Coming Back

1552 Words
"Papa sengaja bawa perempuan ke rumah agar Mbak Dayu kecewa dan pergi dari sini. Papa enggak ingin Mbak dicelakai Nenek dan Tante Fira lagi," cerita Bintang ketika Sedayu memaksanya mengungkap masalah yang terjadi selama ini. "Jadi Papa tahu kalau aku celaka di rumah ini?" Bintang menggeleng. "Papa diancam kalau enggak melepas Mbak Dayu, penderitaan-penderitaan akan selalu Mbak hadapi." Sedayu menghela napas, lalu tersenyum. Setidaknya ia tahu perasaan Gilang yang sebenarnya. Cinta di hati laki-laki itu tidak pernah hilang bersama kepergian buah hati. Justru cinta itu merekah kian dalam hingga rela melepaskan demi kesalamatan sang kekasih. Hati Sedayu seolah ditabur bunga-bunga, lalu diajak melayang bersama. Ia putuskan kembali ke rumah ini. Selama cinta itu masih ada, ia tidak akan menyerah. "Bin, kesalahan apa yang papamu lakukan waktu mamamu masih hidup? Kamu sudah diceritakan nenekmu, kan?" Bintang menunduk. Ini aib papanya, tetapi Sedayu juga harus tahu. Sungguh, ia sangat berharap setelah perempuan ini tahu, keadaan papanya berubah. Tidak jadi laki-laki pemurung lagi. "Dulu Papa selingkuh. Selalu pergi dari rumah enggak pulang sampai pagi. Padahal Mama sedang mengandung. Saat Mama mau melahirkan, Papa enggak ada di rumah. Mama pergi ke rumah sakit sendiri karena enggak mau Nenek tahu keburukan Papa. Lagi pula, saat itu HP belum seramai sekarang. Hanya beberapa orang yang memilikinya. Mama sendiri di rumah sakit. Dua hari Papa belum juga datang. Pihak rumah sakit akhirnya bisa mendatangkan Nenek karena Mama kritis setelah aku lahir. Nyawa Mama enggak tertolong, tapi Papa belum muncul. Nenek membawa jenazah Mama pulang. Setelah dikuburkan barulah Papa datang." Bintang terisak. Ia memeluk Sedayu. Hatinya tertusuk ketika mengingat lagi cerita kelam itu. Bagaimana mungkin seorang Gilang yang dibangga-banggakan melakukan hal sekeji itu. "Nenek marah, Mbak. Segala kutukan dan caci maki ia tumpahkan. Katanya, seumur hidup Papa enggak akan bahagia. Jika Papa menikah lagi, anak atau istrinya enggak selamat. Makanya mereka berusaha mencelakai Mbak agar Papa percaya jika kutukan Nenek menjadi kenyataan." Sedayu menghapus air mata di pipi Bintang. Ia mengukir senyuman, berharap sang anak dapat merasakan kelegaan yang menancap dalam hatinya. "Terima kasih, Sayang. Mbak lega banget setelah mengetahui cerita sebenarnya. Mbak akan berusaha merayu Papa. Kamu jangan bilang, ya kalau Mbak sudah pulang ke sini. Sekarang Mbak ke rumah dulu." "Gimana dengan Mas Ari?" tanya Bintang. Tidak mungkin ia merusak kebahagian orang lain demi kepentingan diri sendiri. Dari postingan Ari, ia bisa merasakan kebahagiaan laki-laki itu. "Enggak usah khawatir. Dia sudah bilang akan melepaskan Mbak jika Papa ngajak rujuk." ¤¤¤ "Dayu minta maaf, Mama. Dayu enggak bisa menikah dengan Ari. Dayu dan Gilang akan rujuk." Sudah sore, tetapi Ari belum pulang kerja. Sedayu mengambil kesempatan itu untuk meminta maaf pada Tanta Mardiyah. Ia yakin, perempuan ini bisa memberi pengertian pada anaknya. "Apa?" Ari sudah berdiri di ambang pintu. Hatinya panas seketika saat mendengar pernyataan Sedayu. Meski mengatakan akan melepaskan Sedayu, tetapi ia berharap kenyataan tidak seperti perkataanya. "Kamu udah pulang? Mau kubuatkan teh?" tanya Sedayu pelan. Tanta Mardiyah sudah melarikan diri ke dapur. Ia tidak ingin mencampuri urusan dua anaknya. Sebenarnya hati perempuan itu gamang jika Sedayu kembali bersama Gilang. Ia tidak ingin anak asuhnya disakiti lagi. "Kapan kamu ketemu Gilang?" Wajah Ari tak bersabahat. Gemuruh di d**a memperlaju gerakan napas. Kilatan kemarahan terpencar dari matanya. Ia masih berdiri di depan Sedayu. Dua tangannya dilipat ke d**a. Melihat reaksi Ari seperti itu, Sedayu menarik napas dalam-dalam. Janji yang digaungkan beberapa hari kemarin seolah menguap dan terlupakan oleh si pengucap. Seperti itulah manusia, senang mengobral janji. Namun, seringkali janji itu dihempaskan dan dianggap tak berarti. "Tadi aku ke kuburan dan ketemu dia di sana." Mengalirlah cerita seutuhnya. Tentang cerita Bintang dan tekadnya yang ingin mempertahan hubungan dengan Gilang. "Jadi ini atas inisiatif kamu sendiri dan Gilang belum tahu?" Sedayu mengangguk. "Gila, ya. Itu orang udah tua, tapi otaknya ke mana sampai nggak bisa mikir selayaknya orang dewasa. Semua itu bisa terjadi karena si botak enggak bisa tegas. Itu masalahnya." Sedayu tertawa keras saat melihat Ari berapi-api. "Kamu sendiri pernah melakukannya, Ri." Ari mendengkus saat diingatkan kebodahannya. Tidak bisa tegas pada perasaan sendiri dan tantangan teman yang tidak masuk akal. "Aku belum sedewasa dia." "Dewasa itu bukan usia. Jadi, please deh. Enggak usah nyalahin Gilang. Lagian, katanya kamu rela jika aku rujuk. Kok, sekarang marah-marah? Kayak politikus. Janji doang." "Tapi, Yu ... aku takut kamu sakit hati lagi." "Katamu, hidup adalah pilihan. Dan, kita harus legowo menerima konsekuensi dari pilihan tersebut?" Ari menghempaskan tubuhnya ke sofa kosong di samping Sedayu. Dua tangannya menyugar rambut sembari menghela napas panjang. Ia sudah pernah menyakiti Sedayu. Mungkin Tuhan memang tidak mengizinkan mereka bersama. Laki-laki itu menggenggam erat tangan Sedayu, lalu menunduk dan mengecup punggung tangan sang sahabat. "Aku merelakanmu." Kedua berpelukan. Tangis haru dan kesedihan menyatu. Tanpa melepaskan pelukan, Ari bertanya, "Kapan kamu ke rumahnya?" "Sekarang, Ri." Ari mengangguk dan melepaskan dekapannya. Senyuman terpaksa ia ukir meski dadanya seperti ditindi batu besar. Sesak dan menyakitkan. "Aku antar." Sepanjang jalan di atas motor, tidak ada obrolan yang mencairkan suasana. Kebisuan Sedayu ditemani oleh rasa bersalah pada Ari dan kebahagiaan yang membuncah. Sebentar lagi ia akan bersama Gilang. Namun, kesenyapan yang dialami Ari lebih ke penyesalan yang tidak bisa diperbaiki. Dalam diam hatinya berdarah. "Makasih, Ri," ujar Sedayu setelah motor berhenti di depan rumah Gilang. Perempuan turun dan berdiri di samping sahabatnya. "Aku tahu kamu sakit hati dengan keputusan ini. Aku minta maaf. Semoga kamu dapat perempuan yang lebih baik dari aku." Tidak ingin Sedayu merasa bersalah, Ari tersenyum lebar. Ia membusungkan d**a sembari mengangkat dagu. "Gimana kalau aku pacarin Hana?" Sedayu melotot. "Ngaco kamu. Hana itu masih kecil." "Kamu yang ngajo. Beda usia aku sama Hana itu cuma enam atau tujuh. Lah, kamu sama si botak, berapa coba?" Sedayu mengentakkan kaki. Pipinya menggembung dengan bibir cpemberut. "Aku serius, Ri. Jangan macam-macam sama Hana." "Bukan urusanmu, Ibu Muda." Ari menjalankan motor sembari teriak, "Bye. Aku mau ke toko, nyamperin Hana." "Ari!" Teriakannya sia-sia. Motor Ari sudah melaju dengan kecepatan tinggi. Ia hanya bisa menarik napas sembari melirih doa pengharapan, semoga Ari tidak berbuat mebmcam-mecam pada Hana. Ia melangkah masuk. Senyumnya merekah ketika melihat Bintang menyambut kedatangannya. "Bin, nanti kalau Papa pulang, kamu di kamar saja, ya. Pakai headset biar enggak dengar kalau Papa marah-marah." "Okay, Mbak. By the way, boleh enggak Mbak masak sesuatu. Kangen juga masakan Mbak." Sedayu mengangguk. Ia melangkah ke dapur, lalu mengolah masakan dengan hati yang gembira. Pukul sembilan malam ia masuk ke kamar. Kata Bintang, papanya sekarang pulang dari warung lebih awal. Paling telat pukul sepuluh. Debaran menggunjang dadanya saat mendengar suara mobil. Ia berdiri di balik pintu. Tangannya mencengkeram kunci. "Bin, kenapa enggak ke warung? Kamu sudah makan?" Suara Gilang terdengar. Sedayu menahan napas. "Udah, Pa. Aku ngantuk. Mau tidur duluan, Pa." Sedayu tertawa mendengar alasan Bintang. Ia menutup mulut ketika langkah Gilang semakin dekat. Pintu dibuka dan sosok Gilang masuk ke kamar, bergegas Sedayu mengunci pintu. Gilang terperanjat. Ia berbalik dan seketika membelalak saat melihat Sedayu memasukkan kunci ke dalam celana. "Kenapa kamu ada di sini?" Suara keras Gilang membuat Sedayu tertawa. Perempuan itu melangkah maju, lalu mendorong Gilang hingga terduduk di tepi ranjang. Ia bergerak naik, menduduki paha Gilang. "Jangan bersikap seperti p*****r, Sedayu!" "Enggak usah sok galak! Bintang sudah cerita semuanya." "Shi ...!" Umpatan Gilang tak terselesaikan karena Sedayu sudah membungkam mulutnya dengan ciumam. Kenikmatan yang menghanyutkan membuatnya enggan berhenti. Nafsu pun menuntut pada sesuatu yang lebih. Perlahan ia merasakan belaian di punggungnya. Sedayu tertawa tanpa suara karena Gilang terbawa arus kenikmatan. Seolah sadar atas kesalahan yang terjadi, Gilang mendorong Sedayu. Ia meringis ketika melihat Sedayu jatuh terduduk di lantai. Bergegas ia membantu sang mantan berdiri. Hampir saja ia tertawa, melihat Sedayu mengusap-usap p****t menahan sakit. "Keluar, Sedayu. Kita sudah cerai." "Aku tahu, tapi jangan mengusirku. Aku enggak akan keluar dari sini. Kamu hanya ada dua pilihan, nikahi aku lagi atau kita berzina malam ini." Gilang menggeram. Ia duduk dan menahan kemarahan yang entah meluap karena apa. Dua tangannya mengepal kencang. Napasnya naik turun. "Cepat putuskan!" "Tidak, Sedayu. Selama kita tidak akan menikah lagi. Cepat keluar!" "Baik. Rupanya kamu lebih suka kita berzina malam ini." Lagi-lagi Gilang dibuat tercengang, Sedayu melepaskan satu per satu pakaian yang melekat di tubuh. Napasnya tercekat. Ia laki-laki normal yang tidak mungkin tak bernafsu melihat pemandangan itu. Ia salah tingkah dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Pakaian terakhir terlepas. Sedayu mendekat. Ketika tangannya hendak membelai punggung Gilang, tangannya dicegat. Ia mengaduh seksi membuat Gilang semakin geram. "Jangan kayak gini, Yu." "Aku enggak peduli. Kalau malam ini kamu enggak nikahin aku, kita berzina." Gilang menarik napas. Kemarahannya telah reda, tetapi sesuatu yang lain di dalam sana mendesak keluar. "Pakai bajumu, Sedayu." "Lepaskan tanganku." Gilang menurut. Namun, bukannya memakai baju, perempuan itu menjatuhkan diri hingga keduanya terbaring di ranjang. Sekali lagi ia membuat Gilang terpedaya oleh kenikmatan yang mengalir. Sedayu terisak saat Gilang semakin tak terkendali. "Hei, hei, maafkan aku. Jangan nangis, please!" Perasaan bersalah menghantam nuraninya. Ia yakin, Sedayu menangis karena merasa pilihan zina yang akan dipilihnya. Padahal dua pilihan yang diutarakan perempuan itu pasti hanya gertakan. "Aku minta maaf, Yu. Jangan nangis lagi. Besok kita nikah." "Kenapa mesti besok?" "Sekarang sudah malam, Sayang." Sedayu membalikkan badan, meringguk membelakangi Gilang, memeluk tubuh telanjangnya. Gilang hanya bisa menarik napas. Ia menarik selimut, menutupi tubuh Sedayu, lalu ikut berbaring telentang. "Aku tidur di kamar sebelah, ya!" pinta Gilang. "Ngapain? Aku nggak bakal ngapain-ngapain, kok." "Aku tahu, Sedayu. Tapi, aku yang tersiksa."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD