Believe Me

1392 Words
Gilang hanya bisa menghela napas saat Sedayu terdiam ketika ditanya kenapa berteriak. Mungkin istrinya benar-benar butuh pertolongan. Teriakan tadi bernada panik. Gilang mengira sesuatu telah terjadi. Ketika ia berlari masuk, Sedayu hanya menatap pintu seperti melihat sesuatu. Namun, tidak ada apa pun di sana. Ia merasa istrinya sedang berhalusinasi. Sementara Sedayu menangis dalam hati. Kalau ia cerita, Gilang tidak akan percaya. Perempuan tadi telah berlari keluar sesaat setelah teriakan Sedayu menggema. Hatinya nelangsa. Kepercayaan yang semestinya ada dalam setiap hubungan, kini tidak lagi dimiliki. Suaminya meragukan kata-kata yang ia ucapkan. Bagaimana mungkin pernikahan yang baru saja terikat, harus ternoda oleh kesalahpahaman. Ia yakin, neneknya Bintang sedang menjalankan rencana untuk mendepaknya dari rumah ini. “Sayang, kamu kenapa? Aku enggak pergi, kok.” Sedayu menoleh, memandang wajah cemas suaminya. Ia tahu, Gilang tulus padanya. Namun, ketulusan tanpa diiringi kepercayaan tidak berguna. Salah satu cara untuk membalas ketulusan suaminya, mulai saat ini ia harus melawan nenek itu sendirian. “Jangan tinggalin aku, ya!” Gilang tersenyum kala wajah manja istrinya terlihat. Ia mengangguk sembari mengusap pipi mulus sang istri yang tak lagi merona, melainkan pucat pasi. Ia akan memantau beberapa hari ke depan. Jika Sedayu masih menunjukkan perilaku seperti hari ini, mungkin kunjungan ke psikiater dibutuhkan. Sesuatu yang masih dianggap tabu oleh kebanyakan masyarakat. Siapa pun yang mengunjungi psikiater akan dicap gila. Nyatanya, tidak seperti itu. “Mau makan?” Sedayu mengangguk. “Aku ambilkan, ya.” Gilang berdiri hendak mengambil makanan untuk sang istri, tetapi langkahnya terhenti. Sedayu menarik tangannya. Perempuan berambut keriting itu pun berdiri, lalu mengajak Gilang keluar bersama. “Aku enggak sakit. Maaf, ya. Mungkin aku cuma butuh perhatian.” “Dih, enggak lucu. Butuh perhatian tinggal bilang, bukan jedotin kepala ke tembok.” Sedayu tertawa meski hatinya menangis. Ia harus kuat. Tiap perjalanan pasti ada rintangan. Inilah riak kecil yang sedang menghadang bahteranya. Ketika mengetahui ada lubang, tidak perlu meneriaki nakhoda. Penumpang dalam bahtera harus berusaha menampal sebelum air semakin banyak yang masuk. Ketika keduanya menyantap makanan, neneknya Bintang ikut bergabung. Senyuman palsunya terukir. Bahkan dengan wajah keriputnya ia memohon maaf. Kata perempuan tua itu, tidak seharusnya ia melarang Gilang menikah. Apalagi kebutuhan Bintang diurus dengan baik. Ia turut senang dan mendukung. Sedayu mencibir dalam diam. Perempuan tua itu sudah mirip bunglon, gurita, flouder, kuda laut, laba-laba bunga, atau binatang apa saja yang mampu mengubah warna. Sedayu menghela napas, lalu membalas senyuman perempuan tua itu. Ia akan mengikuti permainannya. Menghadapi manusia bermuka dua seperti ini, tidak boleh pakai emosi. “Masih mau ditemanin?” tanya Gilang setelah selesai makan. Sedayu sedang membersihkan meja dan mengangkat piring kotor ke wastafel. “Enggak perlu, Pa. Silakan kalau mau ke kamar dulu.” Sedayu yakin, neneknya Bintang akan mendekatinya setelah Gilang menjauh. Benar saja, perempuan tua itu berdiri di belakang Sedayu yang sedang mencuci piring. Pinggangnya dicubit. Sedayu menahan perih. Ia berbalik setelah si nenek melepaskan cubitannya. “Kematian itu menghampiri siapa saja. Sudah menjadi rahasia umum, kalau semakin tua, jatah hidup pun berkurang. Daripada mengisi sisa usia dengan dosa, lebih baik berbanyak istigfar. Kali aja besok Malaikat Maut datang menjemput.” “Kurang ajar!” Sumpah serapah si nenek terlontar Sedayu tidak peduli. Ia terus mencuci piring. Setelah selesai, ia beranjak menjauh. Ketika melewati si nenek, ia injak kaki perempuan tua itu. Ia tidak sudi dipermainkan manusia licik. Perempuan tua itu berteriak. Sedayu menarik napas. Alasan apa yang akan diberikan pada Bintang yang sedang melotot marah padanya. “Kenapa Mbak nginjak kakinya Nenek?” “Karena nenekmu cerewet dari tadi. Telingaku sakit.” Bintang ternganga. Sungguh, ia tidak percaya kalau mama tiri yang sangat diidamkan bisa berbuat demikian. Perempuan itu melenggang pergi setelah mengatakan kalimat mengejutkan tadi. Bintang melihat ke arah sang nenek yang merengut kesal. Awalnya ia percaya ketika si nenek mengaku sudah merestui hubungan Papa dan Sedayu. Sekarang keraguan merasuk pikirannya. Tidak mungkin mama tirinya bersikap demikian jika tidak ada penyebab. “Nenek omelin Mbak Dayu, ya?” “Mung ngomong, ngapa dheweke ngumbah piring ora resik” Neneknya pun berlalu. Bintang menggaruk kepala. Beginikah rasanya menghadapi perempuan. Teman perempuan sekelasnya pun seperti ini, sulit dipahami. Bahkan tidak ada yang ingin mengalah. Karyawan papanya di warung juga sering merajuk tanpa sebab. Teriakan neneknya menghentikan pikiran Bintang yang memikirkan para perempuan dan segala pemikirannya. “Mau diantar pulang, Nek?” “Kamu usir saya?” “Enggaklah, Nek. Cuma, sekarang kan udah malam. Nenek enggak pulang.” “Hmm, saya mau tinggal di sini. Mau lihat perempuan itu mengurusmu atau dibiarkan telantar.” Bintang menepuk jidat. Sudah bisa dipastikan hal apa saja yang terjadi jika neneknya bertahan di rumah ini. Kalau Sedayu pun tidak mau kalah, perang bakal dimulai. Ia harus menyiapkan kuping, siap mendengar omelan nenek tiap hari. Pun, bukan tidak mungkin jika Sedayu ikutan mengomel. Bukankah kata ajaib itu sudah menjadi hak patennya perempuan? Sesuatu yang dikhawatirkan Bintang terbukti pada pagi harinya. Neneknya berteriak karena Sedayu belum keluar dari kamar. Perempuan tua itu membuat sarapan sambil mengoceh. Ketika mencuci piring pun sengaja dibanting. “Nek, jangan suka mengomel. Ntar jantungan.” “Dasar cucu durhaka! Kamu nyumpahin saya?” Bintang menghela napas. Ia memilih diam. Kalau dijawab, amarah neneknya bakal semakin tersulut. Sebenarnya, menghadapi siapa pun yang sedang marah, harusnya diam saja. Bukankah api dibalas api akan semakin panas. “Ma, kenapa pagi-pagi udah teriak?” Wajah Gilang masih kusut. Sebenarnya ia dan Sedayu sudah bangun sebelum teriakan pertama sang nenek. Akan tetapi, waktu pagi bagi pengantin baru itu sungguh luar biasa. Teriakan demi teriakan diabaikan. Kenikmatan bercinta mengalahkan gangguan itu. “Kenapa istrimu belum bangun? Dia enggak mau mengurus anakmu yang akan berangkat sekolah?” Gilang hendak menjawab pertanyaan sang mertua, tetapi kedatangan Sedayu sembari memeluk pinggangnya membuat suara laki-laki itu tercekat. Kening mengerut hingga dua alisnya bertaut. Ia merasa aneh dengan sikap istrinya yang sok mesra. “Neneknya Bintang yang manis dan luwes, kami tuh udah bangun sebelum Nenek teriak. Tapi, kan ...” Sebelum Sedayu mengucapkan kalimat lanjutan, Gilang segera berbalik dan membekap mulutnya. Jangan sampai rahasia ranjang mereka dibocorkan di depan sang mertua dan anaknya. Sungguh memalukan. Ia menarik tangan istrinya, kembali masuk ke kamar. Sebelum masuk, Sedayu menengok ke belakang, menjulurkan lidah ke arah si nenek. Bintang hanya terpaku di tempat, menyaksikan drama keluarga pada pagi yang masih diselimuti gelap. Bahkan azan Subuh pun baru saja berkumandang. Kalau setiap hari seperti ini, akan lebih baik kalau ia menginap di rumah temannya. Pusing. *** “Ih, kan udah janji mau temani aku jalan-jalan.” Wajah Sedayu merengut saat Gilang pamit ke warung. “Iya. Cuma bentar doang. Aku lupa kasih catatan pemesanan ke karyawan. Buku catatannya di lemari yang terkunci. Tungga bentar, ya. Secepatnya aku balik.” Setelah Gilang pergi, ia melirik neneknya Bintang yang tersenyum sinis. Tidak ingin membuat masalah lagi, perempuan berambut keriting itu melangkah ke dapur. Masak atau membuat kue mungkin lebih baik daripada melayani si cerewet tua tersebut. “Buatkan aku kopi!” Langkah Sedayu terhenti saat mendengar titah si nenek. Meski kesal atas sikap perempuan tua itu, ia tidak ingin berpikiran picik. Toh, hanya disuruh membuat kopi. Mungkin jika ia bersikap baik, si nenek bakal menerimanya sebagai pengganti sang anak. Dengan senang hati ia mengaduh kopi dan menyuguhkan sembari menyunggingkan senyum bersahabat. “Matur suwun.” Hati Sedayu semakin menghangat saat ucapan terima kasih dituturkan sang nenek. Ia tidak mengharapkan ucapkan terima kasih, tetapi kalau ada yang mengucapkan saat diberi atau ditolong, siapa pun akan senang mendengarnya. Beberapa menit kemudian, si nenek berteriak sembari berlari masuk ke kamar mandi. Perempuan tua itu muntah-muntah dan diare. Sedayu panik melihat si nenek tak berdaya. Ia menelepon Gilang dan segera melarikan neneknya Bintang ke rumah sakit. “Apa yang kamu campur di kopi Mama?” tanya Gilang setelah mertuanya ditangani. Sedayu mengernyit. Ia tidak mencampur apa pun. Lantas kenapa Gilang seolah menuduhnya melakukan sesuatu kesalahan. “Maksud kamu apa?” “Kata dokter, Mama overdosis sesuatu yang sengaja dicampurkan dalam minuman. Kamu yang buat kopi untuk Mama, kan?” “Iya, tapi ...” Gilang mengangkat tangan. Amarah terlukis di wajahnya. Ia tidak menyangka jika Sedayu setega itu melakukan kejahatan pada mertuanya. Ia beranjak, meninggalkan Sedayu yang terpaku di tempat. Bagaimana mungkin Gilang menuduhnya seperti itu. Hatinya menjerit. Air mata menggenang. Perih. “Untuk apa aku bertahan, jika kepercayaan itu benar-benar telah tiada.” ~~~ Mung ngomong, ngapa dheweke ngumbah piring ora resik = Cuma bilang kenapa dia cuci piring enggak bersih
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD