KEPUTUSAN INGGRID

1328 Words
Inggrid tidak bisa berpikir jernih dan terus menerus membayangkan kejadian kemarin. Tawaran Om Agus yang di berikan padanya dan ayahnya menggerayangi otaknya seharian di kampus. Ia hampir tidak konsentrasi memikirkan keputusan mana yang akan ia ambil, belum lagi waktu yang di berikan oleh Om Agus sangatlah singkat yaitu lusa.  "Kakak, jadi kapan kita pergi bukunya?" pertanyaan Tiara membuyarkan lamunannya. "Kalo  gak ada halangan hari Sabtu kita beli ya" jawab Inggrid sambil tersenyum untuk menutupi apa yang ia rasakan sekarang. "Horee!! Kita jalan-jalan malam minggu ya kak. Hitung-hitung refreshing sebelum aku sibuk belajar" pinta Tiara. "Iya sayang" jawab Inggrid lembut. "Sudah sekarang sudah malam, lebih baik kamu gosok gigi, ganti baju dan tidur. Besok pagi kamu harus sekolah dan tidak boleh terlambat" Inggrid mengelus-elus rambut sebahu milik Tiara, rambut hitam dan tebal seperti  ibunya.  Dengan sigap Tiara mematuhi perintah kakaknya dan meninggalkan kakaknya tersebut. "Nak, apa ayah bisa bicara denganmu?" tanya Hendra mengetuk pelan kamar Inggrid. "Boleh yah, aku bereskan meja belajarku dan memastikan kalau Tiara sudah tidur" Inggrid langsung membereskan buku-bukunya yang ada di atas meja belajar. Ia sudah tahu apa yang akan di bicarakan oleh ayahnya.  Setelah membereskan meja belajarnya dan memasukkan buku-buku yang perlu ia bawa besok, Inggrid meluncur ke kamar Tiara yang berada di sebelah kamarnya. Ia memastikan adiknya tersebut sudah tidur dan benar saja adiknya tersebut sudah tertidur dengan pulas. Inggrid tersenyum dan mengecup kening adiknya. Pasti ia kelelahan seharian terus belajar demi mendapatkan nilai yang bagus dan di terima di sekolah impiannya.  Di ruang keluarga, ada Hendra yang sudah menunggu putri sulungnya tersebut. Ia hanya bisa terdiam dan menyesali perbuatannya. Karena kini putrinya yang harus menanggung semua itu. "Jadi gimana yah?" tanya Inggrid yang langsung duduk di sebelah ayahnya. "Jadi bagaimana nak, apa kamu sudah memikirkan tentang tawaran yang diberikan oleh Om Agus? Waktu kita hanya tinggal sedikit" tanya Hendra balik. "Aku sudah memutuskan" jawab Inggrid dengan helaan napas. "Apa?" tanya Hendra was-was. "Aku bersedia menikah dengan putra dari Om Agus" jawab Inggrid yang kontan membuat bola mata papanya nyaris keluar dari rongganya.  "Ka-kamu bersedia menikah dengan anaknya Om Agus?" tanya Hendra. "Iya pa, aku bersedia. Kenapa? Karena Om Agus gak punya hak seujung kuku pun terhadap rumah ini. Rumah ini milik kita, bukan milik dia. Kita memang berhutang padanya, namun bukan berarti dia bisa mengambil rumah ini dari kita. TIDAK AKAN PERNAH" jawab Inggrid tegas. "Tetapi dengan kuliah mu? Umur mu juga masih 21 tahun" Hendra khawatir. "Itu bukan halangan" jawab Inggrid. "Tapi ada syarat yang akan aku ajukan pada Om Agus" tambah Inggrid dengan wajah serius. "Aku akan ceritakan besok ke ayah setelah aku selesaikan pembicaraan dengan Om Agus di kantornya" Inggrid. "Pokoknya aku akan membuat janji dengannya, dia orang sibuk dan pasti urusannya banyak, jadi aku akan membuat janji dengannya dulu" *** Setelah kemarin membuat janji pada sekretaris Agus, Inggrid hari ini berkesempatan untuk menemuinya setelah sekretarisnya memastikan bahwa Agus memiliki waktu kosong pada pukul sepuluh pagi. Melihat ada taksi kosong, Inggrid segera memberhentikan taksi tersebut dan langsung menumpanginya. "Pak, Tirta Tower ya" ujar Inggrid pada sopir taksi tersebut. "Baik mbak" sopir taksi tersebut langsung menurut dan membawanya pergi ke sana.  "Selamat siang mbak, bisa saya bertemu dengan Bapak Agus?" tanya Inggrid pada salah satu resepsionis yang berada di lobi utama Tirta Tower tersebut. "Siang, apa sebelumnya sudah buat janji dengan Bapak Agus?" tanya si resepsionis dengan ramah padanya. "Sudah mbak" jawab Inggrid cepat. "Baik sebentar biar saya hubungkan dengan sekretaris Pak Agus" resepsionis tersebut menekan nomor extension ke ruangan sekretaris Agus. "Silahkan menuju lantai 26 mbak, ruangannya di sebelah kiri keluar dari lift" resepsionis tersebu mempersilahkan Inggrid untuk bertemu dengan calon papa mertuanya. Dengan senyuman, Inggrid pun menuju lift. Setelah keluar dari lift, Inggrid pun langsung berbelok ke kiri dan menemukan sebuah ruangan besar. Calon ayah mertuanya yang merupakan pengusaha properti dan telah memenangkan banyak sekali proyek-proyek besar, tidak heran memiliki kantor yang sangat besar dan memiliki cabang dimana-mana. "Siang mbak, saya Inggrid Natapradja yang tadi pagi membuat janji dengan untuk bertemu dengan Pak Agus" tanpa basa basi, Inggrid langsung mengutarakan niatnya tersebut. "Oh iya, silahkan masuk. Pak Agus berada di dalam" jawab sekretaris yang bernama Indah.  Dengan langkah pasti, Inggrid melangkah masuk ke dalam ruangan tersebut. Pintu kaca berukuran besar tersebut dengan ringan di buka olehnya. "Selamat siang Om Agus" sapa Ingrid dingin. "Ah selamat siang" Agus dengan nada datar menyambut kedatangan Inggrid. "Bisa kita bicara?" tanya Inggrid. Agus langsung menunjuk ke sebuah sofa tanda bahwa ia menyuruhnya duduk. "Jadi bagaimana, kamu sudah memutuskan penawaran yang Om berikan kemarin?" tanya Agus sambil bersandar pada sofa empuk yang ia pesan dari salah satu brand furnitur ternama. "Saya bersedia menikah dengan putra om" jawab Inggrid dengan tegas namun diikuti nada pasrah. Senyuman pun mengembang di wajah Agus. "Tetapi dengan satu syarat" tambahnya. "Aku memiliki akses bebas bertemu dengan ayah dan adikku. Jika ada sesuatu yang terjadi pada mereka, aku berhak menjenguk dan merawat mereka. Aku tidak mengharapakan adanya perceraian sekali pun pernikahan ini tidak di dasari oleh cinta, tapi jika aku bercerai dan memiliki anak, maka anak itu akan ikut bersamaku. Aku tidak akan membatasi akses papanya bertemu dengannya dan hanya akan mengambil harta yang menjadi hakku saja" Inggrid menatap tajam pria yang usianya kira-kira sepantaran dengan papanya.  "Hanya itu?" tanya Agus sambil menatap Inggrid dengan seksama. Inggrid menjawabnya dengan anggukan. "Baik Om terima persyaratan kamu asalkan kamu bisa menjadi istri dan menantu yang baik. Besok malam, kamu datang ke rumah Om, ini alamat rumahnya" Agus menuliskan alamat rumahnya tersebut pada secarik kertas dan memberikannya pada Inggrid. "Om tunggu kehadiran kamu dan ayahmu jam tujuh malam, sekalian makan malam dan langsung lamaran saja. Tidak perlu menunggu lebih lama lagi" ajak Agus. "Ngomong-ngomong, kamu hanya anak tunggal atau punya saudara?" tanya Agus. "Saya punya adik perempuan, usianya masih dua belas tahun. Tahun ini mudah-mudahan masuk SMP" ujar Inggrid sedikit dingin. "Kalau begitu bisa saya pergi?" tanya Inggrid. "Tunggu sebentar" Agus beranjak dari sofa dan berjalan menuju meja kerjanya. Ia meraih agang telepon dan menekan beberapa nomor. "Siapkan satu mobil, dan antarkan calon menantu saya pulang ke rumahnya" ujar Agus mantap. Belum apa-apa dan aku sudah di perlakukan se istimewa ini?  batin Inggrid.  "Nah silahkan sekarang kamu pulang, sudah ada mobil yang akan mengantarkanmu sampai rumah" Agus mempersilahkan Inggrid untuk keluar dari ruangannya. "Baik kalau begitu, terima kasih dan selamat siang" Inggrid pamit dengan sopan. Benar saja, sebuah Mercedes-Benz E 250 hitam sudah menunggunya. Oh ayolah! Sekarang satu kantor pasti sudah tahu aku ini calon menantu bos mereka!  *** Malam harinya, Inggrid menceritakan semua rentetan pembicaraannya dengan Agus pagi tadi. Hendra tidak dapat berbuat apa-apa selain diam dan mendengarkan dengan seksama penjelas putrinya tersebut. "Sekali lagi ayah minta maaf" hanya itu kata-kata yang bisa Hendra ucapkan. "Ayah sudahlah" Inggrid mengelus tangan papanya. "Ini bukan salah ayah, lagi pula alasan aku tidak menolak karena aku mana tahu jika ini jalanku bertemu dengan jodohku" Inggrid tersenyum berusaha menghibur papanya. "Apa pacar kamu tidak marah?" tanya Hendra. "Aku gak punya pacar" Inggrid menjawab meringis. "Yasudah aku mau istirahat dulu yah" Inggrid beranjak dan masuk ke dalam kamarnya. Hendra menatap foto Ratih, istri sekaligus ibu dari putrinya tersebut. "Maafkan aku karena tidak bisa menjaga mereka dengan baik, bahkan Inggird harus berkorban demi aku dan Tiara" Hendra menangis sambil menatap foto mendiang istrinya yang telah pergi dua tahun yang lalu akibat penyakit TBC tersebut.  Di dalam kamar, Inggrid tidak bisa menahan air matanya mengingat semua kejadian yang terjadi akhir-akhir ini. Keputusannya untuk menikahi pria yang asing dan tidak pernah ia kenali harus terjadi sedangkan ia menginginkan untuk menikah jika ia sudah siap dan dengan sosok yang mencintainya. "Apa pacar kamu tidak marah?" Pacar? Yang benar saja. Setelah putusnya kisah cintanya dengan Andri dua tahun yang lalu Inggrid tidak menggandeng laki-laki manapun dan menjalani hidupnya dengan tenang. Hubungannya pun dengan Andri masih tetap baik-baik saja. Dan sekarang ia akan menikah di usianya yang ke-21? Targetnya adalah 24 yang mana masih 3 tahun lagi targetnya untuk menikah.  "Tuhan semoga kau tambatkan aku pada pria yang benar dan tidak main-main"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD