Seusai pulang bekerja, Arvi tidak langsung pulang ke rumahnya. Terlebih dulu, ia akan menuju ke suatu tempat. Tempat baginya untuk bercerita kala ia sedih juga bahagia. Ia tidak memiliki tempat untuk mencurahkan hatinya selain tempat ini.
Arvi berjalan dengan tenang di sore hari yang mendung. Dua jam lagi memang menjelang malam. Langit mendung ini akan berubah menjadi hitam. Meski begitu tak menyurutkan niat hatinya. Ia tidak pernah takut kalau pun ia sendirian di tempat ini. Tidak ada yang perlu ditakutkan apabila alasan ia berdiri tegak, kuat di dunia ini untuk memenuhi mimpi seseorang yang akan ia temui sebentar. Seseorang yang sangat berarti di hatinya melebihi siapapun. Seseorang yang telah mengorbankan segalanya demi dirinya dan seseorang yang telah begitu hebat membesarkannya sehingga dirinya tak merasa kekurangan sedikit pun. Ya, dia adalah ibunya. Sang ibu tercinta yang telah lebih dulu meninggalkannya.
Tugas sang ibu telah selesai di dunia. Tuhan yang sangat menyayangi ibunya, menjemput sang ibu dengan begitu damai. Masih ingat jelas dalam pikiran hatinya, senyum terakhir yang ibunya berikan untuknya.
"Ibu, aku datang."
Arvi jongkok di dekat pusara ibunya. Ia mengelus batu nisan di atas pusara sang ibu. Lebih tepatnya pada nama ibunya yang tertera di sana, Neyva Tavisha. Puas tangannya menyentuh ukiran nama itu, Arvi kemudian beralih membersihkan pusara ibunya. Hanya ada beberapa daun kering di sana. Ia sudah membawa kantung kresek untuk daun-daun kering tersebut.
Dengan hati-hati, Arvi mengambil satu persatu daun kering di sana hingga sepuluh menit berlalu, pusara sang ibu tampak bersih dari daun kering, menyisakan rumput hijau yang tumbuh di sana. Arvi tidak berniat membersihkan rumput itu selagi rumputnya tidak tinggi. Terkadang ia hanya sekedar memotongnya saja. Tidak ada alasan lain kenapa ia melakukan hal itu? Ya, karena menurutnya memang seharusnya begitu. Di tambah rata-rata pusara disini juga begitu. Tidak ada yang memberi tahunya, tindakannya ini benar atau tidak. Setelah ibunya pergi, benar dan salah, ia sendiri yang menentukan. Lagipula, ibunya sangat menyukai rumput hijau. Biarkan saja rumput ini yang menemani sang ibu di sini, juga tanaman yang ia tanam di atas makam sang ibu.
"Arvi membawa bunga baru untuk ibu. Ibu suka bunga Lily bukan?" tanya Arvi seraya meletakkan buket bunga Lily baru usai meletakkan ke dalam kantung kresek bunga Lily kering yang Minggu lalu ia bawa.
"Bu, Arvi hari ini merasa sangat senang. Dalam dua tahun Arvi bekerja di sana, baru hari ini Arvi bicara dengannya. Memang singkat tapi, itu sangat berkesan bagi Arvi, Bu." Senyum Arvi melebar, ini senyum terlebar yang ia tunjukkan di wajahnya. Dulu senyum ini hanya tertuju pada ibunya, karena ibunya telah tiada, Arvi tidak memiliki alasan lagi untuk tersenyum lebar sebab kebahagiaannya telah pergi. Kali ini senyum ini muncul kembali, artinya ada hal lain dalam diri Arvi yang membuat pria itu merasa bahagia.
"Ibu tahu, dia juga memuji Arvi, Bu. Dia tersenyum pada Arvi. Hal-hal kecil itu ternyata membuatku sangat bahagia." Kedua mata Arvi menunjukkan kebahagiaan, sayangnya tidak berlangsung. Tatapan bahagia itu berubah menjadi tatapan sendu. "Maaf, Bu. Maaf Arvi tidak melakukan sesuai keinginan Ibu. Maaf karena tidak bisa mewujudkan pesan terakhir Ibu. Arvi belum siap, Arvi takut menjadi perusak. Arvi tidak ingin kebahagiaan mereka lenyap karena Arvi. Biarlah seperti ini dulu. Arvi masih cukup nyaman begini. Tapi, Arvi janji Ibu. Arvi akan melakukannya. Tolong beri Arvi waktu. Waktu mungkin bisa mengubah segalanya."
Ya, waktu pasti merubah ketakutan dalam dirinya menjadi sebuah keberanian. Rasa syukur serta hati lapang, ia menginginkannya itu sebelum sebuah kejujuran. Ia tidak mau berada di harapan paling tinggi. Setidaknya ia tidak ingin terjatuh jika keinginannya tidak sesuai harapan dan ya, rasa syukur dan hati lapang akan membantunya suatu hari nanti.
"Arvi pulang dulu, Bu. Minggu depan Arvi akan datang lagi. Bahagia di sana ya, Bu. Sampai jumpa."
Arvi beranjak dari duduknya, anak yang mulai beranjak dewasa itu melangkahkan kakinya meninggalkan pusara sang ibu. Meskipun ada sedikit kebahagiaan hari ini, lelah masih saja mendera. Bekerja tanpa kelelahan itu mustahil. Tidak ada kerja yang tidak capek. Andai dunia ini bisa membeli apapun tanpa uang, pasti banyak orang yang akan senang. Mereka tidak perlu bekerja lagi sampai titik darah penghabisan. Lagi, itu hanya khayalan.
Semuanya butuh uang, tanpa uang manusia bahkan tidak akan dipandang sebagai manusia.
Arvi masuk ke dalam kamar kosnya sambil menyalakan lampu dengan saklar yang ada di belakang pintu. Kos-kosan yang terdiri dari tiga petak ruangan dengan satu kamar mandi dalam sudah cukup nyaman untuknya. Satu bisa dijadikan ruang tamu karena terhubung langsung dengan pintu masuk, satunya bisa dijadikan kamar, satu lagi area dapur samping kanan area cuci jemur ada sedikit area terbuka di sana untuk menjemur baju terdapat pintu penghubung juga sehingga tidak perlu membuka pintu depan apabila tidak ingin terlalu pengap di dalam kos-kosan ini, sementara di samping kiri ada kamar mandi.
Arvi merasa sangat nyaman tinggal di kosan ini. Tidak terlalu berisik juga tenang, karena memang rata-rata yang kos di sini dari sepuluh pintu kamar, semuanya adalah pekerja kantoran laki-laki yang belum menikah. Mereka memiliki nasib yang sama sebagai sesama pekerja kantoran. Maka dari itu, ketika weekend beberapa memilih jalan-jalan keluar, beberapa memilih tinggal mengistirahatkan tubuhnya dari kelelahan bekerja. Walau begitu, mereka bersepuluh tetap tegur sapa saat bertemu.
"Tempat ini memang sederhana. Sesederhana itu, tempat ini adalah rumah untukku pulang." Arvi tersenyum tipis menatap tempat tinggal yang ia tempati, tempat ini sudah Arvi rombak demi kenyamanannya tentunya atas izin si pemilik kos. Meski tidak menyalakan lampu, lampu LED pun cukup membantu pencahayaan. Itulah salah satu hal yang membuat Arvi nyaman.
Sejujurnya Arvi sendiri memiliki rumah dari si penolong ibunya. Rumah sederhana di pinggir kota perbatasan dengan daerah lain. Sebulan sekali Arvi akan berkunjung ke sana untuk membersihkan. Rumah banyak kenangan itu, tidak bisa ia lupakan begitu saja. Hanya saja karena letak kantornya jauh, ia pun memutuskan tinggal di kos-kosan ini.
"Tempat ini mungkin nyaman, tetap saja rasanya sepi."
Arvi mengingat, hari sebelum ia pindah ke sini, hari di mana ia melamar kerja dengan bolak-balik perjalanan jauh dengan angkutan umum, ia mendatangi alamat yang ibunya berikan.
Dengan mata kepalanya sendiri, Arvi melihat orang-orang yang harusnya menjadi keluarganya tampak begitu bahagia dan hidup berkecukupan berlebih malah. Sangat jauh dibandingkan dengan dirinya.
Sedih sih, tapi mau bagaimana lagi. Ini sudah takdirnya. Takdirnya yang mengharuskan ia berdiri seorang diri di dunia yang kejam tak menentu begini.
"Selama aku masih melihat dia sehat dan baik-baik saja, aku merasa kesulitan dalam hidupku bukanlah masalah. Aku bekerja di bawah pimpinannya, selain untuk menghasilkan uang agar bertahan hidup juga ingin dekat dengan dia, aku pun ingin memberikan sedikit baktiku sebagai seorang anak dengan membantu dia di perusahaannya seperti kemarin membantunya menghindar dari kerugian besar bagi perusahaan." Arvi tersenyum kecil sembari meletakkan tas kerjanya ke lantai. "Bukankah kehidupanku terlalu miris?"
Beginilah beratnya hidup sebagai anak yang tak pernah diketahui keberadaannya. Ah, mungkin lebih tepatnya anak yang tidak diinginkan? Entahlah, apapun itu ia tidak bisa membenci. Ibunya tidak ingin dirinya membenci. Bertahun-tahun ia belajar menerima dan penerimaan itu membuatnya menjadi sosok laki-laki yang tak ingin mengharapkan apapun dari siapapun. Lebih baik mendapatkan hasil dari kerja keras sendiri saja daripada merepotkan orang lain. Yah, begitulah.
"Tidak, aku sudah berjanji pada Ibu untuk selalu bahagia. Aku harus bahagia, diantara semua orang di dunia ini. Aku juga berhak bahagia."
Pesan terakhir sang ibu, yang selalu tertulis dalam benak Arvi dan terikat otomatis dalam pikirannya agar dirinya tidak terlalu bersedih dan meratapi nasib.
Arvi mungkin tidak ingin dekat, membiarkan mengalir begitu saja. Hanya saja karena tindakannya kemarin, mungkin bisa jadi awal yang baik untuknya supaya lebih dekat dengan orang yang seharusnya menjadi keluarganya? Mungkin, ah tapi apakah benar semudah itu? Tidak ada yang tahu. Tuhan memiliki kehendaknya yang berada diatas perencanaan manusia. Kita lihat saja.