Senin pagi yang cerah, Sedayu baru saja menyelesaikan adonan donat. Meski belum kerja, gadis itu tidak ingin hanya duduk diam sambil menghabiskan waktu dengan drama Korea. Ia tidak ingin disebut pengangguran. Hasil kreasinya akan dititipkan ke warung-warung. Kadang ia berkreasi hanya untuk keperluan konten Youtube.
Berbicara tentang Youtube, ia jadi ingat sudah tiga hari tanpa ponsel. Ia masih berharap anak remaja itu benar-benar menepati janji. Jika dalam tiga hari ke depan tidak ada kabar, ia harus merelakan seperti hubungannya dengan Ari. Melepaskan meski sebenarnya hati tak menerima. Mau bilang ikhlas, tetapi masih menyimpan gerutuan dalam hati.
Sembari menunggu adonannya mengembang, ia mengambil sapu. Ingin membersihkan halaman depan. Ada mama Ari sedang merapikan bunga-bunga di taman kecil samping rumah.
"Hei, se kiapa muka pucat bagitu?"
Sedayu tersenyum hangat. Sejak kecil sudah diasuh mama Ari membuatnya paham bahasa tersebut. Kadang ia juga menggunakan bahasa itu meski terbata-bata.
"Dayu cuma kurang tidur, Ma."
"Kiapa kong kurang tidur? Bapikir pe Ari? Jang gila se. Dia saja seng peduli. Cari saja cowok laeng. Biar sa dia deng cewek seng jelas itu."
Meski kurang tidur bukan karena memikirkan Ari, Sedayu tetap membenarkan perkataan tersebut. Untuk apa memikirkan laki-laki yang tidak peduli lagi padanya.
Tanta Mardiah. Begitulah orang-orang di sini memanggil perempuan dari timur ini. Ia tidak suka dipanggil tante apalagi mbak. Katanya, yang orang Jawa itu sang suami. Dirinya orang Maluku. Jadi, jangan sekali-kali memanggilnya mbak. Hilang sudah ciri khas daerah yang ia banggakan.
"Ma, masak apa hari ini? Dayu makan siang bareng, ya. Hari ini lagi malas masak?"
"Mama masa udang. Se suka to?"
Sedayu menarik napas lega karena berhasil mengalihkan pembicaraan. Satu pembahasan beralih ke pembahasan lain. Tiap kali pembicaraannya berkaitan dengan Ari, ia kembali mengalihkan ke hal lain. Sampai akhirnya mama Ari selesai merapikan bunga-bunga. Ketika hendak pamit masuk, ada kurir mengantar kiriman untuk Sedayu, perempuan paruh baya itu tidak jadi beranjak.
"Saya Sedayu, Mas. Kiriman dari siapa, ya?"
"Di sini tertulis dari Calon Imam, Mbak."
Sedayu ternganga. Ia menarik paket dan melihat namanya tertera di sana. Pun, nama sang pengirim seperti yang dikatakan mas kurir.
"Sio Nona, e! Ose diam-diam so ada calon imam." Tanta Mardiyah berdiri di samping, memperhatikan anak asuhnya menatap paket yang baru diantar tersebut. Digoda seperti itu, Sedayu menggeleng dan tertawa pelan.
"Dayu enggak tahu ini dari siapa, Ma. Gimana kalau isinya bom?"
"Bom? Ose jang bicara sabarang. Capat buka. Mama juga penasaran lai."
Dengan hati-hati ia membuka paket dari orang tidak dikenali itu. Mulutnya terbuka lebar saat melihat sebuah smartphone Samsung Galaxi Note 10+. Ia mendongak, melihat mamanya Ari masih memperhatikannya.
"Ma, ini HP mahal. Dayu takut orang itu punya maksud buruk."
"Eh, ose jang dulu bapikir macam-macam. Itu ada surat. Capat se baca."
Gadis berambut keriting itu mengangguk. Ia mengambil surat yang terlipat di dalam paket. Tangannya gemetaran. Pun, gemuruh di d**a bertalu tanpa bisa dicegah. Entahlah, ia takut sesuatu yang tertulis dalam surat mengancam kehidupan masa depannya. Ia telah berpikir terlalu jauh, bahkan sebelum membaca surat tersebut.
Ia menarik napas sembari memejamkan mata. Teringatlah ia pada sebuah nasihat seorang dosennya di saat kuliah dulu; "Jangan mengedepankan prasangka buruk. Jangan menduga-duga sesuatu yang belum pasti. Jika tidak, hati kita akan gelisah dan tidak bahagia lebih awal."
Nasihat yang baru diingat itu menjadi sumber kekuatan. Ia membuka mata dan segera membaca surat itu.
Dear Calon Istri, Sedayu Bening.
I love you. Nyalakan ponsel. Tidak perlu diisi daya. Sudah diisikan full beserta cintaku.
Salam
Calon Suami
Gadis itu menutup mulut, menahan tawa sembari menekan tombol power. Siapa gerangan manusia yang mengaku calon suaminya ini. Pikir Sedayu. Tidak mungkin orang iseng mau memberikan ponsel yang harga di atas sepuluh juta seperti ini. Padahal baru beberapa menit yang lalu ia berniat merelakan ponselnya yang dirusak si remaja. Sekarang diberikan ponsel yang jauh lebih bagus.
"Menurut Ma, Dayu harus gimana?"
"Ose tarima sa. Simpan tuh kardus deng surat. Nanti kalau itu orang macam-macam, mama kabiri dia."
Sedayu tertawa. "Mama bukan dokter. Mana bisa mengebiri orang."
"Adodo e, Nona. Itu kabiri seng parlu mama jadi dokter. Mama pake piso potong daging sa."
Kali ini tawa Sedayu semakin kencang. Ibu-ibu seperti mamanya Ari ini mudah sekali bilang kebiri pada laki-laki berengsek. Namun, tidak ada satu pun perempuan yang melakukan ancaman tersebut. Kebiri di Indonesia saja masih kontroversi. Lagi pula, yang berlaku pada zaman sekarang adalah kebiri kimia. Bukan seperti maksud Tanta Mardiah yang harus dipotong-potong.
Sedayu bergidik ngeri. Membayangkan saja sudah membuat bulu romanya merinding. Apalagi kalau melihat Tanta Mardiyah melakukannya langsung. Dulu, di Kerajaan Korea pernah berlaku hukum kebiri yang sangat kejam. Tiap pemuda yang ingin jadi kasim, harus dikebiri. Caranya dengan gigitan anjing. Lagi-lagi Sedayu menggeleng.
"Ah, sudah. Mama mo maso dulu. Se juga maso lai."
Perempuan berkulit gelap itu masuk ke rumahnya. Sedayu melihat ke depan. Ada laki-laki berbadan besar duduk di sebuah motor. Saat melihat Sedayu menyadari keberadaannya, ia bergegas melajukan motor.
"Badannya besar kayak orang yang ngantar aku waktu itu," gumamnya. Gadis itu masih berdiri di halaman rumah. Masih memikirkan laki-laki di atas motor tadi. "Apa orang itu yang ngirim HP ini? Tapi, aku enggak kenal dia. Bagaimana dia tahu namaku. Apa selama ini aku dibuntuti?"
Ponsel dalam genggamannya bergetar. Berbagai tanya yang mengganggu pikirannya, buyar seketika. Ia menengok layar ponsel. Ada panggilan dari kontak yang tertulis 'Ur Sweet Hushband.' Sedayu menepuk jidat. Kenapa Tuhan mengizinkan laki-laki alay ini mengganggu ketenangannya.
"Halo, siapa kamu?"
Hening. Tidak ada jawaban. Yang terdengar hanya suara bising. Sedayu menarik napas. Ia menggeram sampai gigi-giginya bergemeletuk.
"Halo, aku kutuk kamu jadi batu kalau enggak mau ngomong."
Terdengar suara tawa. Sedayu pikir orang di seberang sana akan berbicara. Nyatanya, keheningan menguasai sambungan telepon mereka.
"Hei, kamu manusia apa iblis?"
Sambungan diputus sepihak. Sedayu menggerutu dan mencaci depan layar ponsel. Tak lama kemudian, sebuah pesan WA masuk. Ada pesan dari kontak Ur Sweet Hushband. Hanya satu huruf 'S' ditambah ikon hati berwarna ungu.
"Fix. Nih, orang alay bin stres."
Ia memutuskan tidak menggubris pesan itu. Mungkin mengabaikan dua atau tiga hari, orang iseng itu akan bosan sendiri.
Saat ia menggoreng donat, satu pesan masuk lagi. Ia tidak peduli sampai donatnya selesai digoreng. Saatnya membaca pesan yang masuk. Hanya ada satu kontak di ponsel ini. Ya, kontak si manusia alay.
Aku sudah siap mendengar bunyi kentutmu.
Akan kujadikan alunan musik terindah, menjadi teman tidur malamku.
Sedayu menggaruk kepala. Kemudian tercetus sebuah ide gila.
"Kalau tuh orang bisa buat hal gila seperti ini, aku juga bakal buat sesuatu yang lebih gila," gumam Sedayu sembari menekan ikon rekam, lalu terdengar bunyi kentut yang sangat besar.