Pukul sebelas siang, mobil Gilang memasuki halaman. Ia berjalan gontai. Matanya memerah. Kepalanya tidak ditutupi topi kupluk seperti biasa. Bau alkohol menyeruak ketika ia melewati Sedayu yang berdiri kaku tidak jauh darinya. Laki-laki itu masuk ke kamar, lalu berbaring menelungkup. Sepatunya tidak dilepaskan.
Perlahan Sedayu memasuki kamar. Tanpa melirik kepala Gilang, ia membuka sepatu dan menyelimuti suaminya. Mendung bergelantung di wajah perempuan itu. Pernikahan impian yang didambakan seakan berlari menjauh. Perhatian dan kasih sayang suami selama kehamilannya kini telah meluap. Kepergian sang anak bukan hanya mencipta duka, tetapi juga mencabut cinta dalam rumah ini.
Ia duduk melantai. Dua kaki diteguk. Kepalanya tertunduk, membiarkan air mata terjatuh membasahi kedua lutut. Tangisan tanpa suara sungguh semakin memberi ruang pada sesak. Semakin ditahan semakin perih. Ia sesenggukuhan lalu merintih.
"Berisik!'
Gilang terusik. Sudah beberapa menit yang lalu. Ia hanya diam. Namun, hatinya tersayat kala tangisan itu semakin mengiba.
"Ma-maaf!"
"Keluar!"
"Pa ..."
"Aku bukan bapakmu. Cepatan keluar!"
Sedayu bergeming. Ia bertekad, tidak akan beranjak sampai Gilang memberinya penjelasan. Kenapa ia yang kena imbas kemarahan laki-laki itu ketika mereka sama-sama kehilangan. Kematian anak bukan salahnya. Memang anaknya terlahir lebih awal karena ada sebabnya. Sebab yang masih ia tutupi hingga detik ini. Namun, sebab-sebab itu tidak akan terjadi jika tidak diizinkan Tuhan, kan? Jadi, kematian anaknya sudah ditakdirkan Tuhan. Ia sebagai manusia hanya bisa pasrah atas ketentuan-Nya. Sebab ia selalu yakin, Tuhan mengambil sesuatu untuk mendatangkan hal lain yang tak terduga.
"Apa salahku? Kenapa aku diperlakukan seperti ini? Aku kehilangan Papa dan juga anak yang bersemayam dalam tubuhku selama berbulan-bulan. Bukan cuma kamu yang kehilangan. Aku juga. Aku ibunya. Lantas kenapa aku yang kena kemarahanmu pada takdir?"
Gilang menghapus air mata yang menetes, lalu bangun dan menyeret istrinya keluar. Ia tidak ingin mendengar tangisan yang semakin menusuk raganya. Ia hempaskan tubuh Sedayu hingga membuat kepala perempuan itu terbentur tembok. Meski mendengar istrinya mengaduh, ia berderap masuk ke kamar.
"Ya, Allah! Mbak!"
Bintang sedang belajar. Ketika mendengar suara benturan dan pekikan kesakitan, ia tinggalkan kelas online yang sedang berlangsung. Ia terbelalak melihat Sedayu terbaring di lantai. Tangan ibu sambungnya mengusap-usap kepala. Ia hampiri dan membantu Sedayu berdiri.
"Mbak dipukul Papa?"
Sedayu menggeleng. Ia tidak ingin Bintang mengamuk lagi seperti dulu. Apalagi saat melihat tatapan remaja itu berkilat-kilat, seolah tidak terima jika papanya berbuat kejam.
"Mbak enggak bisa diam saja. Papa udah keterlaluan. Enggak pulang semalaman, sekarang malah membuat Mbak celaka."
"Bin, mbak enggak apa-apa, kok. Emosi papamu belum stabil. Tadi salah mbak juga yang mematik api kemarahannya." Sedayu memaksakan senyuman tersungging untuk menenangkan hati sang anak. Namun, senyuman itu terasa hampa. "Kembalilah ke kamar. Ini masih jam sekolah. Nanti kalau Papa sudah tenang, kita ajak dia bicara."
"Oke. Sebaiknya Mbak jauh-jauh dari Papa."
Kehangatan menjalar ke seluruh raga. Ia semakin percaya bahwa, bersama kesulitan ada kemudahan. Bersama kesakitan yang diciptakan satu orang, selalu ada cinta tulus dari pihak lain yang siap merangkul. Hidup ini tentang dua sisi. Kebaikan dan keburukan berjalan beriringan. Suka dan duka tidak pernah terpisahkan. Seperti keadaanya sekarang yang tak dipedulikan suami. Namun, kepedulian dan perhatian itu ia dapatkan dari anak sambung yang masih belasan tahun.
***
Matahari mulai condong ke barat. Semburat jingga menghiasi langit. Sabda alam yang seharusnya meneduhkan hati. Namun, hati Sedayu semakin tertusuk saat Gilang berderap keluar. Sama seperti kemarin, tanya Sedayu hanya menguap hampa.
Ia duduk menyendiri lagi hingga seluit damar menjulang lurus menatap petala. Sunyi, sepi, dan perih menemani. Adakah hati yang tak terluka kala kehidupan cintanya semerana ini? Ia tertidur di sofa bersama pelukan lara dan cumbuan duka.
Tidak jauh darinya, Bintang duduk bersandar di dinding. Matanya terpejam. Pikirannya kacau memikirkan perubahan sikap Gilang. Ia tidak mau masalah ini berkelanjutan. Sedayu tidak bisa menerima perlakukan keji seperti ini berlarut-larut.
Ketika deru mobil berhenti di depan rumah, ia berdiri dan melangkah ke ruang tamu. Sedayu juga terbangun. Sudah pukul dua pagi. Bintang geram saat melihat papanya turun dari mobil digandeng perempuan berbaju seksi. Ia hampiri dan mendorong perempuan itu menjauh. Sedangkan Sedayu terpaku. Dibentak masih bisa ia tahan. Namun, tidak untuk diduakan.
"Papa, kalau mau gila bukan begini caranya, Pa?"
Gilang mengibaskan tangan dan tersenyum sinis. Ia kembali merangkul perempuan berbaju seksi itu, lalu mengajaknya masuk.
"Apa-apaan, sih?"
Bintang menarik si perempuan keluar. Namun, tangan Gilang terangkat dan melayang di pipinya. Remaja itu membelalak. Sakit di pipi tidak sebanding dengan sesuatu yang menusuk di d**a. Selama ini ia tidak pernah dibentak apalagi ditampar. Itu sesuatu yang di luar nalarnya. Bagaimana papanya bisa berubah dalam waktu sekejap.
Sedayu menjerit. Ia menghampiri Bintang dan ditarik masuk ke kamar. Darah menetes dari sela bibir Bintang. Sedayu membasahi handuk kecil dengan air hangat, lalu mengompres bekas tamparan itu.
"Aku benci Papa. Aku benci ..." Remaja itu mengedau. Air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya meleleh. Padahal selama ini ia selalu berprinsip kalau laki-laki itu pantang menangis. Bahkan saat kakeknya meninggal, ia hanya meneteskan air mata. Tidak menjerit seperti kehilangan Sedayu di Bukit Rangkok dan kehilangan cinta papanya saat ini.
Sedayu menggenggam tangan Bintang. Berharap genggaman itu mampu menguatkan sang anak. Meski itu terdengar mustahil, tetapi sudah dibuktikan dengan uji studi lapangan. Bahwa, berpegangan tangan dapat mengurasi produksi hormon stres.
"Aku mau pergi ke rumah nenek."
Bintang berdiri. Ia tidak ingin lagi bertahan di rumah yang seperti neraka ini. Namun, Sedayu memeluk lengan sang anak, berusaha menahan keinginan Bintang untuk meninggalkan rumah.
"Tetap di sini, Bintang. Ini sudah larut. Mbak izinin kamu ke rumah nenek, tapi besok dan hanya untuk beberapa hari."
"Buat apa aku di sini, Mbak. Papa udah keterlaluan. Selama ini dia enggak pernah mukul aku." Bintang menyeka air mata dengan punggung tangannya. "Mbak juga ngapain bertahan di sini? Ini bukan rumah lagi, tapi neraka. Mbak mau sampai kapan disakiti kayak gini. Pergilah, Mbak! Maafin aku karena dulu memaksa Mbak menerima Papa."
Sedayu mengusap puncak kepala Bintang. Ia tersenyum hangat, meski lara masih bergelantungan dalam kalbu.
"Kamu tahu, Bin. Mbak senang banget bisa mengenal anak sepertimu. Kamu dewasa, mandiri, pintar, ganteng. Jadi, untuk menghadapi perlakukan Papa padamu saat ini, bersikaplah dewasa seperti hari-hari kemarin."
"Tapi, hatiku sakit, Mbak."
"Karena kamu manusia. Sakit hati itu salah satu anugerah yang patut disyukuri. Itu artinya kita masih punya hati."
Bintang mengangguk, lalu kembali duduk di pinggir ranjang. Ia masih bersungut-sungut dan sesengkuhan. Air mata masih saja menggenang.
"Tidurlah! Besok kita sambut hari baru."
Sedayu meringis sendiri ketika mengucapkan kata itu. Besok ia akan pastikan hubungannya dengan Gilang. Ia juga tidak ingin bertahan jika sang suami tidak lagi menginginkannya.
***
Sudah pukul sembilan pagi. Gilang dan Bintang belum keluar dari kamar. Semalam Sedayu tidur di ruang perpustakaan. Tidak. Ia tidak tidur. Hanya duduk merenung sambil membolak-balik halaman buku tanpa dibaca.
Pagi ini ia hanya membasuh wajah. Tidak bisa mandi karena bajunya ada di kamar yang ditempati Gilang dan selingkuhannya. Ia harus pergi dari sini, tetapi harus memastikan hubungannya. Perempuan itu duduk diam di sofa ruang tamu, menunggu Gilang keluar dari kamar.
Satu jam kemudian, Gilang keluar bersama perempuan itu. Penampilannya rapi, menggunakan topi kupluk. Wajahnya tidak semurung hari-hari kemarin. Ia melirik sekilas ke arah Sedayu duduk terpaku menahan air mata.
"Makasih, ya," ujar Gilang pada selingkuhannya. Setelah perempuan itu tak terlihat lagi, ia berjalan masuk, sengaja melewati Sedayu tanpa menegur.
"Aku mau bicara."
Langkah Gilang terhenti. Ia menyeringai. Memang itu yang ia harapkan.
"Ada apa? Cepatan! Aku mau ke warung," ujar tanpa menghadap ke arah Sedayu.
"Ceraikan aku!"
Gilang menarik napas. Ia membalikkan badan menghadap istrinya. Perempuan itu menunduk. Air mata selalu setia menemani.
"Baik. Sedayu Bening, aku menalakmu. Silakan urus sendiri perceraian secara hukum di pengadilan."
Gilang melangkah masuk, meninggalkan Sedayu meringguk menahan perih. Ia berdiri. Tanpa mengambil barang-barang di kamar, ia keluar dari rumah mantan suaminya. Pergi membawa luka yang masih menganga.
Sementara Gilang memandang kepergian Sedayu dengan hati tersayat. Ia masuk ke kamar Bintang. Anak itu berdiri di ambang pintu, menyaksikan perpisahan papanya dan Sedayu. Gilang menghampiri sang anak, lalu memeluknya erat-erat. Air mata membanjiri pipinya.
"Maafin papa, Nak. Papa sudah menyakitimu. Seharusnya papa memang enggak menikah lagi."