Call Out My Name

1264 Words
Angin bertiup sepoi-sepoi. Dersiknya mengalun lembut. Embusannya membelai manja wajah gadis ayu berambut keriting. Rambutnya menari-nari. Sesekali menutupi pipi dan hidung. Gadis itu duduk di ayunan. Sendiri meratapi sunyi. Diam. Pikirannya menyelami jejak masa lalu. Kisah persahabatannya telah berakhir. Boleh, kan, ia sebut masa lalu. Kenangan itu semakin memorak-porandakan hati. Ayunan ini dibuat Ari. Gazebo di pinggir kolam juga hasil kreasi laki-laki itu. Rumah pohon di samping kiri kolam pun berkat tangan kreatifnya. Sedayu membuang napas. Bagaimana ia bisa melupakan Ari dalam waktu sekejap. Semua yang ada di rumah ini mengingatkan tentang laki-laki berambut ikal tersebut. Entah sudah berapa kali ia menghela napas. Senarainya kian panjang. Sungguh, dalam lubuk hati terdalam, Sedayu tidak ingin nelangsa karena cinta. Terlalu naif. Ia berdiri dari ayunan, menaiki tangga menuju rumah pohon. Duduk diam, menyilangkan kaki. Ia pandangi cakrawala yang membentang. Cahaya keemasan telah menghias di ufuk barat. Gradiasi warna terlukis indah di atas sana, di lembayung Tegal. Sebentar lagi matahari akan tenggelam. Pergi meninggalkan siang untuk bermesraan dengan sang malam. Jika siang mengantar kepergian matahari dengan lukisan maha sempurna, kenapa manusia sulit sekali melakukan hal serupa. "Karena siang enggak punya perasaan." Sebuah pikiran yang entah datang dari mana melibatkan diri dalam lamunan sang gadis, tanpa permisi. "Ini bukan tentang perasaan, tapi cobalah selami hakikat penciptaannya. Bahwa, segala hal yang ada di dunia ini bisa datang dan pergi sesuai waktu yang telah ditentukan." Sisi lain pikirannya turut meramaikan. Ia teringat seorang teman kuliah. Kala itu sang teman menangis meraung-raung karena pacarnya selingkuh kemudian memutuskan hubungan mereka. Dengan bijak Sedayu memberikan kalimat-kalimat motivasi agar temannya bangkit kembali. Sekarang gadis berambut keriting itu menyadari suatu hal. Bahwa, memberi nasihat dan motivasi untuk orang lain itu begitu mudah dilakukan. Namun, tidak semua orang bisa memotivasi dan menyemangati dirinya sendiri. Ia tertawa, menyadari kebodohannya karena terus memaksakan diri melupakan Ari. Padahal ia pernah berkata pada teman kuliahnya kala itu; 'Sebelum melupakan, kita harus belajar merelakan.' Gadis berkulit sawo itu membuang napas, membuat pipinya menggembung. Kemudian ia ukir senyum semangat. Yakinnya dalam hati, ia akan belajar menerima perpisahan ini. Ia akan belajar mengikhlaskan kalau hubungannya dengan Ari telah sampai batas akhir. Sementara di jendela kamar rumah sebelah, Ari memandang pilu sang sahabat. Jauh di lubuk hatinya, ia tidak ingin seperti sekarang. Apalagi sengaja membuat Sedayu sakit hati. Namun, tantangan dari teman-teman sangat menggiurkan. Ia hanya cukup pacari China dan menjauh dari Sedayu, akan diberi jam Rolex yang dibeli patungan. Ia juga kesal karena sering dikatai tidak bisa lepas dari ketek Sedayu. Air matanya menetes. Ia menggeram, membenci keputusannya sendiri. Kebaikan dan perhatiannya selama ini yang dipuja-puji Sedayu, mungkin telah hancur. Ia berharap sahabatnya menemukan cinta sejati yang mampu menghapus lara karena ulah laki-laki berengsek sepertinya. Tidak mampu menolak tantangan aneh teman-temannya. Laki-laki itu menyugar rambut dengan kedua tangan. Semua sudah terjadi. Ia harus menerima jika saat bertemu Sedayu, gadis itu memandangnya dengan rasa yang berbeda. Benci dan pura-pura tidak kenal, mungkin. Ah, membayangkan saja sudah terasa tertusuk jantungnya. "Ose berdua bakulaekah?" Ari gelagapan. Bagaimanapun ia harus menjelaskan pada mamanya. Perempuan berkulit gelap ini pasti bingung karena anaknya tidak lagi ke rumah Sedayu. "Enggak, Ma. Cuma jaga jarak saja." "Eh, apa lagi tuh? Kiapa kong so pake jaga jarak segala?" Ari tertawa. Mamanya ini perempuan timur yang tidak suka basi-basi. Apalagi kalau kedapatan anaknya berbohong. Bersiaplah ditendang atau ditinju. Ia pernah merasakan tinju sang mama saat bolos sekolah dulu. Sekarang ia tidak ingin merasakan lagi. "Ada teman Ari yang menyukainya, Ma. Daripada kita berdua lengket terus, teman Ari nggak dapat kesempatan pedekate." "Eh, se kiapa pengecut bagitu? Se pe tamang suka deng se jaga jarak itu seng nyambung lai." Telinganya disentil. Ia mengadu sambil mengusap-ngusap telinga. "Ose ini sebenarnya suka Sedayu to?" "Idih, Mama sok tahu. Wong Ari udah punya pacar." Ari mengambil ponsel yang tergeletak di atas bantal. Kemudian ia membuka galeri, menunjukkan fotonya dengan China. Potret yang diambil setelah jadian di Pantai Alam Indah. Mamanya melirik, lalu mencebik. Ia kenal gadis dalam foto tersebut. Anak teman arisannya. Orang Jakarta yang baru beberapa bulan di Tegal. Mama si anak sering kali membuat kesal anggota arisan lain. Kalau datang arisan suka memamerkan kekayaannya. Bahkan suka menjatuhkan sesama. Mungkin anaknya berbeda, tetapi itu sangat jarang terjadi. Perempuan paruh baya berkulit gelap itu berharap, pilihan Ari tidak mengecewakannya di kemudian hari. "Suka hati ose sudah. Mama cuma mo kasih inga, jangan pilih parampuang karena cantik. Soe nanti." Ari terperangah. Kalau mamanya sudah bicara mengenai kesialan, ia harus berhati-hati. *** Dari balik jendela, Sedayu melihat Ari berpenampilan rapi. Ini malam Minggu. Laki-laki itu pasti pergi berkencan dengan China. Saat melihat Ari mendorong motor keluar, gadis itu bergegas mengambil kunci motornya sendiri. Kemudian menguntit sang sahabat. Entahlah, ia juga tidak mengerti kenapa melakukan hal ini. Padahal waktu sudah berada di angka sembilan malam. Tadinya ia berpikir, daripada melamun di rumah sendirian. Tidak masalah, kan ia menguntit seperti sekarang. Ia memperhatikan Ari menjemput China. Kemudian motor kembali melaju. Akhirnya berhenti di depan New X Cite Karaoke and Lounge. Keraguan mengusik pikirannya, tetap masuk atau pulang. Selama 23 tahun menjadi warga Tegal, tidak pernah sekali pun Ari mengajaknya ke tempat ini. Padahal tiap malam Minggu ia pasti diajak jalan-jalan. Paling ke Warung Sate Bang Awi atau ke alun-alun. Mana pernah ia tahu tempat hiburan malam. Sedayu menggaruk kepala. Ia mencebik kemudian turun dari motor, melangkah mengikuti Ari dan China. "Tanggung kalau pulang. Sekalian aja nyari pengalaman," gumamnya sembari melangkah masuk. Cahaya remang-remang berwarna biru menyambut kedatangannya. Kesan pertama yang ia rasakan adalah berisik. Ia melengok kanan kiri, mencari keberadaan Ari dan China. Setelah berputar-putar sekian menit, akhirnya menemukan sang sahabat di meja pojokan. Mereka bukan hanya berdua, tetapi ada tiga teman Ari yang lain. Pun, ada empat cewek termasuk China. Yang lainnya tidak ia kenali. Sedang asyik karaoke. "Hai, Nona! Sendirian?" Sedayu menoleh ke samping. Seorang laki-laki bertato, berambut gondrong, berdiri sangat dekat dengannya. Gadis itu melangkah mundur, memberi jalan. "Mau ditemani? Enggak baik kalau sendirian di dalam sini?" Berdua juga tidak lebih baik. Gerutu Sedayu dalam hati. Ia ingin berbalik ke pintu keluar, tetapi laki-laki bertato itu menahan tangannya. Semakin ia memberontak, genggaman di tangannya bertambah kencang. "Lepasin!" "Enggak usah jual mahal, Nona." "Lepasin, Om. Aku mau pulang." Sedayu merengek. Air matanya sudah berderai. Tidak peduli laki-laki ini mau mengatai bagaimana. Pokoknya ia ingin terbebas dari suasana seperti sekarang. Tiba-tiba sebuah tinju melayang. Laki-laki bertato itu terpelanting. Sedayu menoleh, mendapati Ari melotot marah padanya. Kemudian laki-laki itu menariknya keluar. "Ngapain kamu ada di sini?" "Enggak tahu. Aaa-aku cuma ikutin kamu." "Bodoh. Emang kenapa kamu ikutin aku?" "Aaa-aku enggak tahu, Ri." Sedayu sesenggukan. Ia tak mengira Ari membentaknya. "Diam! Jangan cengeng. Mending sekarang pulang. Aku enggak mau lihat kamu di sini lagi." Ari kembali masuk, meninggalkan Sedayu sesenggukan di tempat parkir. Ia terduduk. Kemudian menangis tersedu-sedu. Tidak dipedulikan lagi kalau ada orang mengiranya aneh atau gila sekalipun. Ia hanya ingin melonggarkan sesak di d**a dengan tangisan. "Sedayu, mana kunci motormu?" Gadis itu mendongak. Cepat-cepat menghapus air matanya saat melihat seorang laki-laki berbadan besar, memakai topi kupluk, dan berkacamata. "Anda siapa, Om?" "Teman papamu di rumah sakit." Meski ragu, ia tetap memberikan kunci yang diminta. Kemudian naik ke motor. Tiba di depan rumahnya, laki-laki itu turun. "Terus Om pulangnya gimana?" "Masuklah!" Laki-laki itu berlalu. Sedayu bergegas masuk ke rumah. Sudah ada papanya menunggu di ruang tamu. "Kamu dari mana, Sayang?" "Pa, itu tadi teman Papa?" Ia juga bingung menjawab pertanyaan sang papa. Maka, ia memilih menanyakan hal berbeda. "Di mana?" "Tadi yang antar aku pulang. Badannya tinggi besar kayak Deddy Corbuzer, Pa." "Lain kali jangan mudah percaya pada orang. Papa tidak punya teman kayak gitu." Sedayu terperangah. Jadi, siapa laki-laki tadi?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD