"Please, Yu. Menikahlah denganku! Apa susahnya sih ngelupain si Botak? Ini udah tujuh bulan dan kamu masih saja menangisinya. Bego tahu enggak?"
Sudah berulang kali Ari memohon agar Sedayu mau menerimanya. Laki-laki itu selalu ada. Bahkan toko roti Sedayu sudah kembali dibangun dan berkembang cukup pesat karena bantuannya. Tiap hari perempuan berambut keriting itu sibuk di toko. Lebih tepatnya menyibukkan diri. Jika tidak, ia akan menangis sepanjang hari karena mengingat mantan suaminya. Ari geram dibuatnya.
Seperti saat ini. Gara-gara semalam begadang, paginya Sedayu bersin-bersin dan sakit kepala. Ari melarangnya ke toko. Apalagi ini hari Sabtu. Laki-laki itu bebas mengontrol perempuan yang mau dijadikan istri tersebut.
"Gimana caranya aku ngelupain dia, Ri?" tanya Sedayu tanpa memandang ke arah Ari. Tatapannya kosong. Di bawah pohon waru di halaman belakang rumah, keduanya duduk di sana. Semilir angin sepoi-sepoi membelai, menciptakan kesejukan yang sulit dilukiskan. Namun, kesejukan itu tak mampu menembus relung hati perempuan yang hatinya dipatahkan sang kekasih. Hancur hatinya bagai diterpa tornado meski ribuan jam telah terlewati.
"Seperti kamu melupakan aku saat dia hadir."
"Jika kamu terus saja memaksa aku menikah denganmu, cinta itu enggak bakal kamu raih lagi, Ri."
Ari menyadari kesalahannya. Padahal dia tahu kalau sahabatnya tidak suka orang yang selalu memaksakan kehendak. Selama tujuh bulan ini ia begitu gigih memperjuangkan Sedayu. Namun, perjuangannya sia-sia karena salah strategi.
Ketika hari berganti dari Sabtu ke Minggu, Sedayu bersiap ke toko. Sakit kepalanya sudah reda. Hari Minggu seperti ini karyawannya libur. Namun, toko tetap buka. Sedayu yang tangani sendirian. Kadang dibantu Hana.
"Mau ke toko? Ayo, aku antar!"
Sedayu menurut. Motor melaju dengan kecepatan tinggi. Pengemudinya tidak peduli meski perutnya dicubit.
"Pelan-pelan, Ri. Kamu mau kita mati seperti papa?"
Suara protes Sedayu hanya diterbangkan angin, berlalu dan senyap. Laju motor semakin kencang hingga melewati toko roti. Rahang perempuan itu mengetat. Ari pasti sengaja. Ia mengomel sepanjang jalan. Meski hanya membuat mulutnya lelah karena tidak dihiraukan Ari. Perjalanan semakin jauh dari kota. Omelan Sedayu terhenti karena kelelahan. Ia mengeratkan pelukan di pinggang Ari, lalu menyandarkan ke punggung laki-laki itu. Matanya terpejam. Ia tertidur hingga motor berhenti.
"Bangun, woe!"
Sedayu merenggangkan badan sembari menguap. Ia membelalak ketika melihat pemandangan sekitar. Hamparan teh hijau membentang. Berlatar bukit dan gunung yang berdiri gagah. Langit cerah, tetapi siapa pun yang berdiri di tempat ini tidak akan gerah. Hanya ada kesejukan dihantarkan lambaian daun yang tertiup angin sepoi-sepoi.
"Kita di mana?" tanyanya sambil beranjak turun dari motor.
"Kebun teh Dukuh Aren. Mau nge-teh?" Sedayu mengernyit. Buat apa jauh-jauh hanya untuk nge-teh, pikirnya. "Teh di sini cuma dijemur, lalu diseduh air panas. Enggak ada tambahan melati. Jadi murni teh. Nikmatnya tentu beda dengan teh yang sudah diproduksi perusahan besar."
"Aku enggak butuh teh." Sedayu merajuk. Ia membantingkan kaki sembari menggembungkan pipi. Ari menatapnya dengan senyuman merekah. Laki-laki itu senang sikap manja sahabatnya telah kembali. Ia tidak mengatakan apa pun. Hanya diam dan terus memandang Sedayu dengan senyuman kelegaan. "Tapi ... aku suka di sini. Sejuk banget. Lihat pemandangan hijau gini mataku jadi seger."
Perempuan berbadan ramping itu melirik kiri kanan. Binar matanya ceria. Senyuman pun terlukis indah di bibirnya. Ia terdiam ketika melihat Ari terus memandangnya. Dulu, jika dipandangi Ari seperti itu, ia akan salah tingkah. Pipinya bersemu merah.
"Kenapa liatin aku kayak gitu?" tanyanya. Ari meletakkan tangan ke pundak sang sahabat, lalu mengajak jalan. Keduanya tiba di depan sebuah rumah kecil. Seorang ibu paruh baya menyambut kedatangan mereka.
"Owalah, iki calon bojomu to? Monggo-monggo!"
Sedayu menatap tajam sahabatnya. Geram karena Ari cekikan saat ibu-ibu itu menyebutnya calon istri.
"Ini temannya papa waktu masih muda dulu," ujar Ari tanpa ditanya. Ia tahu Sedayu ingin diberi penjelasan kenapa begitu akrab dengan pemilik rumah. "Mereka masih menjalin hubungan baik hingga kini."
"Jadi kamu sudah berulang kali datang ke sini?" tanya Sedayu. Bibir perempuan itu mengerucut kala melihat anggukan di kepala sang sahabat. "Kok, aku enggak pernah diajak?"
Kalimat protes itu ditanggapi dengan tawa kecil. Ari memiringkan kepala, lalu ditopang. Ia memandang Sedayu lekat-lekat.
"Menurutmu kenapa kamu enggak diajak?" tanyanya.
"Karena aku enggak penting."
Ari tertawa. Ia menjawil ujung hidung sahabatnya, kemudian beranjak sembari menarik tangan Sedayu mengikutinya ke dapur.
"Kita lihat cara pembuatan teh," ujar Ari.
"Emang beda? Tadi katanya cuma diseduh air panas."
"Itu secara umum. Tapi, di rumah ini beda."
Keduanya memperhatikan si ibu menyangrai daun teh menggunakan tungku kayu. Wangi yang khas menyeruak indra penciuman, menimbulkan hasrat untuk mencicipinya. Sepoci teh hangat telah terhidang di depan keduanya. Ari menuangkan ke gelas dan menyilakan Sedayu merasakan kenikmatan teh yang tidak mungkin didapatkan saat di rumah sendiri.
"Iki gulone."
Sedayu mengernyit. Baru kali ini ia disuguhkan teh dengan gula terpisah. Ia tersenyum canggung sembari melirik Ari yang menahan tawa. Mungkin karena melihat wajah kebingungan Sedayu yang dianggap lucu.
"Bulik Karmi emang gini, Yu. Enggak pernah naruh gula ke minuman tamu. Coba kamu tebak kenapa?" Hanya ada mereka berdua di ruang makan. Si ibu pemilik rumah sudah sibuk di dapur.
"Mungkin ..." Sedayu berdeham, menjeda kalimatnya sembari memicingkan mata. "Enggak mau salah takaran kali."
"Pinter. Karena takaran tiap orang itu berbeda. Hanya kamu sendiri yang tahu takaran manisnya." Ari menggenggam tangan Sedayu. "Sama seperti hidup, Yu. Kita sendiri yang mengatur kadar bahagia dan sedih. Semua pikiranmu. Jika kamu terus berpikir bahagia, meski hatimu dipatahkan, kamu masih bisa terus berbahagia. Karena menganggap bahwa semua akan baik-baik saja."
Dalam diam ia mencerna kalimat bijak sang sahabat. Kalimat motivasi itu sudah sering ia dengar dan baca. Namun, butuh dibaca atau dinasihati orang lagi ketika masalah menimpa diri. Seperti itulah manusia. Setiap hari harus diberi kalimat motivasi dan penyemangat. Jika tidak, motivasi-motivasi yang sudah didengar dan dibaca itu akan tenggelam ke lautan lupa.
Ia tidak mengatakan apa pun. Hanya sibuk memikirkan kehidupan selanjutnya sembari menyeruput teh yang sudah diberi gula. Setelah minumannya tandas, ia berdiri tanpa kata. Perempuan itu berjalan keluar, lalu berdiri di bawah pohon dan memandang ke hamparan luasnya kebun teh.
Ari menghampiri, lalu memeluk Sedayu dari belakang. Dagunya bertengker di pundak sang sahabat.
"Kita menikah kontrak aja, Yu."
Sedayu melirik ke samping tanpa melepaskan diri dari dekapan Ari. Keningnya berkerut hingga kedua alisnya bertaut.
"Aneh banget, sih. Udah kaya drama aja pakai nikah kontrak segala."
"Ya, daripada kita bersama terus kayak gini. Kan, enggak baik juga. Apalagi aku pernah nekat berbuat buruk padamu. Kita nikah aja, Yu. Aku janji enggak ngapa-ngapain tanpa persetujuanmu. Nanti kalau kamu menemukan orang yang tepat, aku bakal ikhlas melepaskanmu."
Sedayu membebaskan diri dari dekapan Ari. Ia berderap menjauh. Keinginan Ari dianggap terlalu drama.
"Aku serius, Yu." Ari menarik tangan Sedayu, menghentikan langkah sang sahabat.
Sedayu menarik napas. Pandangan sendunya terarah ke mata Ari.
"Ri, aku bahkan belum resmi bercerai di pengadilan."
"Nanti aku bantu pengurusannya. Memangnya kamu masih berharap diajak rujuk?"
Sedayu terdiam. Ada kebenaran dari pernyataan Ari. Ia memang berharap Gilang mengetuk pintu rumahnya, lalu memohon maaf dan mengucapkan kalimat rujuk. Harapan yang mungkin mustahil terwujud. Tiap kali ia stalking akun Gilang, tidak ada unggahan terbaru sejak tujuh bulan lalu. Foto kebersamaan mereka bahkan telah dihapus. Akun Bintang memang masih ada foto pernikahan Sedayu, tetapi anak itu tidak pernah lagi menghubunginya.
"Kita nikah siri saja. Tidak perlu banyak orang tahu. Nanti kalau si botak itu ngajak balikan, aku akan melepaskanmu."
Ari meringis karena kepalanya dijitak, lalu diomeli.
"Nikah kok main-main."
Laki-laki itu masih mengusap-usap kepalanya. Namun, saat melihat senyuman manis terukir di bibir Sedayu, sakit di kepalanya seolah lenyap tak berbekas. Ia merogoh saku, mengeluatkan ponsel lalu menyalakan mode kamera.
"Foto, yuk!" Ia menarik Sedayu mendekat. "Kamu mendongak sambil tersenyum, ya. Biar kayak selebgram gitu."
Perempuan itu menurut. Ia memandang awan yang berarak. Senyumannya merekah. Pada hitungan ketiga, ia terkejut saat pipinya dikecup. Sebelum tanganya melayang, Ari telah lari menjauh. Tanpa minta izin Sedayu, laki-laki itu membagikan foto kecupan itu di i********:. Sengaja agar dilihat Gilang, laki-laki yang membuatnya geram.
Sementara di tempat berbeda, Bintang meneteskan air mata saat melihat foto yang batu saja diunggah. Anak itu memang mengikuti akun Ari untuk mengetahui kabar terbaru Sedayu.
"Kamu kenapa, Bin?" tanya Gilang yang baru pulang dari warung.
"Harapan Papa terwujud. Mbak Dayu sudah bahagia."
Tangan Gilang terjulur, mengambil ponsel yang disodorkan sang anak. Gemuruh di dadanya bertalu ketika melihat senyuman merekah sang mantan istri. Ia mengembalikan ponsel Bintang, lalu berderap masuk ke kamar. Tidak ingin Bintang melihat ada cairan bening menggenang di matanya.