Pertemuan Pertama

1232 Words
"Arvi, ikut denganku sekarang." Mendengar ajakan itu, Arvi menatap bingung kepada kepala Manager yang sangat ia kenal baik. "Kemana, Pak?" tanyanya dengan raut wajah yang menunjukkan kebingungan. Meski begitu, ia tetap mengikuti atasannya. Keduanya berjalan berdampingan hingga memasuki lift. Di dalam lift Arvi terus saja melihat ke arah Pak Dhika, sang kepala Manager. Di kepalanya masih dipenuhi tanda tanya. "Kenapa kau menatapku begitu?" "Bapak aneh, tidak biasanya Bapak mengajak saya tanpa mengatakan apa-apa." Pria yang sudah berusia kepala empat itu menolehkan kepalanya ke belakang. "Kau tidak sadar? Kau juga aneh. Tidak biasanya kau bicara panjang lebar denganku padahal kita tidak sedang rapat." Arvi mengalihkan pandangannya dari tatapan Dhika. Terkesan tidak sopan, mau bagaimana lagi pria tua selangkah di depannya ini cukup menyebalkan. Jadi, jangan salahkan dirinya bertingkah demikian. Dhika tertawa kecil melihat tingkah Arvi. Hiburan yang menyenangkan melihat anak itu merubah wajah penasarannya menjadi kesal. Arvi di matanya bukan laki-laki kaku. Laki-laki itu hanya pendiam dan cukup tertutup walaupun ekspresi wajahnya berkata lain, ekspresif dan terlalu jujur. Tidak suka ya tidak suka, tidak ada yang ditutup-tutupi. "Baiklah-baiklah, aku akan mengatakannya. Kondisikan wajahmu, aku tidak akan membuat harimu buruk hari ini, percayalah." Dhika tak lagi bermain-main, tadinya ia mau membuat kejutan. Hanya saja kejutannya sudah terlanjur gagal. Yah, rekan kerjanya ini tidak mempan dengan kejutan sepertinya. "Lalu?" "Ck," decak Dhika sembari menatap Arvi melalui kinclongnya dinding lift, Arvi yang sepertinya sangat tidak sabar mendengar penjelasannya. "Kau ini sabar, aku belum selesai bicara." "Katakan saja, Pak. Tidak perlu basa-basi." Dhika menghembuskan nafasnya kasar, raut lelah tercetak di wajahnya. Mungkin karena terlalu lelah menghadapi anak muda di sampingnya. "Pak Barra ingin bertemu denganmu. Beliau ingin berterima kasih langsung padamu." Sejenak ada raut terkejut di wajah Arvi, Dhika yang melihatnya pun tersenyum. Dugaannya salah, anak ini ternyata sedikit bisa diberi kejutan meski tidak mudah, yang mau memberi kejutan harus pintar-pintar. Ah, atau aslinya mudah, hanya saja ia yang tidak pintar memberi kejutan. Huh, entahlah. "Kenapa?" Dhika mengerutkan dahi mendengar pertanyaan singkat yang keluar dari mulut Arvi. "Kenapa apanya? Sudah sepantasnya kau mendapatkannya bukan? Siapa tahu kau bisa naik jabatan, naik gaji, bisa juga dapat bonus tak terduga." Arvi tersenyum tipis, sepertinya ia terlalu banyak berpikir tentang sesuatu yang mustahil. "Tidak apa-apa." Dhika memukul lengan Arvi begitu pintu lift terbuka. "Kau ini ada-ada saja," ujarnya seraya menggelengkan kepala. Dhika kemudian berjalan keluar lift mendahului Arvi. Ini untuk pertama kalinya bagi Arvi, berada di lantai paling atas setelah hampir dua tahun bekerja di perusahaan ini. Tempat terlarang baginya berkunjung karena dia bukan siapa-siapa yang mengharuskan bertemu orang penting di tempatnya bekerja. Di lantai ini hanya ada satu ruangan, di depan ruangan tersebut terdapat satu meja dan satu komputer, lebih tepatnya di sebelah kanan sedangkan di sebelah kiri tersedia sofa panjang dengan dua sofa tunggal di masing-masing sisi dan ditengahnya terdapat meja kaca berbentuk bundar. Tak lupa pula di masing-masing sisi itu terdapat satu orang yang menghuninya. "Yosh, Barra ada di ruangannya?" Yoshi, orang yang bekerja sebagai sekretaris pribadi itu menghentikan gerakan tangannya di atas keyboard lalu menoleh ke arah seseorang yang baru saja datang. Tentu saja ada Dhika dan Arvi di sana, hanya mereka berdua yang baru tiba di lantai penguasa perusahaan ini. "Ada, ada apa?" "Aku hanya melakukan tugasku. Katakan saja," ucap Dhika langsung tanpa basa-basi. "Sebentar." Yoshi mengambil telepon kabel, ia menekan salah satu tombol yang membuatnya terhubung langsung dengan ruangan bosnya. "Pak, ada yang ingin bertemu." "..." "Dhika dan seorang laki-laki muda." "..." "Baik, Pak." Yoshi menutup teleponnya kemudian tatapannya kembali tertuju pada Dhika. "Masuk saja." "Oke," singkat Dhika. "Ayo, Ar!" ajaknya pada Arvi yang sedari tadi diam di belakangnya. Begitu pintu ruangan CEO di buka. Pandangan Arvi tertuju pada dinding yang bercat hitam, sangat kontras dengan dinding kantor yang keseluruhannya bercat putih. Tak hanya dindingnya saja yang gelap, ruangan ini pun temaram tanpa jendela luar. Tak ada cahaya masuk, penerangan hanya berasal dari cahaya lampu itu pun tidak cukup terang. Begitu menoleh ke kiri sepasang mata Arvi bersitatap dengan sosok pria dewasa berusia empat puluhan dengan rahang tegas, rambut lurus tertata rapi, tatapan tajam, memiliki badang besar tegap dan berkulit putih. Sosok yang sempurna, masih terlihat tampan di usianya. Jika begini, tidak diragukan lagi. Waktu masih muda, pasti lebih tampan dari ini. Dia, Barra Elano Pradipta. CEO perusahaan Prata Group yang telah diwariskan secara turun temurun. "Yo, Bar!" Sapa Dhika. Menyapa dengan meninggalkan keformalan pada atasannya. Bahkan pria berumur tak jauh beda itu duduk di depan sang atasan tanpa sungkan. "Kau ..." Terdengar hembusan nafas kasar. "Puluhan tahun aku menegur mu, kau tidak mendengarkan. Aku biarkan kau kali ini." Semestinya tidak masalah kalau hanya mereka berdua di sini. Sifat Dhika tidak akan bisa dirubah. Semoga karyawannya satu ini tidak meniru hal yang tidak baik dilakukan pada atasan. "Ck, kau seperti baru mengenalku saja. Tenang saja, dia tidak akan meniruku. Dia anak laki-laki yang baik." Dhika menjelaskan seakan mengerti kekhawatiran temannya. Teman sekaligus atasannya ini tidak ingin karyawannya berlaku semena-mena seperti yang ia lakukan, tidak mau memecat orang yang bergantung padanya beda lagi kalau kelewat batas, sungguh pria di depannya tidak ingin membuang waktu untuk itu. Karyawan biasa menginjak harga diri bos, sama saja cari mati tapi, kembali lagi, tidak berlaku untuk pria bernama Dhika. Tidak tahu diri. "Kau memintaku untuk mempertemukan mu dengannya. Ini kubawa orangnya," tunjuk Dhika pada Arvi yang masih setia berdiri. "Duduklah, Arvi. Kau jangan berdiri di sana," imbuhnya setelah melihat keberadaan Arvi. "Pak Barra, belum menyuruhku duduk," jawab Arvi dengan sopan. "Ck, kau terlalu formal sama sepertinya." "Duduklah." Menghiraukan Dhika, Barra menatap anak muda yang dibawa Dhika ke ruangannya. Ia menatap tanpa senyum. "Baik, Pak," balas Arvi sebelum mendudukkan diri di samping Dhika. "Anak ini yang memiliki etos kerja baik. Sangat baik malah. Dalam keadaan mendesak dia bisa berpikir cepat dan bertindak tenang sehingga klien masih mempercayakan kerja sama dengan perusahaan kita dan tidak menimbulkan kerugian yang seharusnya terjadi apabila tidak ada orang yang tanggap sepertinya. Bukankah dia cukup hebat?" Dhika tersenyum miring, ia ikut bangga bahwa ada seseorang dalam timnya bisa diandalkan. "Dia juga banyak mendapat pujian dari klien. Mereka terlihat sangat puas." "Pak Dhika terlalu berlebihan, saya hanya melakukan pekerjaan saya. Menjaga kestabilan perusahaan dan membuatnya semakin maju bukankah tugas kita yang bekerja di perusahaan ini. Kerja sama antar atasan dan bawahan, juga antar para pekerja semuanya demi keberhasilan bersama untuk jayanya perusahaan. Saya masih mengingat yang HRD sampaikan saat diterima bekerja di sini," jelas Dhika dengan rendah hati. "Ah, kau terlalu merendah." Dhika tertawa kecil sembari menepuk punggung Arvi pelan berulang kali. "Dhika benar, meski HRD telah menyampaikan, tak banyak karyawan yang berpikiran sama denganmu. Terkadang mereka bertindak egois demi menyelamatkan diri mereka sendiri dan mengorbankan orang lain. Perbuatan itu salah satu kekejaman berada di dunia kerja." Barra menatap Arvi tepat di matanya. "Arvi, saya bangga memiliki karyawan sepertimu di perusahaan ini. Kau contoh karyawan yang baik. Aku harap kau dijauhkan dari kejamnya dunia kerja. Kau mengerti maksudku bukan?" Arvi membalas tatapan Barra, CEO dengan wibawa yang luar biasa ini, cukup menggetarkan hatinya. Apalagi pujian yang tertuju padanya itu. Wah, rasanya luar biasa. "Saya tahu. Andai saya terjebak, saya bisa mengatasinya." Orang iri banyak, tidak hanya di satu tempat. Orang busuk hati pasti memiliki segala cara untuk menghilangkan penghalang yang merugikannya. Barra tersenyum tipis, senyum yang jarang ia berikan untuk karyawannya. "Aku suka anak muda sepertimu. Tunjukkan padaku kehebatan mu yang lain, maka aku akan memberi sesuatu yang pantas untukmu." Arvi menganggukkan kepalanya, ia tersenyum. "Saya mengerti."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD