Membuntuti Amel

1246 Words
"Kamu bercanda kan, Bell? Itu tidak mungkin," ucap Airin, masih belum percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Aku serius, Airin. Kalau tidak, mana mungkin aku sampai memastikannya ke luar kota?" "Tapi, ini tidak masuk akal, Bell." Bella terdengar membuang napas kesal. "Bagaimana kalau Jumat besok kita ikuti dia? Biar kau lihat dengan mata kepalamu sendiri." Airin terdiam. Wanita seperti Amel bisa nekad menikah dengan suami orang, padahal dia sendiri masih bersuami! Ini benar-benar gila! "Baiklah, aku akan mengawasi dia, dan menelponmu begitu dia keluar rumah besok," jawab Airin sebelum menutup telepon. Airin membuang napas. Pikirannya berkecamuk. Kenapa kehidupan rumah tangganya yang dia harapkan bisa bahagia jadi begini rumit? Lamunannya buyar seketika ketika Irfan masuk ke dalam kamar. "Bagaimana keadaan wanita itu, Mas?" tanya Airin dengan hati yang masih dongkol. "Dia masih shock. Lain kali jangan seperti itu lagi, Dek," jawab Irfan sambil menatap kesal padanya. "Kok Mas jadi bela dia sih? Dia yang mulai duluan, Mas!" "Tapi bukan berarti kamu harus menakut-nakuti dia seperti itu, Dek! Kamu kan tahu orang pasti akan takut melihat wajahmu." Airin terdiam sesaat. Dadanya terasa sesak. "Berarti Mas juga, kan?" tanyanya. Irfan tersentak, menatap Airin sesaat, lalu membuang muka. "Mas tidak pernah melihat wajahku. Berarti Mas juga jijik, kan? Airin mengulang pertanyaannya. "Sudahlah, Mas capek! Mau tidur!" sahut Irfan sambil membaringkan tubuhnya dan menutupi tubuhnya dengan selimut. Airin menahan napas, mencoba menahan dadanya yang kian sesak. Dia berjalan menuju tempat tidurnya, lalu berbaring membelakangi suaminya. Semua yang terjadi begitu menguras pikirannya. Rasanya Airin ingin istirahat sebentar dari semua itu. Entah berapa lama dia terlelap, hingga terbangun entah jam berapa. Kamarnya masih gelap, berarti hari belum menjelang pagi. Dia bangkit dan duduk, sambil memegang kepalanya yang masih terasa pusing. Airin mengusap matanya, dan seketika menyadari suaminya sudah tidak ada di sampingnya. Diliriknya jam weker kecil yang ada di atas meja. Pukul dua dini hari. Airin bangkit, dan berjalan menuju jendela. Dibukanya sedikit tirai yang menutup jendela itu. Matanya membulat melihat suaminya keluar dari rumah depan dan berjalan mengendap-endap kembali ke rumah. Airin seketika mengepalkan tangannya. Ide bagus menempatkan istri barunya di dekat rumah, agar mereka bisa bermesraan setiap saat. Airin cepat-cepat kembali ke atas tempat tidur dan pura-pura memejamkan mata. Sesaat kemudian terdengar hendel pintu terbuka. Suaminya mengendap-endap masuk lagi ke dalam kamar dan berbaring di sampingnya. Hati Airin sakit, apalagi dia harus lebih bersabar lagi untuk membalas semua itu. Keesokan paginya, Airin mengantarkan suaminya ke depan untuk ke kantor. "Semalam Mas pergi ke mana?" tanya Airin sambil memberikan tas kerja pada suaminya itu. Irfan sedikit tersentak kaget, lalu menatap Airin dengan gugup. "Ngomong apa kamu, Dek? Mas tidur di samping kamu terus, kok," jawabnya. "Oh, berarti semalam aku mimpi Mas gak ada di sampingku," ucap Airin santai. "Iya, pasti mimpi, Dek. Mas berangkat dulu, ya?" jawab Irfan lagi sambil cepat-cepat masuk ke dalam mobil. Airin menggelengkan kepalanya, lalu masuk ke dalam rumah. Dia terus mengawasi rumah Amel dari balik jendela. Benar saja, tak berapa lama kemudian, dia keluar dari rumahnya dengan penampilan glamornya, bersiap pergi. Airin cepat-cepat menghubungi Bella. "Dia sudah mau berangkat, Bell," ucap Airin begitu Bella mengangkat telpon. "Baiklah, aku sudah hampir sampai," jawab Bella. Airin mengambil tasnya, dan bersiap keluar rumah. Begitu mobil Bella melaju meninggalkan rumahnya, Airin cepat-cepat keluar rumah dan mengunci pintu. Beberapa saat kemudian mobil Bella sudah sampai di depan rumahnya. Airin bergegas masuk dan mereka mengikuti mobil Amel dari belakang. "Aku sudah menyuruh orang untuk mengikutinya dari lama, dan baru kemarin sempat memastikan," ucap Bella sambil memberikan gawainya pada Airin. Mata Airin membulat melihat layar gawai Bella. Di sana tampak Amel sedang bersama dengan seseorang yang duduk di atas kursi roda. "Namanya Rifki Permadi. Dulu dia pengusaha kaya dan jatuh bangkrut setelah kecelakaan yang dia alami. Tampaknya kisah hidup mereka berdua panjang," jelas Bella. "Jadi, mereka sudah lama menikah?" tanya Airin sambil tetap melihat satu persatu foto yang ada di gawai Bella. "Aku belum menyelidikinya sampai sejauh itu, tapi sepertinya sebelum Amel menjadi Aktris. Dan tampaknya, orang tua Amel tidak mengetahui pernikahan mereka." "Maksudmu ... mereka kawin lari?" tanya Airin sambil membulatkan mata. "Bisa jadi," jawab Bella. "Dilihat dari umur mereka, kemungkinan Amel menikah dengannya saat masih di bangku SMA." Airin terdiam, masih sambil memperhatikan foto di tangannya. "Aku pernah bicara padamu kalau aku bisa menghancurkan karirnya dalam sekali tepuk, kan?" ucap Bella lagi. "Skandal ini salah satunya." Airin membuang napas. Baginya menghancurkan karir seorang Amel Angelina bukan hal yang sulit, apalagi dengan kehidupannya saat ini. Tidak, sekarang belum waktunya. Hukuman itu terlalu ringan untuk mereka. Mobil Airin dan Bella masih sabar mengikuti mobil Amel dari belakang. Amel membelokkan mobilnya, memasuki jalan perkampungan yang terlihat sepi dan kumuh. Bella menghentikan mobil tepat di samping jalan masuk ke kampung itu. "Kita jalan kaki saja," ucap Bella sambil melepas sabuk pengamannya. "Rumahnya dekat, kalau kita masuk dengan mobil akan ketahuan." Airin mengangguk mengerti. Mereka turun dari mobil dan berjalan perlahan memasuki jalan kampung itu. Amel menghentikan mobilnya tepat di depan sebuah gubuk reyot yang terbuat dari anyaman bambu. Amel turun dari mobilnya sambil membawa bungkusan tas kresek di tangannya. Dia melihat sekeliling, sebelum masuk ke dalam rumah itu. Airin dan Bella berjalan mengendap-endap di samping gubuk, dan mengintip dari balik dinding bambu yang penuh lubang. Seorang laki-laki duduk di atas kursi roda. Penampilannya terlihat sangat lusuh. Kedua kakinya terbungkus perban kumal yang sebagian sudah mengelupas, memperlihatkan lukanya yang mulai membusuk. "Kamu datang, Mel," ucap pria itu sambil tersenyum pada Amel. Amel tak sedikitpun membalas senyumannya. Dia mengulurkan kantong plastik yang dibawanya. Laki-laki bernama Rifki itu menerimanya, lalu seketika membukanya. Matanya terlihat berbinar melihat sebungkus nasi rendang kesukaannya. Cepat-cepat dilahapnya nasi itu karena dia memang sudah sangat lapar. Amel membuang muka melihat laki-laki yang pernah mengisi kehidupannya itu makan dengan lahapnya. "Ini terakhir kalinya aku datang ke sini, Mas," ucap Amel, tanpa menatap ke arah Rifki sedikitpun. Rifki menghentikan makannya, lalu menatap Amel. "Kenapa begitu, Mel?" tanyanya. Tangannya berusaha memegang tangan Amel, tapi Amel menepisnya dengan jijik. "Aku sudah menikah dan hidup bahagia. Sekarang aku sudah tidak mau punya hubungan apa-apa lagi sama kamu!" Mata Rifki seketika mengembun. "Kamu tega, Mel?" tanyanya lirih. "Bukankah dulu kamu bilang mau hidup denganku sampai kapanpun? "Iya, tapi tidak begini, Mas! Semua ini bukan salahku! Mas yang kecelakaan! Mas yang bangkrut! Jadi salahkan diri Mas sendiri!" Rifki terdiam sambil menunduk. Hatinya kali ini benar-benar hancur mendengar wanita yang dulu dia perjuangkan memutuskan hubungan dengannya seperti ini. "Sudahlah, Mas! Aku harus pergi! Mulai sekarang jangan menungguku lagi!" Amel membalikkan badannya, lalu keluar meninggalkan gubuk reyot itu. "Amel! Amel!" Rifki memutar maju kursi rodanya, berusaha mengejar Amel yang sudah menaiki mobilnya. Amel melajukan mobilnya meninggalkan Rifki, tanpa mempedulikan Rifki yang terus memanggil namanya. Rifki menutup mukanya, menangis tersedu-sedu seperti anak kecil. Airin dan Bella yang sedari tadi mendengarkan ikut miris melihatnya. Hati Airin perih, karena dia tahu benar rasanya dikhianati karena cacat. Rifki menjalankan kursi rodanya, meninggalkan gubuk reyotnya. Airin dan Bella saling bertatapan. Ke mana Rifki akan pergi? Akhirnya mereka memutuskan untuk mengikuti Rifki diam-diam. Rifki terus melajukan kursi rodanya menyusuri jalan tanah yang berbatu. Dengan susah payah akhirnya dia sampai di tepian rel kereta api, bersiap untuk menyeberang. Bunyi sirine kereta terdengar dari kejauhan. Airin dan Bella masih melihat dari jauh Rifki yang akan menyeberangi rel. Tunggu, dia tidak menyeberang! Dia hanya duduk diam menunduk di atas kursi rodanya, tepat di tengah rel kereta api itu! Airin dan Bella membulatkan mata, lekas menyadari apa yang akan dia lakukan. Kereta semakin dekat, Airin dan Bella seketika berlari sambil memanggil Rifki.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD