Sembilan hari telah berlalu, tetapi duka itu masih bergelayut. Sedayu yang terpuruk karena kehilangan papa dan anaknya sekaligus, tidak semengenaskan Gilang. Laki-laki itu seperti mayat hidup. Hanya duduk menyendiri dalam kamar, menatap kosong ke arah dinding. Tidak keluar sama sekali. Sedayu atau Bintang yang setiap hari memaksanya makan. Itu pun hanya empat sampai tujuh suapan.
Kesedihan Sedayu seolah menguap ketika melihat keadaan suaminya seperti itu. Ia tidak habis pikir, bagaimana mungkin laki-laki bertubuh kekar seperti Gilang menjadi tidak berdaya seperti remaja yang kehilangan. Bukankah sejatinya lelaki dewasa itu lebih sigap menghadapi ujian? Lantas kenapa Gilang seolah mati ketika diuji oleh kehilangan.
Air mata perempuan berambut keriting itu menetes. Ia berdiri di ambang pintu, memperhatikan suaminya yang masih memandang jendela tanpa berkedip. Tepukan di bahu mengalihkan perhatiannya.
"Maafin Papa ya, Mbak."
Bintang baru selesai mengerjakan tugas sekolahnya. Hatinya pun perih melihat Sedayu meneteskan air mata setiap hari. Pada masa pemulihan setelah operasi, harusnya dimanja dan diperhatikan suami. Nyatanya, hak itu dikacaukan dengan sikap Gilang yang terpuruk oleh keadaan. Ia tahu, kenapa papanya jadi seperti itu.
Sedayu menghapus jejak air mata, lalu mengajak Bintang duduk.
"Kerjaan sekolahnya sudah beres?"
Bintang menarik napas. Sedayu selalu memaksakan senyuman agar terlihat tegar. Namun di balik itu, ada kerapuhan yang semestinya dirangkul agar tak tercerai-berai.
"Mungkin Papa teringat kejadian dulu waktu Mama melahirkan aku. Mama merenggang nyawa sebelum Papa tiba di rumah sakit. Sekarang anaknya yang meninggal. Papa enggak setegar seperti yang terlihat selama ini."
Bintang menunduk. Air matanya melesat keluar. Ia tidak ingin keluarganya seperti ini. Dambaan keluarga bahagia harus tercipta saat papanya nikah lagi, bukan terkungkung dengan penyesalan masa lalu. Meski remaja itu tidak tahu cerita sebenarnya, tetapi menurut kisah yang dituturkan sang nenek, kesalahan papanya memang fatal.
Beberapa tetangga ada yang menyalahkan nenek, kenapa menceritakan kesalahan Gilang pada Bintang. Itu sama saja dengan mencoba menanamkan kebencian sang anak pada papanya. Ya, awalnya ia sangat kecewa atas kelakuan Gilang. Namun, semakin bertambah usia ia menyadari, papanya tidak sejahat itu. Saat itu, papanya sedang terlena oleh rayuan palsu. Apalagi saat melihat penyesalan terlukis jelas dari keseharian Gilang. Kebencian di hati Bintang pun luruh.
Sedayu menggenggam tangan anak sambungnya. Remaja ini sama sepertinya. Sedih dan terluka, tetapi berusaha tegar untuk saling menguatkan.
"Kamu fokus belajar saja, Bin. Biar Mbak yang berusaha menguatkan Papa. Sebentar lagi ulangan, kan?"
Ponsel Bintang berdering. Ia melirik sejenak lalu menepuk jidatnya, lupa kalau sedang janjian dengan teman.
"Mbak, aku pamit sebentar. Mau ke rumah teman."
"Jangan kelamaan. Pakai masker, bawa hand sanitizer."
"Enggak sekalian disuruh pakai azmat, Mbak."
Sedayu tertawa. Itu tawa pertamanya sejak kepulangannya dari rumah sakit. Bintang berharap, tawa itu akan selalu ada dan menghiasi hari-hari mereka.
Setelah kepergian Bintang, Sedayu merenung. Berbagai tanya melesat dalam pikirannya. Bagaimana caranya ia berbicara dengan Gilang yang dipanggil saja tidak menoleh. Bagaimana cara ia menghibur suaminya agar mau bangkit kembali. Rasanya aneh, laki-laki berbadan kekar sepertinya terpuruk sedemikian rupa. Benar-benar sesuatu yang sulit diterima akal Sedayu.
Kini papanya telah tiada. Entah pada siapa ia harus mengadu. Pada Ari? Itu hal yang tidak akan dilakukan olehnya. Sekarang Hana dan dua adiknya sudah kembali ke rumah orang tua mereka. Rumah papanya tak berpenghuni.
Sedayu mendongak sembari menarik napas dalam-dalam. Inilah kehidupan. Selalu ada riak yang menyertai.
Suara sepatu terdengar mendekat. Seorang perempuan berjilbab memandang sinis padanya. Sedayu masih mengingat wajahnya meski penampilannya telah berubah. Perempuan ini yang masuk ke kamar setelah insiden pemukulan di perpustakaan waktu itu. Kalau diperhatikan lekat-lekat, wajahnya mirip Diani, mamanya Bintang. Satu fakta menyakitkan terasa seketika, belum ada satu keluarga dari Gilang yang ia kenal selain Bintang.
"Apa kamu masih ingin tetap bertahan?" tanya perempuan itu. Sedayu menggeram. Datang tanpa salam, lalu seenaknya mempertanyakan sesuatu yang bukan urusannya.
"Apa maksud Anda?"
"Percuma juga kamu bertahan. Selamanya Gilang akan seperti itu. Kecuali kalau aku yang melakukan sesuatu."
Bibir kiri Sedayu terangkat, membentuk seringai menghina. Sebenarnya ia kesal ada oknum yang suka mencampuri urusan rumah tangga orang lain. Meskipun pihak itu orang tua mereka sendiri. Banyak kasus seperti ini, konflik suami istri semakin memanas karena campur tangan pihak lain. Yang paling suka ikut campur adalah mertua dan ipar. Mungkin bagi mereka apa yang dilakukan benar. Kenyataannya salah kaprah.
"Aku enggak tahu kamu siapa? Lantas kenapa kamu mengintimidasi aku seperti itu?"
Perempuan itu tertawa. Kedua tangannya dilipat di d**a.
"Malang banget nasibmu."
Ia melenggang menjauh dari hadapan Sedayu. Kiranya ia beranjak pulang. Ternyata ia memasuki kamar Sedayu dan Gilang. Tidak terima ada perempuan selancang itu, Sedayu bergegas menghampiri. Namun, karena terburu-buru ia tersandung kaki meja dan terjatuh. Menahan ngilu di kaki, ia berdiri dan berjalan tertatih ke kamar.
"Aku bisa merayu Mama, Mas. Asalkan Mas mau menuruti perintahku."
Langkah Sedayu terhenti ketika mendengar rayuan perempuan itu pada suaminya. Tangannya mengepal melihat perempuan itu bergelayut manja di bahu Gilang.
"Mau enggak, Mas? Permintaanku cukup mudah, kok. Ceraikan Sedayu dan menikahlah denganku!"
Sedayu melotot. Rasanya sakit di kaki seketika lenyap. Berganti dengan amarah yang menguap dalam kepala. Ia melangkah masuk, lalu menarik kerudung perempuan tidak tahu diri itu. Ia tidak peduli meski pekikan kesakitan terdengar jelas.
"Lepaskan dia, Sedayu. Keluar dari kamar ini!"
Sedayu terperanjat. Ia melepaskan tarikan kerudung sang perempuan, lalu menghadap Gilang yang sedang menatap tajam padanya.
"Kenapa aku yang diminta keluar? Kamu mau berduaan dengan perempuan lain dalam kamar?"
"Keluar!"
Teriakan Gilang bukan hanya memekikkan telinga, tetapi jauh lebih parah dari itu, mematahkan hati yang sedang rapuh. Hati itu kini bukan terbelah menjadi dua, melainkan hancur berkeping-keping.
Ia berlari keluar. Sempat mendengar tawa si perempuan. Penghinaan siapa pun tak terasa menyakitkan, jika perih yang dibubuhkan sang suami lebih mengenaskan.
"Satu langkah bagus, Mas. Itu tadi luar biasa."
Sedayu masih bersandar di dinding kamar. Suara perempuan itu mendayu. Ia menggigit bibir, menahan remuk yang menimpa hatinya. Pikiran buruk merasuk. Bagaimana kalau Gilang menyetujui syarat aneh perempuan itu? Ia menggeleng sembari melirihkan doa pengharapan. Semoga Tuhan menguatkan hati suaminya.
"Pergi dari sini!" Itu suara Gilang. Tangisan Sedayu terhenti. Ia berdiri tegak. Ingin menengok ke kamar, tetapi perempuan itu melangkah keluar membuatnya terperanjat. Pintu kamar dibanting. Ia hanya bisa berdiri terpaku dan menggeleng tak percaya. Haruskah Gilang seterpuruk itu? Sebenarnya kesalahan apa yang dilakukan Gilang pada masa lalu? Mungkin ia harus bertanya pada Bintang.
Sementara di dalam kamar, Gilang terduduk di balik pintu. Dua tangannya menumpu kepala. Ia yakin, hal-hal yang lebih mengerikan bakal terjadi ke depan. Laki-laki itu mendongak sembari membuang napas dan mengusap wajahnya. Ia harus bisa mencegah hal-hal buruk lainnya terjadi. Dengan sisa tenangnya ia berdiri, memakai jaket, mengambil kunci mobil, membuka pintu, lalu beranjak keluar.
"Mas, mau ke mana?" tanya Sedayu ketika melihat Gilang memegang kunci mobil. Tanya itu hanya menguap dalam ruangan kosong. Tak terjawab. Yang ditanya bahkan tidak menghentikan langkahnya. Ia melangkah lurus dengan gerakan cepat.
"Ke mana pun kamu pergi, tolong berhati-hatilah, Mas!" Sedayu tahu, kalimat yang baru saja terucap itu tidak lagi didengar yang bersangkutan. Pintu bagian depan telah tertutup dengan keras. Menit berikutnya suara mobil melaju meninggalkan halaman rumah.
Sedayu menangis tersedu. Entah apa lagi yang akan terjadi. Ia pasrah.
Ketika malam menjelang, suaminya tidak ada tanda-tanda pulang. Gelisah menghantui pikirannya.
"Bin, kenapa Papa belum pulang. Kamu coba telepon, deh!"
Remaja itu menurut. Ia menelepon Gilang, tetapi nomor tidak dapat dihubungi. Pandangan kasihannya kini teralih ke arah Sedayu.
"Mbak, sebaiknya tidur saja. Enggak usah mikirin Papa. Pasti sebentar lagi pulang, kok. Aku ke kamar duluan ya, Mbak."
Sedayu mengangguk. Meski Bintang memintanya istirahat, ia tetap menunggu Gilang kembali. Perempuan itu duduk di sofa ruang tamu. Pintu utama dibiarkan terbuka. Sesekali ia menengok keluar, berharap mobil suaminya terlihat di sana.
Ratusan menit telah terlewati. Namun, sosok yang ditunggu tak jua menampakkan diri. Perempuan itu tertidur di sofa dengan pintu utama terbuka lebar. Ketika ia terbangun, pintunya telah tertutup. Ia berharap Gilang sudah pulang. Namun, harapan itu terhempas saat melihat Bintang tertidur di sofa bagian depan. Air matanya kembali mengalir.
Ia melirik jam, sudah pukul empat pagi. Dengan gerakan cepat ia melangkah ke kamar, berharap ada Gilang di sana. Namun, kamar itu kosong. Suaminya tidak pulang. Jeritan hatinya kian membara.