Bella dan Airin berlari sekencang mungkin untuk menghentikan Rifki. Rifki tampak sangat kaget melihat kedatangan dua wanita asing itu.
"Kalian siapa?" tanyanya.
Bella dan Airin tak menjawab. Keduanya berusaha menarik kursi roda Rifki keluar dari rel kereta, tapi tak berhasil. Benar, saat kereta mendekat besi baja itu akan berubah menjadi Medan elektromagnetik yang bisa menghentikan kendaraan apapun. Mungkin karena itu kursi rodanya terasa begitu berat.
Tidak ada waktu lagi, saat kereta mulai mendekat ke arah mereka, tanpa pikir panjang lagi Bella dan Airin menarik tangan Rifki dari kursi rodanya, hingga membuat mereka bertiga jatuh terbetguling di tanah miring di samping rel.
BRAAAKKK!
Kursi roda Rifki terpental sejauh beberapa meter, dan ringsek tak berbentuk. Kereta melesat cepat melewati mereka bertiga yang masih terbaring di sisi rel sambil menutup muka mereka dari angin kencang dan debu yang dibawa oleh badan kereta.
Cukup lama mereka menunggu hingga badan kereta habis melintas. Setelah badan kereta yang panjang itu melewati mereka, baru mereka bisa membuang napas lega.
Airin membuka matanya, saat kereta sudah terdengar menjauh. Dia membersihkan mukanya dari tanah yang menempel, lalu menatap ke arah Bella yang masih memegangi Rifki.
"Bella, kamu tidak apa-apa?" Airin bangkit dan mendekati Bella saat melihat darah merembes dari lengan bajunya.
"Gak apa-apa, cuma luka kecil saja," jawab Bella sambil mengusap pelipisnya yang penuh tanah dan keringat.
Rifki masih terlihat kebingungan dengan apa yang baru saja terjadi.
"Kalian ini siapa? Kenapa malah menolongku?" tanya Rifki sambil menatap Bella dan Airin bergantian.
"Kenapa kau mau bunuh diri tadi?" Bella balik bertanya, sambil melepaskan tangan Rifki dan menatapnya dengan kesal.
"Itu bukan urusan kalian!" jawab Rifki lantang. "Pergi kalian! Biarkan saja aku mati!"
"Jangan bertindak bodoh! Kau pikir bunuh diri bisa menyelesaikan masalah?"
"Sudah kubilang bukan urusan kalian!"
Rifki menyeret tubuhnya, ingin kembali menuju rel kereta. Bella berusaha menghentikannya, tapi tangannya ditepis oleh Rifki. Kesabaran Airin habis melihat semua itu. Dengan kesal dia mendekati Rifki, dan ...
PLAK!!!
Bella tersentak kaget dengan apa yang dilakukan Airin. Rifki membulatkan mata sambil menatap wanita yang baru dikenalnya itu. Pipinya terasa panas karena tamparan Airin.
"Kamu ini laki-laki bukan?" tanya Airin lantang sambil menatap tajam pada Rifki.
Mata Rifki semakin membulat mendengar pertanyaan Airin. Dia akhirnya menunduk karena tak kuat melihat mata Airin yang tajam dan berair itu.
"Memangnya kamu pikir cuma hidupmu saja yang berat?" tanya Airin dengan emosi yang memuncak. "Kamu tak pantas disebut laki-laki!"
Bella membuang napas, lalu mendekati Airin. Dipegangnya pundak wanita yang selalu terlihat begitu tegar, padahal sebenarnya rapuh itu. Airin menaruh kepalanya di d**a Bella. Dia mulai menangis dan menangis. Dadanya terasa begitu sesak. Bella tahu Airin hanya ingin meluapkan apa dia rasakan.
Seandainya boleh, mungkin dia juga ingin mengakhiri hidupnya di jalur kereta itu, mengakhiri semuanya. Orang tuanya meninggal sekaligus dalam kebakaran yang ternyata sudah direncanakan oleh seseorang.
Suaminya, yang dia pikir bisa menjadi sandaran hidupnya ternyata justru hanya mempermainkan pernikahan mereka, dan diam-diam berani mengkhianatinya. Satu-satunya alasan untuk tetap kuat hanya keinginan untuk menuntut keadilan, meskipun hatinya sudah benar-benar lelah.
Rifki menunduk semakin dalam.
"Benar, aku tidak pantas disebut laki-laki," ucapnya lirih. "Aku bahkan tidak bisa membahagiakan dan mempertahankan seorang wanita yang sejak dulu kuperjuangkan."
Airin melepaskan dirinya dari Bella, lalu mengusap air matanya. Dia berjalan mendekati Rifki dan duduk berjongkok di depannya.
"Masih belum terlambat," ucapnya kemudian. "Setidaknya kau bisa mencegah wanita itu berbuat keji lebih jauh lagi."
Rifki mengangkat mukanya, lalu menatap Airin dengan pandangan penuh tanya.
"Apa maksudmu? Bukankah dia bilang sudah menikah dan bahagia?" tanyanya.
Airin menahan napas, mencoba membuang sesak di d**a karena harus mengatakan kebenarannya di depan Rifki.
"Amel Angelina, wanita yang pernah hidup bersamamu itu ... menikah dengan suamiku."
Rifki terkejut bukan main mendengar ucapan Airin. Dia menggelengkan kepalanya, belum bisa percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.
Airin mengambil gawainya, lalu menunjukkan foto pernikahan Amel dan Irfan.
"Amel dan suamiku menikah tanpa sepengetahuanku. Dan sekarang mereka hidup bersama diam-diam. Apa kau mau membiarkannya?" tanyanya.
Rifki mencengkeram kepalanya.
"Ini semua salahku! Karena aku tidak bisa membahagiakannya dia jadi seperti itu!"
"Berhenti menyalahkan dirimu sendiri!" bentak Airin."Bukan kita yang salah! Tapi merekalah yang memang berhati iblis!"
Rifki terdiam. Dia menatap Airin dengan mata berair.
"Tidak ada yang bisa kulakukan," ucapnya.
"Ada! Karena itulah berhentilah bersikap lemah seperti itu!"
Mata Irfan membulat mendengar ucapan Airin.
"Apa yang bisa kulakukan?" tanyanya. "Lihat aku! Aku cacat! Aku tidak punya apa-apa! Bahkan untuk makan saja aku hanya bisa mengandalkan uluran orang lain! Tidak ada yang bisa kulakukan untuk membantumu!"
Airin menatap serius pada Rifki.
"Masih ada yang bisa kau lakukan, percayalah padaku," ucapnya meyakinkan Rifki.
Rifki tak menjawab, dia hanya bisa menyesali dirinya yang begitu tidak berguna. Airin memegang pundak Rifki.
"Ikutlah denganku. Aku akan membuatmu sembuh. Bantu aku untuk membalas perbuatan mereka," ucapnya.
Rifki menunduk lagi.
"Apa aku bisa?" tanyanya lirih.
"Kamu bisa! Karena itulah bersikaplah seperti laki-laki!"
Rifki membuang napas berat, lalu menatap Airin. Beberapa saat kemudian dia mengangguk. Airin membuang napas lega seraya tersenyum, lalu menatap Bella. Bella membalas tatapan Airin dengan senyuman.
"Aku akan menelpon ambulan," ucap Bella kemudian sambil bangkit dan mengambil gawainya. "Sekalian mengambil mobil.
Bella berjalan meninggalkan tempat itu. Airin duduk di samping Rifki, sambil menatap jalur panjang kereta yang ditumbuhi rerumputan tinggi itu. Angin berhembus menerpa mereka yang terdiam karena larut dalam pikiran masing masing.
Rifki melirik wajah cantik Airin yang tertutup rambutnya yang melambai tertiup angin.
"Boleh kutanya sesuatu?" tanyanya.
Airin menatap Rifki sesaat.
"Katakan," jawabnya.
"Kau cantik juga kaya. Apa alasan suamimu mengkhianatimu?"
Airin tersenyum miris, lalu menatap Rifki lagi.
"Kau percaya kalau ada orang yang mau menerimamu apa adanya?" dia balik bertanya sambil mengambil gawainya dan menunjukkannya pada Rifki. "Aku tidak."
Mata Rifki membulat melihat foto wajah Airin yang sebagian terbakar, sehingga terlihat sangat menakutkan.
"Kalau aku mencintai seseorang, aku tidak akan pernah melihat fisiknya," ucap Rifki pelan.
Airin tertawa mendengar ucapan Rifki.
"Buktinya kamu mencintai Amel karena dia cantik, kan?" tanyanya kemudian.
Rifki diam sesaat. Pikirannya menerawang jauh.
"Dulu dia juga berwajah buruk ketika masih bersamaku," ucapnya pelan.
Airin tersentak kaget mendengar ucapan Rifki. Belum sempat dia bertanya lagi, terdengar bunyi sirine ambulan, dan beberapa petugas ambulan datang membawa tandu.
Mereka segera mengangkat tubuh Rifki dan membawanya dengan tandu.
"Tolong lakukan perawatan terbaik untuknya, juga berikan dokter spesialis terbaik untuk menangani lukanya. Berapapun biayanya, tidak menjadi masalah," ucap Airin pada petugas ambulan.
"Baik, Nona," jawab mereka.
Mereka membawa Rifki masuk ke dalam ambulan menggunakan tandu. Bella juga sudah siap dengan mobilnya.
"Ayo kita pulang," ucapnya pada Airin.
Airin mengangguk, lalu masuk ke dalam mobil Bella. Hari ini terasa begitu melelahkan. Mungkin dia harus beristirahat sebentar dari semua yang telah terjadi.
Suara sirine mobil ambulan mengiringi mobil Airin dan Bella yang mengikutinya dari belakang. Airin menyenderkan kepalanya di jok mobil, dan menatap keluar jendela.
"Kamu gak apa-apa?" tanya Bella sambil menepuk lembut pundak Airin.
Airin sedikit tersentak, lalu menatap Bella seraya tersenyum.
"Aku gak apa-apa, Bell," jawabnya. "Aku hanya merasa dunia ini begitu rumit. Tidak bisakah setiap manusia menerima pasangannya tanpa memandang fisik?"
Bella tersenyum.
"Pasti ada, orang yang bisa menerimamu tanpa melihat fisik dan hartamu, Rin."
"Benarkah itu, Bell?" tanya Airin sambil kembali menatap luar jendela.
Mungkin ada segelintir orang yang seperti itu, tapi entahlah. Untuk saat ini, yang harus dia pikirkan adalah menemukan orang yang merencanakan kebakaran itu, lalu membalas perlakuan suaminya padanya, itu saja.
Gawai Airin tiba-tiba berdering. Panggilan masuk dari Irfan. Airin cepat-cepat mengangkatnya.
"Hallo, Dek. Kamu pergi ke mana aja? Kok sampai sekarang belum pulang?" tanya Irfan dari seberang telepon.
"Maaf, Mas. Aku tiba-tiba kangen Mama dan Papa, jadi aku pergi ke makam mereka," jawab Airin berbohong.
"Kenapa kamu gak bilang kalau ke sana? Mau Mas jemput?"
"Gak usah, Mas. Sepertinya aku mau menginap di hotel dekat sini semalam," jawab Airin lagi.
"Ya sudah, kamu hati-hati, ya?" ucap Irfan lagi, yang entah kenapa ada nada girang di sana.
"Iya, Mas," jawab Airin sebelum menutup telepon.
Bella melirik ke arah Airin.
"Malam ini kamu gak pulang?" tanyanya. "Mereka bisa bebas bersenang-senang kalau kamu gak ada."
Airin tersenyum getir.
"Biar saja, biarkan mereka menikmati kesenangan mereka sedikit lagi. Setelah ini, mereka pasti akan menangis darah karena itu semua."
Bella tersenyum. Syukurlah Rifki bersedia membantu mereka. Setelah ini, pembalasan sebenarnya akan segera mereka mulai.