Only This Time

1112 Words
Jangan mempercayai kucing yang kau sayangi menjaga ikan-ikanmu. Kalau ia lapar, ikanmu akan habis dimakan. Sudah satu jam berlalu, papanya Sedayu masih membisu. Nyawanya hampir tercabut saat ditelepon Pak RT. Bagaimana tidak? Anak gadis yang dipercayakan untuk dijaga malah ingin dirusak. Orang tua di belahan dunia mana yang tidak terpuruk mendengar kabar seburuk itu. Hatinya benar-benar hancur. Kecewa, marah, sedih, dan beragama rasa lain tercampur aduk. Rasa yang paling menonjol dalam hati dan pikirannya adalah sesal. Ia telah menelantarkan anak gadisnya. Tiap hari menyibukkan diri dengan pekerjaan. Berusaha mengobati hati yang sedih ditinggal istri, tetapi melupakan kewajibannya sebagai seorang ayah. Tanta Mardiah bersimpuh di kakinya, memohon ampun atas kelakuan sang anak. Bukan hanya hati Pak Sandi yang dibalur luka, jiwa perempuan berkulit gelap itu pun terguncang. Sedayu memang hanya anak tetangganya. Namun, sedari kecil sudah ia rawat. Cintanya pada gadis cantik itu telah mendarah daging. "Bangunlah, Bu. Kita harus ke rumah sakit," ujar papanya Ari sembari membantu Tanta Mardiyah berdiri. Pemukulan si kepala botak pada Ari berbuntut panjang. Laki-laki itu harus dirawat di rumah sakit. Perutnya cedera karena tendangan dan pukulan yang keras. Ari mengalami pendarahan internal. Itu sebabnya ia pingsan dan muntah-muntah setelah tersadar. "Saya sebagai orang tua Ari, meminta maaf atas kejadian ini. Kami akan menerima konsekuensi apa pun nanti. Kami permisi," ujar papanya Ari pada Pak Sandi yang masih membisu. Kemudian menepuk pundak si kepala botak yang sedari tadi duduk diam seperti Pak Sandi. Air mata Pak Sandi menetes seiring langkah Tanta Mardiyah dan suaminya. Selama ini mereka selalu akur. Bahkan ia harus bersyukur karena Sedayu dirawat dengan baik. Ia tidak menyalahkan siapa pun, termasuk Ari. Sedari tadi ia diam karena pikirannya sibuk menyalakan diri sendiri. "Pak Dokter, jangan terlalu menyalakan diri," ujar si kepala botak seolah bisa menebak apa yang dipikirkan Pak Sandi. Ia masih mengingat jelas dokter ini. "Kamu siapa? Kenapa kamu ada di sini hingga bisa menolong anak saya?" Laki-laki yang ditanya hanya tersenyum kecil. Si dokter jelas tidak mengenalnya. "Saya Gilang, Pak." "Saya tidak menanyakan namamu?" Laki-laki yang menyebut namanya Gilang tersebut tersenyum lagi. Ia menggulung lengan kemeja hingga menyentuh siku. Kemudian berdeham dan mengangkat wajah, bertatapan langsung dengan Pak Sandi. "Saya selalu mengikuti Sedayu ke mana pun dia pergi." "Jadi kamu yang mengantarnya pulang malam itu dan memperkenalkan diri sebagai teman saya?" "Iya, Pak Dok. Maafkan atas kelancangan saya." "Apa maksudmu menguntit anak saya?" Gilang menarik napas panjang, lalu diembuskan perlahan. Ia harus menyusun kalimat yang pas agar tanggapan Pak Sandi sesuai harapannya. Ini kalimat yang sulit diucapkan, tetapi ia tidak mau jadi pengecut dengan menjadi penguntit Sedayu terus menerus. "Kalau Pak Dokter merestui, saya mau menjaganya secara halal." Bunyi benda terjatuh mengalihkan perhatian dua laki-laki tersebut. Keduanya sama-sama menoleh ke asal suara. Sedayu berdiri di pintu penghubung ruang tamu dan ruang tengah. Ia terpaku di tempat dengan mulut terbuka lebar. Mata pun belum berkedip sejak gelas di tangannya terjatuh. Ia masih memandang Gilang. Apakah laki-laki ini papa si remaja atau orang yang berbeda. Sejak kapan ia mulai menjadi penguntit. Rasanya tidak mungkin kalau di bar. Saat itu ia sudah tahu kalau papa si perempuan yang dikuntitnya seorang dokter. "Masuklah!" Sedayu tersentak oleh suara Pak Sandi yang sudah berdiri di sampingnya. Gadis itu menunduk, hendak membersihkan pecahan gelas. Namun, bahunya ditahan. Papanya mengisyaratkan agar ia segera masuk ke kamar. Setelah Sedayu menghilang di balik pintu kamar, Pak Sandi membersihkan lantai. Saat di dapur, laki-laki paruh baya itu sengaja berlama-lama. Ingin menguji kesabaran orang yang tidak dikenalinya di depan sana. Satu jam berlalu Pak Sandi di dapur. Ia mengintip. Gilang masih di ruang tamu. Duduk membisu. Dua tangannya saling dikaitkan. Kepala tertunduk menatap lantai. Tidak ada pergerakan gelisah atau kemarahan di wajahnya yang tegas. Pak Sandi menghampirinya. "Pulanglah!" Gilang mendongak. "Terima kasih sudah menolong Sedayu. Tiap perbuatan baik, pasti mendapat balasan yang setimpal atau jauh lebih baik." Gilang mengangguk hormat. Iya percaya pada kalimat yang sering dilontarkan para motivator tersebut. Namun, satu hal yang sering terabaikan tiap manusia. Kadang perbuatan baik tidak mendapat balasan sesuai harapan, tetapi kecewa merasuk jiwa. Sebabnya karena terlalu berharap pada manusia. Padahal seharusnya teruslah berbuat baik, biarkan Tuhan yang membalas mahal harga kebaikan itu. Laki-laki berotot kekar itu berdiri. Tangannya terulur, menyalami Pak Sandi. "Terima kasih, Pak Dokter," ujarnya sopan, lalu berjalan keluar. *** Pukul setengah satu Gilang tiba di rumah. Langkahnya gontai memasuki ruangan yang gelap. Hanya ada cahaya remang-remang di kamar sang anak. Ia terduduk lemah di sofa ruang tamu yang gelap. Jujur saja, ia terluka atas tanggapan Pak Dokter tentang lamarannya tadi. Akan lebih baik jika ia dicerca dengan banyak pertanyaan. Bukan didiamkan selama puluhan menit kemudian disuruh pulang tanpa penjelasan apa pun. Kecewa. Satu kata yang menyelimuti hatinya kini. "Emang kamu siapa? Datang-datang minta menjaga anak gadis orang." Suara hatinya berbisik, menyentil ego seorang Gilang. Ia mengusap wajah dari bawah ke atas hingga menyugar rambutnya sembari menarik napas pasrah. Ia tertawa miris. Tentu saja tanggapan Pak Sandi seperti itu, pikir Gilang. Dokter yang dihormatinya tersebut pasti juga bingung. Ia yang tidak dikenali tiba-tiba melamar Sedayu dalam keadaan seperti tadi. Sungguh, ide mendadak yang tidak direncanakan memang berakhir berantakan. Suara langkah terdengar mendekat. Kemudian suasana ruang tamu mendadak terang. Bintang, anak remajanya berjalan mendekat lalu duduk di samping Gilang. "Papa kenapa duduk gelap-gelap? Kangen Mama?" Gilang tersenyum sembari mengacak-acak puncak kepala putranya. Sudah 16 tahun berlalu, ia sendiri membesarkan anak semata wayang. Gilang tertawa dalam hati, mentertawakan dirinya. Usianya tak lagi muda. Mungkin Pak Sandi berpikir seribu kali menerimanya sebagai menantu. Usianya dengan Sedayu terpaut jauh. "Bin, papa mau minta pendapatmu." Anak remaja itu memandang wajah papanya. Ia siap mendengar dan pasti akan memberikan pendapat terbaik. Baginya, Papa Gilang adalah the best father. Tempat ia mencurahkan segala masalah. Baik suka maupun duka. Tidak ada rahasia di antara mereka. Seperti saat ia tidak sengaja menabrak Sedayu dan membuatnya ponsel perempuan itu hancur. Ia sangat senang ketika papanya bersedia membelikan ponsel baru sebagai ganti. "Kalau papa nikah lagi, apa masih pantas?" Bintang tertawa. "Pa, usia Papa itu baru empat puluh tahun. Tuh, tengok Kakek Daeng Pato yang sempat viral. Usianya udah 70 tahun. Asyik-asyik saja tuh nikah sama gadis 28 tahun." "Kamu setuju kalau papa nikah lagi?" Bintang mengangguk. "Memangnya Papa mau nikah sama siapa? Boleh kenalan?" "Nanti kamu naksir." "Oh, jadi ceritanya calon papa ini gadis muda?" Wajah papanya bersemu merah. Bintang bahagia bisa menggoda papanya. Ia tidak mempermasalahkan keinginan Gilang untuk menikah lagi. Mau usia muda atau sepantaran papanya, asalkan kebahagiaan selalu menyertai. "Terima kasih, Bintang. Doakan semoga lamaran papa diterima." "Selalu, Pa." Bintang berdeham. Ia teringat sesuatu. "Bintang bakal ada di garda terdepan meski nanti harus melawan nenek." Gilang tergugu. Laki-laki itu baru teringat mertuanya, neneknya Bintang. Perempuan tua yang bakal menjadi penghalang rencananya menikah lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD