kosong ke ujung lorong. Ia bukan pengelola, bukan pewaris resmi, tetapi yayasan itu satu-satunya hal yang membuatnya tetap bertahan di dunia yang penuh intrik dan ambisi. Yayasan itu adalah warisan ibunya. Tempat ia berpegang.
"Apa tidak ada jalan untuk menyelamatkannya?" tanyanya dengan suara rendah.
Maxime menggeleng pelan. "Satu-satunya orang yang bisa mencegah pengambilalihan total itu adalah Philippe Fraser sendiri."
Élodie mengepalkan jemarinya. Philippe Fraser. Pria yang tak hanya menghancurkan perusahaan keluarganya, tapi juga mewarisi kebencian terhadap ayah mereka seolah itu warisan yang layak dipelihara.
"Apakah kau sudah membujuknya? Coba bernegosiasi, tawarkan apa pun agar dia memberimu kesempatan."
"Sudah, tapi dia menolak menemuiku," jawab Maxime. "Dan sepertinya dia tak peduli."
"Kalau begitu aku yang akan menemuinya."
Maxime mengangkat wajahnya, sorot matanya menyimpan keraguan. "Élodie, itu bukan--"
"Aku bukan ayah," potong Élodie pelan, namun tegas. "Bukan juga kau yang selalu bicara angka dan saham. Aku tidak akan datang untuk menyelamatkan nama keluarga atau harga diri Van Der Linden."
Ia melangkah menjauh dari dinding, melepas kuncir rambut yang sudah longgar, lalu mengikatnya kembali dengan cepat. Gerakannya praktis, tetapi ada kekuatan dalam cara ia menegakkan kepala.
"Aku akan datang untuk menyelamatkan apa yang ibu bangun. Yayasan itu bukan hanya laporan keuangan atau dokumen legal. Itu tempat pertama aku belajar bahwa menjadi dokter bukan soal jabatan, tapi tentang memeluk manusia dalam kesakitan mereka."
Maxime menatap adiknya dalam diam. Tidak menjawab, tidak mencegah.
Empat puluh menit setelah itu, Élodie sudah tiba di kantor Fraser. Bangunan menjulang megah di Avenue Louise, berdiri angkuh dengan kaca hitam yang memantulkan langit mendung Brussels. Langkah Élodie terdengar tenang saat menyusuri lobi utama. Para karyawan bersetelan gelap bergerak cepat, tak satu pun menoleh padanya lebih dari sekilas. Dunia Philippe Fraser bergerak dengan efisiensi dingin dan ia akan menyusup ke jantungnya.
Di meja resepsionis, Élodie menyebutkan nama dengan suara jernih. "Élodie Van Der Linden. Saya ingin bertemu Mr. Fraser."
Resepsionis wanita itu sempat terdiam sepersekian detik, lalu membuka kalender digital. "Mr. Fraser tidak menerima tamu tanpa janji."
"Sampaikan padanya bahwa aku bukan tamu. Aku berhutang sesuatu padanya dan aku datang untuk membayarnya."
Wanita itu tampak ragu. Namun setelah menekan sesuatu di interkom, ia mengangguk pelan. "Silakan naik ke lantai dua puluh tujuh. Dia akan menemui Anda."
Lift bergerak tanpa suara. Élodie menatap pantulan dirinya di dinding logam. Wajahnya terlihat lebih pucat dari biasanya. Rambutnya masih sedikit berantakan dari shift IGD. Tapi matanya, yang biasa menyimpan kelembutan bagi pasien-pasien kecil, kini menyala dengan tekad.
Pintu terbuka langsung ke sebuah ruang kerja luas dengan jendela setinggi langit-langit. Philippe Fraser berdiri di sana, membelakangi Élodie. Kemeja putihnya tergulung rapi di siku. Tangannya menumpu pada meja kaca besar yang bersih dari kertas, hanya ada satu jam tangan logam, sebuah pena hitam, dan secangkir kopi yang belum disentuh.
"Mr. Fraser."
Ia menoleh perlahan.
Pandangan mereka bertaut. Philippe tidak menunjukkan keterkejutan, tidak pula kemarahan. Tatapannya tetap datar, tetapi sorot matanya menyimpan sesuatu yang tak bisa langsung ditebak. Yakni rasa ingin tahu, atau barangkali penghinaan yang dibungkus ketenangan.
"Aku tidak menyangka Van Der Linden terakhir yang tersisa akan datang ke sini sendiri," ujarnya.
Élodie menahan napas sejenak. Lalu melangkah maju, pelan namun mantap.
"Aku datang bukan untuk menyelamatkan nama keluarga," katanya. "Aku datang demi yayasan milik ibuku."
Philippe mengangkat alis sedikit. "Yayasan yang kini secara legal berada di bawah entitas bisnis yang kau minta aku hancurkan?"
"Kau sudah mendapat perusahaan, Tuan Fraser. Kau sudah menghancurkan ayahku. Bisakah jangan masukkan yayasan itu ke dalam bagian dari dendammu? Ibuku tidak membuat ibumu meninggal."
Wajah Philippe mengeras. Untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu, matanya memancarkan sesuatu yang menyerupai luka.
"Kau benar, tetapi tidak sepenuhnya. Ibumu tidak menghentikan keputusan ayahmu. Itu cukup bagiku untuk ikut menyalahkannya."
Élodie menggigit bibir bawahnya, lalu mendekat satu langkah lagi. "Aku tidak datang untuk bertengkar. Aku hanya ingin kita bicara baik-baik. Tolong dengarkan aku, setidaknya sebagai dokter, bukan sebagai putri dari keluarga Van Der Linden. Ibuku mungkin bersalah di matamu, tetapi anak-anak pasien kanker yang bertahan berkat yayasan itu tidak bersalah."
Beberapa detik berlalu tanpa suara. Lalu Philippe bergerak. Ia menarik kursi di meja bundar kecil di sudut ruangannya.
"Duduklah, Dokter Van Der Linden. Mari kita bicara tentang nilai nyawa dalam bahasa saham."
"Hanya yayasan itu," ucap Élodie akhirnya, suaranya rendah. "Jangan sentuh. Aku akan melakukan apa pun yang kau minta. Bahkan jika harus bekerja untukmu, aku siap."
Philippe menoleh perlahan, sorot matanya tajam. "Bekerja untukku? Menarik sekali."
"Ya," Élodie menegakkan bahunya. "Saya bisa bekerja untuk Anda. Saya lulusan terbaik fakultas kedokteran, punya reputasi bersih, dan mengerti sistem. Saat ini saya sedang menjalani tahun ketiga masa residensi saya untuk spesialis bedah anak. Anda bisa menempatkan saya di mana pun Anda butuh."
Senyum tipis muncul di sudut bibir Philippe. Senyum itu tidak membawa kehangatan. Justru ada sesuatu yang menyerupai cemoohan terselubung di balik tenangnya.
"Kalau begitu," katanya pelan, "bekerjalah sebagai pelacurku."
***