Ajakan dari Mahasiswa Abadi

1155 Words
Binar Cahaya Mustika sedang membolak-balikkan lembaran kertas yang sedang dipegangnya. Dengan perasaan kesal, geram, Aya menatap kata demi kata yang ada di dalam kertas itu. "Enggak ada perubahan, apa yang udah kamu revisi?" Dengan tatapan sinis, Aya menatap lelaki berambut agak gondrong di hadapannya. Sebenarnya bukan gondrong, hanya saja sedikit urakan dan jauh dari kata rapi dan Aya sangat tidak suka melihat penampilannya. "Memang belum saya revisi sama sekali," sahut lelaki bernama Biru itu dengan cukup santai, tanpa rasa takut dan bersalah, seperti mahasiswa pada umumnya ketika sedang berhadapan dengan dosen pembimbing. Tapi seorang Biru Samudra Rajendra, sangat santai menghadapi Aya, dosen muda yang terkenal judes setengah mati. Banyak mahasiswa terutama mahasiswi yang sering sakit hati dengan perkataannya. Menurut Aya, kata-kata pedasnya bukan berniat untuk menyakiti hati, tapi sebagai motivasi. "Jadi ngapain kamu temui saya?" Tanya Aya geram, lalu menutup skripsi milik si mahasiswa abadi itu dengan sedikit hentakan. "Ibu yang maksa saya untuk ketemu hari ini, ya… saya mau gimana–" "Tapi maksud saya, dengan syarat, kamu udah melakukan revisi. Kalau belum, buat apa kamu temui saya, buang-buang waktu!" "Jadi, saya harus gimana? Ibu bilang kondisinya urgent karena Bu Aya mau ngambil cuti selama dua minggu, tapi kesannya malah Ibu terlalu memburu saya untuk revisi, padahal saya dikasih waktu cuma sehari. Ya mana bisa, Bu." Dengan beraninya, Biru menjawab setengah menantang dan akhirnya berhasil membawa emosi lawan bicaranya sampai ke puncak. Apalagi dengan gelagat sambil menaikkan bahu, seolah menyepelekan hal ini. Aya memang berencana untuk mengambil cuti selama dua minggu jika urusannya dengan Biru sudah selesai, karena Aya dan dua sahabatnya merencanakan liburan ke luar negeri bersama-sama dalam rangka mengobati patah hati Aya. Wanita itu resmi bercerai dengan suaminya sekitar tiga bulan lalu. Hingga gosip tentang status Aya yang kini seorang janda sudah mulai tersebar ke lingkungan kampus. "Sekarang, terserah kamu! Niat saya cuma mau bantu kamu, supaya kamu cepat selesai, waktu kamu dua bulan lagi, lewat dari dua bulan, kamu resmi ditendang dari kampus ini. Tapi jawaban kamu, seakan ini adalah kepentingan saya. Oke, sekarang terserah kamu aja!" Kesabaran Aya benar-benar habis. Dia berdiri, mengambil tas dan remote mobilnya yang tergeletak di atas meja kerja. Sungguh, dia ingin sekali mengabaikan mahasiswa bengal sejenis Biru. Tapi hati dan nurani nya masih berjalan dengan baik. Merasa tidak tega jika sampai harus ada mahasiswa bimbingannya yang didrop out, hanya karena dia menyerah membimbing mereka. "Bu, maaf kalau kata-kata saya salah." Setelah mengambil skripsinya yang belum selesai dan ditinggalkan Aya begitu saja, Biru ikut berdiri, mengejar Aya yang saat itu hendak keluar dari ruangan. Kebetulan, saat ini, Aya hanya sendiri di ruangannya tanpa ada staf yang biasa membantunya karena sedang jam istirahat. "Ya, kamu memang salah!" Sahut Aya. "Ngapain kamu sentuh-sentuh saya?!" Sentak Aya lagi, dengan nada kesal, lalu membalikkan badan, karena merasa pundaknya disentuh. "Berani sekali kamu?!" Dengan tatapan yang semakin tajam, dia mendongak menatap Biru yang jauh lebih tinggi darinya. Ditatap seperti itu, tidak membuat Biru takut, lelaki itu justru tersenyum, dan menatap Aya dengan lembut, hingga Aya sempat gugup dibuatnya. "Mau apa kamu? Saya kasih waktu sampai besok, temui saya lagi, di sini, jam sembilan pagi." Tegas Aya. "Padahal Ibu cantik banget, tapi kalau nggak judes." Kata-kata itu, terlontar begitu saja dari mulut Biru, dia masih menatap Aya begitu dalam, hingga Aya akhirnya memalingkan wajahnya ke arah lain. Wanita itu semakin tak habis pikir. Mengapa Biru begitu berani? "Diam kamu! Cepat selesaikan revisinya, segera saya acc skripsi kamu, saya udah muak lihat kamu tiap hari, dasar mahasiwa abadi!" Sentak Aya, lalu kembali melangkah. Namun, detik berikutnya, Aya merasa satu tangannya disentuh, dan digenggam cukup erat, hingga dia kembali menghentikan langkah. "Kamu gila, ya?!" Aya menepis tangannya yang sempat digenggam erat oleh Biru. "Saya semakin yakin dan mengerti, kenapa Ibu diceraikan suami, sikap Bu Aya terlalu dingin. Terlalu cuek, mana ada cowok yang tahan dengan perempuan judes seperti Ibu." Mendengar kalimat Biru yang semakin menjadi-jadi, Aya yang merasa dirinya masih waras, memilih mengalah dan meninggalkan lelaki itu sendirian di ruangan, dengan mata yang mulai berkaca-kaca, dia mengambil langkah. Hatinya sakit jika mengingat kejadian itu, dimana mantan suaminya memutuskan untuk menceraikannya. Padahal, bukan itu alasannya. Bukan seperti yang Biru katakan. "Baby, gimana? Masih dipersulit?" Aya baru keluar beberapa langkah dari pintu, melihat sosok seorang wanita berpenampilan modis, bertubuh tinggi bak model, menyapa Biru yang saat itu juga keluar dari ruangannya dan Aya yakin wanita yang lebih muda darinya itu adalah kekasih Biru. Karena jadwal mengajarnya masih beberapa jam lagi, Aya memilih pergi meninggalkan kampus untuk menenangkan diri. * "Kenapa nggak lo selesaikan aja urusan lo dengan si mahasiswa abadi itu, gampang banget, kan? Tinggal acc aja, dia sidang, kelar deh." Dua teman dekat atau bisa dikatakan sahabat Aya, sudah mulai muak mendengar keluhan Aya tiap kali mereka bertemu. Aya selalu mengeluh tentang mahasiswanya yang bernama Biru itu. Kali ini, Aya masih diam, belum menanggapi apapun atas saran sahabatnya barusan. Setelah menyeruput matcha latte, minuman pilihannya, kini wanita itu menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa. Seperti biasa, minimal seminggu dua kali, Aya dan dua sahabatnya melakukan pertemuan rutin yang menurut mereka wajib hukumnya, demi menjaga tali persahabatan yang sudah mereka rajut belasan tahun lamanya. "Lagian, itu anak cakep sih, namanya juga keren tapi–" "Etikanya nggak sebagus namanya," sahut Aya cepat atas pernyataan Reva, salah satu sahabatnya. "Nah, iya itu." "Bukannya gue nggak mau mempercepat urusannya dengan gue. Masalahnya, kalau gue langsung setuju dengan skripsinya yang amburadul itu, malah gue yang kena masalah dengan dosen-dosen lain. Ya, gue juga nggak mau mempermalukan diri sendiri dong, apalagi waktu sidang. Bisa-bisa si Biru dihajar habis-habisan sama dosen penguji lain. Ujung-ujungnya pasti gue juga kan yang dianggap doping nggak becus. Pingin nyerah gue rasanya." Kata-kata ingin menyerah dari Aya sudah sering terlontar dari bibirnya. Hanya saja, itu seperti sekadar kata tanpa perbuatan. Sempat dia ingin mengundurkan diri menjadi dosen, karena tidak sanggup menghadapi tingkah mahasiswa yang beraneka ragam. Sebenarnya, puncak masalah yang dia alami hari ini, bukan sekadar Biru yang tidak menyelesaikan revisi, tapi lelaki itu yang begitu berani membahas tentang hal pribadinya, dengan menggunakan kata-kata yang cukup menusuk. Dan hal itu tidak ingin Aya ceritakan pada Reva dan Nania. "Ribet ya jadi dosen, lo nggak pingin nyoba profesi lain, gitu?" Saran Nania. "Ntar kalau ada lowongan di kantor gue, gue kabarin, lo mau nggak?" Tawarnya sekali lagi. "Gue mau-mau aja. Tapi lo kan tau gimana mama dan papa gue yang backgroundnya dosen, mereka pingin ada penerus dan karena gue anak tunggal, ya terpaksa gue jadi korbannya," keluh Aya. Ting. Aya langsung menegakkan tubuhnya, saat mendengar notifikasi chat di ponsel utamanya. Ponsel yang biasa dia gunakan khusus untuk berurusan dengan mahasiswa atau urusan pekerjaan lainnya. Mahasiswa Abadi Bu Aya, maafkan kata-kata saya hari ini. Saya sadar, saya keterlaluan. Sebagai permintaan maaf saya, gimana kalau kita dinner malam ini? Sekaligus saya mau menyerahkan hasil yang udah saya revisi, ternyata kalau saya kerjakan sungguh-sungguh, selesainya bisa lebih cepat dari yang saya duga. Saya harap, Ibu mau menerima ajakan saya. :)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD