Oppose

1455 Words
Ari tidak main-main dengan rencana pernikahan kontrak. Ia meminta bantuan pamannya Iyan yang bekerja di pengadilan. Laki-laki itu ingin perceraian Sedayu berlangsung cepat. Sudah berjam-jam Sedayu duduk menyendiri, di teras belakang toko. Tatapannya mengarah pada satu titik, tetapi pikiran menerawang jauh. Memikirkan rencana Ari, menjaga perasaan Tanta Mardiyah yang bahagia karena sang anak mengabarkan tentang pernikahan, pun hatinya yang masih ragu menggugat cerai Gilang. Ia tak pernah memimpikan pernikahan seperti ini. Ia hanya ingin menikah sekali seumur hidup, dipisahkan oleh maut, lalu bertemu lagi di surga. "Itu prinsip orang bodoh. Apa kamu akan terus mempertahankan suami yang membuatmu menderita?" Ari pernah mengomelnya saat ia mengatakan hanya ingin menikah sekali seumur hidup. "Nikah itu bersatu untuk menjalani kehidupan bersama. Suka dan duka dihadapi berdua. Bukan menciptakan duka berkepanjangan bagi salah satu pihak.” Perempuan itu menarik napas. Ia ingin berpikir rasional sekarang. Tidak melulu mengandalkan perasaan. Gilang sudah menalaknya. Bahkan sampai lima bulan berlalu, laki-laki itu tidak menampakkan diri lagi. Padahal Sedayu sangat berharap ia datang dan mereka kembali rukun seperti masa kehamilannya. "Mbak Dayu, ada tamu." Sedayu terhentak saat bahunya ditepuk. Hana berdiri di sampingnya. "Mereka mau pesan roti dalam jumlah banyak. Mau ketemu sama pemiliknya." Senyuman tipis tersungging di bibir Sedayu. Ia mngucapkan terima kasih pada Hana, lalu berderap menemui tamunya di bagian depan. Seorang laki-laki seusia Gilang dan seorang perempuan muda saling menggenggam satu masa lain. Rona bahagia terpancar dari wajah keduanya. Sedayu menghela napas karena pikirannya seketika membayangkan Gilang. "Selamat siang. Saya Sedayu. Pemilik toko ini. Ada yang bisa dibantu?" "Selamat siang, Mbak Dayu." Perempuan muda itu tersenyum hangat. "Ternyata orangnya cantik. Saya Melani, gurunya Bintang. Dia yang rekomendasiin tempat ini." Bintang? Gemuruh di d**a bergurindam. Anak itu masih mengingatnya. Ia pikir semua tentangnya akan dihapus dari ingatan mereka. Tanpa bisa dicegah, air mata mengalir yang membuat tergegap. "Eh, kok malah nangis?" "Maaf, Bu Melani. Mau pesan apa?" Melani menyodorkan sehelai kertas. Ada gambar kue yang berbentuk perahu, dihiasi bunga, dan sepasang pengantin saling berhadapan sedang mendayung bersama. "Aku mau dibuatin kue seperti di gambar. Besarnya segini." Melani menggambarkan ukuran dengan tangannya. "Pesan juga roti yang dasarnya mirip perahu. Topingnya cokelat, keju, kacang, dan pisang. Boleh kan mamanya Bintang?" Sedayu tergagap saat dipanggil mamanya Bintang. Itu artinya Bintang tidak pernah cerita lagi kalau papanya sudah bercerai. Remaja itu memang tipe yang senang berbagi kebahagiaan. Sementara duka yang dirasakan hanya disimpan sendiri. "Boleh. Kapan mau diantar?" "Hari Minggu di Panti Asuhan D'Basali." Kesepakatan terjalin. Uang muka telah dibayarkan. Pasangan itu pun pamit. Saat Sedayu mengantar mereka ke depan, Ibu Melani mengatakan hal yang tak terduga. "Bintang itu anak yang ceria. Apalagi saat dia menceritakan tentang kamu. Katanya, kamu mama idaman. Dia senang banget bisa punya mama. Entah kenapa, selama lima bulan ini dia berubah menjadi pemurung. Tidak ada keceriaan lagi di wajahnya. Dia tidak cerita, tapi aku harap hubunganmu dengannya baik-baik saja." Sedayu mengangguk. Ia tidak ingin mengatakan yang sebenarnya. Biarlah orang lain tahu mereka masih bersatu. Toh, tidak ada untungnya juga memberi tahu dunia. Apalagi berkoar-loar di sosial media. Itu sesuatu yang tidak etis. Hanya ingin eksis dan ribuan like, banyak orang menjual kesedihan. "Iya, Bu. Terima kasih sudah ngasih tahu. Nanti akan saya bicarakan dengan Bintang." Sedayu mencatat pesanan, lalu mengambil ponsel. Ia mengirimkan pesan pada Bintang, ingin bertemu. Namun, pesannya hanya centang satu. Ia berharap Bintang tidak memblokir nomornya. "Hana, aku pamit sebentar, ya!" "Mau ke mana, Mbak?" "Ke kuburan. Udah lama enggak tengok Papa dan Baby Gisayu." Baby Gisayu, anaknya yang meninggal. Nama itu singkatan dari Gilang sayang Sedayu. Tercetus begitu saja saat keduanya membicarakan nama anak. "Aku temani, ya!" "Enggak usah, Hana. Aku bisa sendiri. Kamu jangan kayak Ari, deh. Parno banget." "Kan, aku asistennya Mas Ari. Ntar aku dijewer kalau biarin Mbak pergi-pergi sendiri." "Sekarang dia sibuk kerja. Enggak bakal tahu kalau aku pergi." Sedayu mencebik dan Hana terkikik. "Awas, ya. Jangan ngasih tahu Ari. Dari sini ke kuburan itu cuma tujuh menit. Jadi, enggak usah lebay." Ia keluar tanpa menunggu jawaban Hana. Motor yang dikendarainya melaju ke area kuburan. Sepi. Biasanya kuburan ramai pada hari Jumat atau mau Ramadhan. Sedayu melangkah pelan. Langkahnya terhenti saat melihat seseorang di samping kuburan papanya. Dari postur tubuhnya, Sedayu meyakini bahwa itu adalah Gilang. Ia melangkah berjinjit, tidak ingin derap kakinya terdengar. Samar-samar ia mendengar isak tangis yang tertahan. Ia berdeham dan laki-laki itu menoleh. Saat melihat Sedayu, bergegas ia menghapus air mata. Dagu diangkat dan melipat kedua tangan di d**a dengan seringai meremehkan. Sedayu memandang sendu ke arah Gilang. Ia merasa laki-laki itu berbeda. Badannya terlihat kurus. Cekung di pipi terlihat jelas. Ia masih mengenakan topi kupluk. Seharusnya benda itu tidak dipakai lagi bukan. "Balik lagi ke Ari? Kayaknya hidupmu itu hanya seputar aku dan Ari, ya? Jangan-jangan waktu bersama aku, kamu malah membayangkan Ari." Tangan Sedayu mengepal. Gemuruh berlonjak membuncah di d**a. Hawa panas mengepul di ubun-ubunnya. Matanya melotot tajam. Bisa-bisanya kalimat keji itu terucap dari bibir laki-laki yang lima bulan ini begitu ia rindukan. Artinya, rindu yang dibangun tak berbalas. Selama ini ia tersiksa sendiri dengan perasaan yang sengaja disudahi. Namun, ia tidak ingin maki-maki. Tidak ada gunanya. Ia harus membalas dengan cara yang sopan. "Kok, kamu bisa tahu, sih? Stalking, ya? Cieee, segitunya stalking mantan." "Najis." Sedayu membelalak saat Gilang mengucapkan kata kotor itu sembari meludah ke samping. "Perempuan murahan kayak kamu enggak pantas dicari tahu kehidupannya." Gilang mendorong bahu Sedayu, lalu berderap pergi meninggalkan Sedayu yang terpaku. Air mata menguar seiring dengan denyut keperihan yang menancap di relung kalbu. Kakinya tak ada daya untuk berpijak ke bumi. Ia tersunggur di tanah kuburan. Dari jauh Gilang melihatnya. Air mata pun menggenang. Ia bersandar ke pohon besar di sampingnya, menghela napas dalam-dalam agar sesak tidak keterlaluan melonjak. Dering ponsel membuatnya taergagap. Bergegas ia menggeser tombol, lalu melangkah pergi tanpa melihat ke belakang. Ia tidak ingin Sedayu melihatnya masih di sini. Akan tetapi, harapannya tak terwujud. Saat mendengar dering ponsel, Sedayu menoleh. Kernyitan di dahi tercetak ketika melihat Gilang melangkah menjauh. Ia yakin, Gilang masih berdiri di balik pohon itu setelah beranjak meninggalkannya. Untuk apa? Sedayu berusaha mencari jawab dan mengira-ngira. Mungkin laki-laki itu ingin melihatnya menangis. Namun, ia menggeleng lagi karena alasannya tidak masuk akal. Ia mengalihkan pandangan ke kuburan, berusaha mengeyahkan sakit hati yang digoreskan Gilang. Lima menit berlalu, ia pun berdiri. Ia tersenyum hangat saat berpapasan dengan seorang bapak penjaga kuburan. "Opo iku makam bapakmu?" "Iya, Pa. Di sebelahnya anak saya. Kalau kuburan Mama bagian sana. Aku mau ke sana dulu." "Owalah, yen wong lanang sing seneng teka iku pamanmu, to?" Sedayu mengernyit. Siapa yang dimaksud. Mungkinkah Gilang? Apakah kehilangan anak sangat menyiksa laki-laki itu hingga berbulan-bulan belum mampu ikhlas? Sedayu menghela napas. "Laki-laki yang barusan tadi, Pak?" Si bapak mengangguk. "Teka saben dina, Mbak. Yen ora awan, mengko sore. Mung lungguh meneng wae. Kadang nangis dewe." Ini tidak beres, pikir Sedayu. Ia mengucapkan terima kasih pada si bapak, lalu berderap menjauh. Tujuannya kini harus menemui Bintang. Sebelum melajukan motor, ia mencoba menelepon anak itu. Tersambung, tetapi tidak ada balasan. Pesannya juga sudah centang biru. Tulisan Bintang mengetik bagian atas membuat Sedayu menunggu. Kayaknya kita enggak perlu ketemu lagi, deh. Aku udah tahu. Semoga Mbak selalu bahagia. Sedayu berdecak setelah membaca pesan Bintang. Ia memasukkan ponsel ke dalam tas, lalu melajukan motor ke rumah Gilang. Ia berdiri mematung, memandang sendu rumah yang sangat dirindukan. Pintu terbuka lebar. Perlahan ia melangkah masuk. "Kalian pikir aku enggak tahu kejahatan yang kalian lakukan?" Suara Bintang menggema. Sedayu masuk tanpa salam. Ingin tahu, siapa yang diamuk Bintang. "Selama ini Papa enggak nikah karena begitu peduli pada Nenek. Tapi, Nenek nggak punya hati. Kalian sengaja membuat Papa menderita karena percaya dengan kutukan bullshit itu. Lantas sekarang Nenek minta Papa nikahan Tante setelah berhasil menyinggirkan Mbak Dayu? Keterlaluan!" Sedayu menggeram. Ia melangkah mendekat. Tiga orang itu terkejut melihat kedatangannya tiba-tiba. "Kamu mau menikah dengan Gilang?" tanya Sedayu pada perempuan yang dipanggil Tante. "Jangan ngarep. Kami belum bercerai secara resmi. Aku enggak pernah mengizinkan Gilang hidup bersama perempuan sepertimu. Mulai hari ini, aku akan kembali ke rumah ini." "Kamu mau menguasai rumah anakku." Nenek tua itu membantah. Sedayu melipat kedua tangan di d**a sembari menyeringai. Ia tidak mau mengalah jika Bintang berpihak padanya. "Sayang sekali, tapi anakmu sudah meninggal. Dia enggak peduli rumah ini mau ditinggali siapa. Sebaiknya kalian pergi dari sini atau aku akan melapor kejahatan kalian." "Kamu berani?" Perempuan yang dipanggil tante itu menyeringai. "Emang punya bukti?" "Aku enggak butuh bukti, tapi Bintang akan bersedia menjadi saksi. Iya kan, Bin? Sedayu memandang Bintang yang terlihat ragu-ragu. Ia mengedipkan mata agar anak itu mau bekerja sama. Hanya untuk membuat dua perempuan beda usia itu merasa terancam. "Iya, Mbak. Aku akan menjadi saksi kalau Tante Fira membuat Mbak celaka." Sedayu tersenyum bahagia. Sementara dua orang itu menggeram, lalu melangkah pergi tanpa kata.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD