File - 1

1455 Words
Naxos Town, 2019   Malam ini adalah malam yang sama seperti malam-malam sebelumnya. Malam di mana Alexandria Greek memetik gitar sambil mendendangkan suara khas miliknya. Rambut ombre blondie-nya mengayun ke sana kemari seiring dengan gerakan kepala yang mengikuti alunan musik. Mata hijau terang seperti memakai kontak lensa itu sedang menebarkan pandangan, menatap dengan antusias para pengunjung restoran Platia—tempatnya bekerja. Senyum samar terukir di sela-sela bibirnya yang mendendangkan lagu. We're of top on the world, we're of top on the world Now darling, sit down, let go So can I call you're mine So can I call you're mine now darling for whole lot of time My heart finally trust my mind And I know somehow it's right Percaya atau tidak, suaranya sanggup menghipnotis semua pengunjung yang ada di sana. Lagu bertajuk Be my Forever dari Christina Perri melantun dengan sempurna. Hampir seluruh pengunjung menghentikan obrolan dan kegiatan mereka demi mendengarkan Lexi menyanyi. Suara merdunya bak sebuah mantra yang sanggup membuat orang terkagum-kagum. Bakat alami yang baru ia sadari ketika mulai beranjak dewasa, saat dia menjadi penyanyi pengganti—menggantikan temannya yang sedang jatuh sakit. Alexandria Greek atau bisa dipanggil Lexi adalah seorang penyanyi kafe yang menggantungkan seluruh hidupnya dari hasil menyanyi. Berpindah dari satu kafe ke kafe yang lain, dari satu restoran ke restoran yang lain, bahkan menyanyi di klub malam pun pernah ia lakoni. Dia hidup layaknya seorang vampire yang selalu berkeliaran di malam hari dan tidur di siang hari. Sejak dia beranjak dewasa dan terlepas dari panti asuhan, dia mulai menjalani kehidupan malamnya. Dia bahkan pernah menjadi gelandangan di saat job menyanyinya sepi. Diusir dari apartemen dan terpaksa tidur di jalanan layaknya seorang pengemis. Namun, kehidupan tidak selalu berada di bawah, lambat laun kehidupannya semakin membaik, job menyanyi semakin rutin memadati hari-harinya hingga dia bisa membeli rumah sederhana dari hasil menyanyi. Rumah yang bisa dibilang hutan belantara itu menjadi hunian yang nyaman baginya. Tepuk tangan riuh memenuhi seluruh ruangan restoran yang dipenuhi oleh wisatawan ketika Lexi mengakhiri nyanyiannya. "Terima kasih," ucapnya dengan mengangguk berkali-kali. Dia selalu senang melihat reaksi penonton yang puas mendengarkan suaranya. Mendengar nyanyian Lexi seperti sebuah candu yang tidak mengenal kata bosan. Mata hijau Lexi memberi kode kepada Julian—supervisor restoran—untuk mengatasi situasi yang riuh ini. Dia terus diminta menyanyi oleh pengunjung restoran yang ada di sana. Pita suaranya bisa putus dan mulutnya akan berbusa jika harus bernyanyi terus-terusan. Julian yang masih terkesima melihat penampilan Lexi langsung tersadar ketika melihat mata Lexi yang hampir keluar dari cangkangnya. Dengan cekatan, Julian langsung naik ke atas panggung untuk memberi pengertian kepada semua pengunjung. Dia tidak mau Lexi marah karena wanita itu akan berubah seperti nenek sihir ketika dikuasai amarah, dia tidak suka melihat Lexi seperti itu. Suara protes dari seluruh pengunjung restoran mulai menggema ketika melihat Lexi menuruni panggung. Mereka masih ingin mendengar Lexi bernyanyi. Tanpa memedulikan teriakan para pengunjung, Lexi berjalan dengan santai menuju meja yang berada di halaman depan restoran. Senyumnya mengembang ketika melihat seorang wanita yang seumuran dengannya sedang melambaikan tangan ke arahnya. "Hai Lexi," sapa Cleo dengan senyum lima jari. Cleo adalah sahabat Lexi di panti, dia bersahabat dengan Lexi dari kecil hingga sekarang. Lexi saudara satu-satunya yang ia punya di muka bumi ini, jadi sebisa mungkin dia tidak mau kehilangan kontak dengan Lexi. Seperti malam ini, dia menyempatkan mampir ke tempat Lexi setelah seharian lelah bekerja. "Sudah lama?" tanya Lexi dengan antusias. Dia mengambil duduk di samping Cleo. "Begitulah," jawabnya sambil menelengkan kepala dan mengaduk minumannya dengan pipet. "Suaramu selalu indah didengar. Lexi terkekeh, "Itu pujian yang sudah biasa aku dengar. Bahkan p****************g juga pernah memujiku seperti itu." Cleo berdecak mendengar perkataan Lexi. "Tidak semua pria itu hidung belang." Lexi hanya tersenyum miring menanggapi ucapan Cleo. Dia mempunyai trauma sendiri dengan seorang pria. "Apa kau mau banting setir menjadi seorang lesbian lalu sekarang kau berusaha mencoba mendekatiku?" Cleo memasang tampang jijik. "Astaga! Dasar gila!" Memang benar dia membenci pria, tapi bukan berarti dia harus menjadi seorang lesbian. Dia masih waras! "Ayolah Lexi, banyak pria yang lebih baik dari Lori. Ah ... mendengar namanya saja membuatku teringat dengan nama anjing peliharaan tetangga sebelah." Lexi tergelak setelah mendengar ucapan terakhir dari Cleo. "Entah apa yang kau lihat dari hewan peliharaan itu hingga membuatmu jatuh cinta." "Apa kau bisa berhenti membicarakannya? Membahas hewan peliharaan itu sanggup merusak mood-ku." Cleo mengangkat sekilas kedua bahunya lalu kembali menyesap minuman biru bercampur kuning itu. Dari kejauhan seorang pria memakai jas hitam dengan kemeja bergaris-garis sedang berjalan mendekati meja Lexi. "Dan dia salah satu dari spesies yang sama seperti hewan peliharaan tetanggamu," bisik Lexi ketika menyadari pria itu sedang berjalan menuju ke arahnya. Cleo hanya melirik sekilas lalu mengangguk samar—pura-pura tidak tahu. "Selamat malam, Nona Greek." Lexi langsung mengangkat kepala, lalu mengembangkan senyum penuh paksaan ke arah pria itu. "Penampilan yang bagus," lanjut pria itu sambil mengancingkan jas hitamnya. "Terima kasih, Tuan Felix." "Panggil saja Felix." Sekali lagi, Lexi hanya tersenyum kaku. "Apa ada acara setelah pulang menyanyi?" Lexi langsung bisa menebak ke mana arah pembicaraan pria ini. Dia melirik ke arah Cleo yang sibuk memakan kentang sambil memainkan ponsel. "Maaf, aku sedang ada acara dengan sahabat kecilku. Kebetulan kami ingin melepas rindu setelah lama tidak bertemu." Mendengar ucapan bohong dari Lexi, membuat Cleo berdeham. Lexi selalu menghindari ajakan seorang pria. Felix mengangguk paham sambil melirik Cleo yang tak acuh dengan kehadirannya. "Baik kalau begitu. Selamat bersenang-senang, Nona Greek." "Terima kasih, Tu ... em ... maksudku Felix." Felix menepuk pelan pundak Lexi. "Lain kali luangkan waktumu untukku." Lexi hanya tersenyum kaku mengiringi kepergian Felix—si pemilik restoran. Entah sudah keberapa kali Lexi menolak ajakan Felix, pria terkaya di Naxos Town. Dia pewaris tunggal dari Naxos hotel—hotel terbesar di kota yang hanya memiliki luas 429 kilometer persegi. Bisa dibayangkan berapa euro yang dipunya pria itu, bahkan harta yang dimiliki pria itu tidak akan habis oleh tujuh turunan sekalipun. Mata Cleo langsung mendelik ke arah Lexi, sedangkan Lexi hanya memasang wajah penuh tanya. "Apa yang salah?" Kali ini Cleo memutar bola mata jengah. "Oh Lord! Apa kau cukup waras? Dia Felix! pewaris tunggal hotel bintang lima dan berbagai restoran di seluruh Yunani. Ayahnya mendirikan hotel di setiap kepulauan ini. Kau bisa jadi wanita terkaya!" Lexi mengibaskan tangannya sekali. "Aku akan melajang seumur hidup." "Itu hanya pemikiran seseorang yang berotak dangkal! "Terserah mau bilang apa." Lexi malas beradu argumen dengan Cleo. Dia sudah lelah bertengkar dengan Celo tentang hal ini. Pria, pria, pria, hanya itu yang selalu menjadi perdebatan mereka. Jemari Cleo memijit pelipisnya sendiri ketika kepalanya hampir mendidih menghadapi sifat keras kepala Lexi. "Sudah berapa kali aku bilang, keperawanan itu sudah tidak penting di zaman modern ini." "Aku tahu." "Aku berani jamin kalau hampir seluruh wanita di sini sudah tidak perawan lagi dan aku termasuk dalam daftar itu. Aku masih bisa hidup dengan normal, Lexi!" "Itu kau, bukan aku." Cleo menghela napas lelah lalu menghempaskan punggungnya di sandaran kursi kayu. "Aku harap kau menjilat ludahmu kembali." "Tidak akan." Lexi masih menanggapi dengan dingin. "Dan pacari saja tanaman di halaman belakang rumahmu." "Mereka lebih baik daripada seorang pria." Cleo menarik dan mengembuskan napas berkali-kali untuk menetralisir emosinya. Dia tidak suka dengan Lexi yang seperti ini, tidak suka dengan pemikiran kolot Lexi yang mengagungkan sebuah keperawanan. Memang keperawanan itu berharga, tapi di zaman sekarang, keperawanan itu bukan suatu prioritas dalam sebuah hubungan. Bahkan seorang Dewi Yunani juga tidak perawan dan mereka juga berganti-ganti pasangan. Satu lagi yang tidak disukai Cleo dari Lexi, dia selalu mendapati Lexi berbicara sendiri dengan tanaman. Setiap kali Cleo memakinya seperti orang gila, Lexi selalu bersikeras kalau sahabatnya itu bisa berbicara dengan tanaman. Benar-benar gila! Bagaimana manusia bisa berbicara dengan tanaman? Hanya keturunan para dewa yang sanggup mendengar rengekan tanaman itu. "Aku rasa, kau harus periksa ke psikiater." "Aku tidak gila!" Lexi melemparkan delikan ke arah Cleo. "Aku tahu kalau kau tidak gila. Hanya kondisi psikismu yang tidak normal." "Lalu apa bedanya dengan gila?!" Cleo memejamkan matanya sejenak. "Dengar Lexi, aku hanya takut kau hidup sendiri dan mati membusuk bersama tanaman-tanaman yang katamu bisa berbicara itu. Kau seorang wanita yatim piatu dan kau hanya mempunyaiku. Di saat aku sudah tidak ada nanti, siapa yang akan menjagamu?" "Tanaman-tanaman itu yang menjagaku dan seperti yang kau bilang, aku akan membusuk bersama tanaman-tanaman itu." Cleo menggosok pelan lengan Lexi. "Aku menyayangimu, Lexi. Aku tidak mau kau sendirian di dunia ini." Tangan Lexi meraih tangan Cleo dari lengannya lalu menangkupnya. "Aku tahu, Clee. Aku juga menyayangimu, aku hanya punya kau di dunia ini. Percayalah, aku bisa hidup sendiri tanpa seorang pria. Dan yang perlu kau tahu, aku memang bisa berkomunikasi dengan tanaman, telingaku cukup waras untuk mendengar suara mereka." Mata cokelat Cleo menatap sendu ke mata hijau terang Lexi. Dia begitu sedih melihat sahabatnya yang memiliki pemikiran sempit dan juga terlalu banyak berimajinasi. Dia masih tidak percaya dengan semua yang diucapkan Lexi tentang kemampuan yang dimiliki sahabatnya itu. Di jaman modern seperti ini, hal itu sudah punah dan hanya dongeng semata. Cleo meremas kedua tangan Lexi, "Aku harap ada seseorang yang bisa mengubah cara pandangmu." Sebuah senyum kecut terukir di bibir tipis Lexi dan dengan mantap dia menjawab 'tidak' dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD