Mine Again

1705 Words
Pagi ini wajah Sedayu lebih segar. Binar ceria di matanya tak dapat dielakkan. Ia bangun lebih awal sebelum azan subuh berkumandang. "Pagi, Mbak. Gimana? Berhasil, ya? Ceria banget." Sedayu tersenyum sembari meletakkan piring di meja. Makanan untuk sarapan telah tersaji. Aromanya menguar membuat Bintang lupa belum mencuci muka. "Mandi dulu, Bin." "Enggak, ah. Aku mau makan aja." Salah satu kebahagiaan seorang ibu adalah ketika masakannya habis dimakan. Apalagi jika diiringi pujian. Semangat memasak semakin menggebu karena suasana hatinya seolah melayang. Itulah yang dirasakan Sedayu tiap kali masakannya dilahap Bintang. Rasa haru tumbuh, menyelinap masuk dalam relung hati Sedayu, memaksa segerombolan cairan bening menggenang di mata, lalu perlahan menetes ke pipi. "Masih pagi. Jangan nangis dulu." Gilang berdiri di samping Sedayu, menghapus air mata yang menetes di pipi sang kekasih. Ia tahu, itu bukan tangisan duka, tetapi rasa haru yang terbit dalam hati. Seperti itulah perempuan, segala hal dihadapi dengan tangisan. Nonton Drakor, baca buku, lelah, dan bahagia pun diekspresikan dengan air mata. Sebab rata-rata perempuan itu lebih mengandalkan perasaan daripada logika. "Iya, deh. Bumi milik berdua. Aku mau pindah ke Mars aja," ujar Bintang ketika Sedayu mendekap erat papanya yang dibalas dengan kecupan. Baginya, ini pagi terindah setelah duka menyelimuti hari-hari kemarin. Dalam relung hati terdalam, ia ingin seperti ini. Keluarga yang hangat tanpa rahasia. Dari masalah papanya, ia belajar arti kejujuran dan komunikasi dalam sebuah hubungan. "Foto, yuk!" ajaknya. Di tempat yang berbeda, Fira menggerutu ketika melihat unggahan terbaru keponakannya. Ia berdiri, menghampiri mamanya di dapur. Kali ini, ia harus menghasut mamanya lagi. Tidak boleh gagal. Gilang hanya bisa menjadi miliknya. Selama ini ia menolak semua lamaran demi mengharapkan Gilang, tetapi laki-laki itu seolah tak peduli pada perempuan. Lantas diam-diam nikah dengan perempuan yang lebih muda. "Ma, emang Mama tega Bintang diasuh perempuan enggak jelas kayak gitu? Sekarang dia benar-benar udah kembali ke rumah. Lihat, nih!" Fira menunjukkan foto yang diunggah Bintang. "Nanti kalau dia punya anak, Bintang bakal ditendang dari rumah." Sang mama terhasut. Ia mengajak Fira mengantarnya ke rumah Gilang. Pikirannya terpengaruh oleh bisikan jahat si Fira yang tak berdasar. Tidak peduli hari masih terlalu pagi, perempuan tua itu meneriaki Gilang ketika tiba di depan rumah. Bintang mendengkus kala mendengar suara sang nenek. Remaja itu menyayangkan sikap neneknya yang dinilai keterlaluan. Padahal kemarin sudah diancam. Sepertinya ancaman itu tak akan berguna jika tidak dibuktikan. Sebelum mereka beranjak dari ruang makan, Nenek dan si Fira sudah masuk. Tatapan tajam Nenek seolah hendak menghunus siapa pun yang melintas. "Wis tak kandhani, tok? Nganti kapanpun, inyong ra sudi. Yen rika padha tetep rabi, minggat saka kutha kene. Aja nggawa Bintang!" Sedayu terperangah. Bagaimana mungkin mereka harus pergi dari kota ini tanpa Bintang. Lagipula, kenapa perempuan tua ini semakin melunjak. Awalnya hanya tidak ingin ada yang menempati rumah anaknya. Sekarang malah disuruh pergi jauh. "Nenek keterlaluan. Aku benci Nenek!" Suara Bintang menggema. Remaja itu menyambar kunci di atas meja, lalu berlari keluar, menaiki motor dan melaju kencang. Sedayu berteriak histeris. Ia menarik Gilang agar segera mengejar Bintang. Perasaan dan pikirannya kacau. Cerita tentang kecelakaan papanya terngiang-ngiang. Ia tidak ingin anak sambungnya mengalami hal serupa. Sepanjang jalan di atas mobil, perempuan berambut keriting itu tak berhenti menangis. Istigfar dan doa-doa permohonan keselamatan sang anak tak henti terucap. Ketakutan pada hal-hal buruk pun turut menghantui. Kematian anaknya kemarin membuat Gilang hilang kendali. Bagaimana kalau sesuatu yang buruk terjadi pada Bintang. Ia menggeleng cepat, lalu berteriak kencang, "Tidak! Jangan menyiksa aku seperti ini, Tuhan!" "Hei, tenanglah!" "Bagaimana aku bisa tenang, Gilang? Aku ingin hidup bersamamu karena ingin Bintang juga bahagia. Tapi, kenapa Tuhan seolah menghalangi niat baikku?" Gilang tidak ingin berdebat. Perempuan di samping ini sedang berperang dengan emosinya. Bahkan tanpa sadar menyebut nama Gilang, bukan pa atau om seperti biasa. Ia mengembuskan napas. Sedayu tidak sebahagia yang ditampilkan. Kerapuhan itu terlihat jelas saat ini. "Tenang, ya. Itu Bintang di depan sana. Laju motornya stabil. Dia enggak ngebut. Kamu pantau saja ke depan. Okay?" Sedayu mengangguk sembari mengusap air mata. Meski masih terisak, ia berusaha tidak meluapkan amarahnya lagi dengan teriak-teriak tanpa kejelasan. Sudah hampir satu jam perjalanan. Jalur yang ditempuh Bintang semakin jauh dari kota. Jalanan pun sepi dari kendaraan. Hanya ada beberapa yang lewat dengan jarak berjauhan. Bintang menghentikan motor, lalu berjalan cepat ke arah persawahan. Sedayu berlari mengejar. Tak peduli medan yang dilalui cukup menantang. "Bintang, stop! Kamu mau ke mana, sih?" Meski mendengar suara ibu sambungnya, remaja itu terus melangkah cepat. Melewati tepi sungai yang mengalir deras. Di belakangnya, Sedayu juga berlari. Tanpa peduli teriakan Gilang yang meminta berhenti. Akibat berlari tanpa memperhatikan jalan, ia tersandung akar pohon dan jatuh tercebur sungai, lalu terseret aliran air yang deras. Gilang terperangah. Ia melepaskan sandal dan celana jeans, lalu berlari mengejar dari tepi sungai. Ketika berhasil melewati Sedayu yang sedang berusaha melawan arus, ia melompat dan tubuh Sedayu berhasil ditanggap. Ia berenang ke tepi, tetapi arus sungai terus menyeret hingga beberapa kali gagal meraih akar pohon. Beberapa petani mendatangi sungai ketika Bintang meminta pertolong. Salah satu melemparkan tali tambang ke arah Gilang, tetapi gagal di raih. Gilang kepayahan. Ia mendekap erat Sedayu sembari menutup mata, pasrah. Namun, wajah sendu Bintang terbayang-bayang. Seakan tersadar akan kekhilafannya, ia kembali meraih tali yang dilemparkan. Tiga kali akhirnya tali itu berhasil menarik dua orang itu ke tepi sungai. Meski tenaga habis terkuras, Gilang masih sadar. Sementara Sedayu tidak lagi bergerak. Seorang bapak memberikan pertolongan cardiopulmonary resuscitation atau resusitasi jantung paru dengan menekan telapak tangan di bagian tengah d**a yang sejajar dengan p****g. Akibat seringnya warga terseret arus, dokter mengajari warga sekitar pertolongan pertama pada korban. Sedayu kembali bernapas. Perlahan matanya terbuka. Meski masih lemas, tangannya bergerak mengusap kepala Bintang yang tertunduk dan menangis di samping. "Mbak! Maafin aku, Mbak." Sedaya menggenggam tangan Bintang. Meski lemah dan napasnya satu-satu, ia menarik bibir untuk menciptakan senyuman kelegaan. Tak masalah ia harus mengalami kejadian ini, asalkan Bintang tidak melakukan hal-hal buruk yang mencelakai dirinya. ??? "Diam!" Baru kali ini Gilang berani bersuara keras pada mertuanya. Sikap perempuan tua itu sudah tak mampu dibendung lagi. Jika sebelumnya ia mengkhawatirkan keselamatan Sedayu, tapi malah menyiksa diri dan menyakiti perempuan yang sudah dinikahi itu. Maka, setelah Sedayu memutuskan kembali, Gilang akan mengambil langkah tegas. "Aku minta, Mama sama Fira, tidak pernah injakkan kaki di rumah ini lagi. Aku dan Sedayu akan kembali menikah. Aku tidak akan bersikap bodoh dengan terus mengikuti kemauan Mama." "Mas, ini rumah Mbak. Kenapa kami dilarang?" "Kalau kalian tidak bersikap bodoh, aku tidak pernah melarang kalian. Tapi, tidak lagi untuk sekarang. Tidak usah banyak berkilah. Cepat angkat kaki dari sini. Atau, mau aku seret?" "Gilang ...." "Jangan katakan apa pun lagi, Ma. Aku tidak mau menurut. Aku pernah melakukan kesalahan pada Diani, tapi kematiannya bukan karena salahku. Kematiannya karena ajal. Aku sudah berusaha berubah dengan membesarkan Bintang. Tapi kalau Mama teruc menyalakanku dan ingin menyakiti Sedayu, aku benar-benar akan membawa Bintang pergi dari sini." Dua lerempuan berstatus ibu dan anak itu akhirnya berderap meninggalkan rumah Gilang. Rumah yang ingin dimiliki Fira beserta penghuninya. Perempuan berambut pendek itu masih menggeram dalam diam. Tidak akan memyerah begitu saja. Ia akan pikirkan cara lain untuk bisa bersatu dengan Gilang. Sejujurnya, rasa ingin memiliki Gilang itu sudah ada sejak lama. Sejak kakaknya masih hidup. Fira berusaha menahan diri, menyimpan gelora itu agar tak menyakiti kakaknya. Sialnya, setelah sang kakak meninggal, laki-laki itu sibuk menyalakan diri dan menolak mendekati perempuan mana pun. Harusnya ia bergerak lebih cepat, bukan sibuk pacaran dengan laki-laki kaya lainnya. Sementara di dalam rumah, Gilang memandang kepergian dua perempuan itu dengan napas naik turun tak beraturan. Setelah mertua dan adik ipar telah jauh dari pandangannya, Gilang membuang napas. Lega bisa menguatkan diri melawan mertua yang selama ini selalu dituruti. Ia berbalik, hendak masuk ke kamar dan menemui Sedayu. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Bintang berdiri di balik tiang raja. "Maafkan Papa, Bin. Papa harus ngusir Nenek." Bintang menyunggingkan senyuman tipis. Itu bukan masalah hingga harus minta maaf. Sudah sepantasnya Nenek diusir. Sikap perempuan itu di luar batas kemanusiaan. "Enggak masalah, Pa. Aku suka Papa bersikap tegas. Nenek emang udah keterlaluan." Bintang berdeham sejenak, lalu tersenyum menggoda pada papanya. "Kapan kalian nikah ulang? Enggak mungkin dong Mbak Dayu sama Papa tidur sekamar sebelum nikah." "Nanti sore," ujar Gilang datar, lalu bergegas menjauh dari sang anak. Seakan mengindar pembahasan lebih jauh. Anaknya itu suka menanyakan hal-hal yang sulit dijawab dengab santai. Ia membuka pintu dan mendapati Sedayu berusaha bangun. Bergegas ia menghampiri. "Kamu masih lemas, jangan bergerak dulu." "Aku udah enggak apa-apa, Lang." "Eh?" Gilang memandang dengan kerutan yang menandakan sebagai kebingungan nyata. Mereka memang belum resmi menjadi suami istri lagi. Namun, mendengar Sedayu memanggilnya dengan sebutan Lang sungguh di luar dugaan. Apa perempuan ini tak ingin memanggilnya 'Pa' lagi. "Kenapa? Mau aku panggil Om?" Gilang mendengkus. Panggilan Om memang sudah biasa jika itu dilakukan anak tetangga atau teman-temannya Bintang. Namun, akan terdengar sangat aneh jika istrinya yang memanggil. Panggilan Pa jauh lebih baik. Karena kebanyakan suami istri saling memanggil mama-papa atau sejenisnya. "Ya, udah. Gilang jauh lebih baik." Sedayu tersenyum sinis ketika melihat wajah Gilang tertekuk. Seolah tak senang jika dipanggil tanpa embel-embel. "Enggak mau usul panggilan yang lebih mesra?" Sedayu berusaha menggoda. Matanya mengerling nakal. "Aku enggak mau panggil Pa lagi. Kan, kamu sendiri yang ngomong kalau kamu bukan papaku. Jangan panggil papa, kan?" Gilang berdecak karena Sedayu masih memgingat ucapan buruk dan kasar yang pernah ia lontarkan. Kata-kata yang sengaja dikatakan untuk membuat Sedayu menyerah itu sungguh di luar kendali. Tak ingin Sedayu membahas hal-hal buruk yang telah mereka lewati, Gilang menarik perempuan itu mendekat. Tanpa satu kata pun yang diucapkan walau sekadar meminta izin, Gilang melumat bibir Sedayu. Kaki Sedayu seakan terpasung saat bibirnya disapa setelah sekian lama dibiarkan mengering. Tangannya melingkar di pinggang Gilang. Larut dalam kenikmatan. Lupa segalanya. Hingga tanpa sadar Gilang membawanya ke tempat tidur dan keduanya terguling, tidak saling melepaskan. Dering ponsel Gilang menyelamatkan. Pikiran waras keduanya kembali. Pagutan dilepaskan dan keduanya tertawa lepas. "Seharusnya kamu mendorongku, Sedayu." "Nunggu sore terlalu lama. Kenapa enggak sekarang saja?" Gilang tertawa sambil melirik ponsel yang tergelatak di lantai. Bahkan keduanya tak sadar, ponsel itu terjatuh dari salu Gilang. Pertanyaan Sedayu tak dijawab. Ia meraih ponsel itu dan menerima panggilan. "Apa? Fira membuat gaduh? Tunggu aku ke sana." Gilang melangkah keluar dengan tergesa. Bahkan tak peduli Sedayu menanyakan apa yang sedang terjadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD