Enemy

1184 Words
"Jangan sedih lagi, Yu. Nanti aku bantu membangunnya kembali." Sedayu masih bergeming. Ini bukan lagi masalah tokonya yang tidak bisa diselamatkan. Bukan lagi tentang biaya untuk perbaikan. Mengesampingkan hal tersebut, pikiran Sedayu bermuara pada satu titik: ancaman neneknya Bintang bukan gertakan sambal. Sudah dua hari berlalu sejak kebakaran yang menghabiskan toko rotinya, Sedayu masih memikirkan si nenek. Ketika ia dan Gilang pergi ke toko sore itu, si nenek berdiri di tengah kerumunan dan tersenyum menyeringai. Tidak hanya itu, sebuah pesan ancaman dari nomor tak terdaftar semakin meyakinkan prasangka buruk dalam hatinya. "Ini baru permulaan. Masih ada yang lebih sadis. Mau keluar dari rumah Diani atau memilih mati?" Bukan sekali pesan ancaman seperti itu diterima. Pesan-pesannya dikirim beruntun tanpa jeda. Sehingga Sedayu memblokir nomor tersebut. Solusi mudah menghadapi orang iseng. Ia yakin, ada orang yang membantu niat busuk neneknya Bintang. Mau menceritakan kecurigaannya pada Gilang, laki-laki itu selalu mengalihkan pembicaraan. Entahlah. Sedayu pun tidak mampu memahami. Hanya semakin banyak prasangka memupuk dalam pikiran dan hatinya. Prasangka tentang Gilang merahasiakan sesuatu antara ia dan neneknya Bintang. "Mbak, ikannya gosong." Sedayu terperanjat. Bergegas ia mengangkat ikan yang sudah terlanjur menghitam. Ia meringis dan menyungingkan senyuman palsu ke arah Bintang yang masih berdiri memperhatikannya. "Ada apa, Mbak?" "Enggak apa. Masih mikirin toko yang terbakar aja. Kamu mau makan?" Bintang menghela napas. Remaja itu mengambil piring, mengisi nasi, sayur, dan ikan gosong yang baru diangkat mama tirinya. "Jangan dimakan, Bin. Pahit." Seolah tuli, ia mengabaikan seruan Sedayu. Dengan santai menyantap makanan yang telah diambilnya. "Mbak sudah ketemu Nenek?" Sedayu tercekat. Tarikan napasnya terdengar jelas. Ia yakin, pertanyaan Bintang ada kaitan dengan prasangkanya. Jika Bintang saja peka pada hal ini, Gilang pun pasti sudah merasakannya. Ah, entahlah. Perempuan itu menggeleng. Tidak ingin semakin berburuk sangka pada suaminya sendiri. "Kalau Nenek ngomong yang aneh-aneh, tolong jangan didengarkan, Mbak." Hati perempuan berambut keriting itu dialiri kesejukan. Ia sunggingkan senyuman hangat sembari memandang anak tirinya yang asyik melahap makanan. Setidaknya ia memiliki teman yang bisa diajak mendengar curahan hatinya. Ia melangkah mendekat, duduk di samping Bintang. "Bin, kenapa nenekmu kelihatannya enggak suka sama Mbak?" Bintang menghela napas. Ia menjilat sisa-sisa makanan di jari, lalu membawa piring yang sudah kosong ke wastafel. Pertanyaan mama tirinya belum dijawab. Ia mencuci tangan, lalu menarik Sedayu mengikutinya ke ruang perpustakaan mini. "Kok, Mbak enggak tahu ada ruangan ini?" Bintang tersenyum. Dia tahu kalau Sedayu sangat suka membaca. Melihat beragam buku dalam ruangan ini, perempuan itu bakal lupa memikirkan kesedihan karena tokonya terbakar. "Kata Nenek, ini ruangan favorit Mama. Kalau sedang sedih, Mama akan menghabiskan waktunya dengan menyalami ribuan aksara yang menghanyutkan. Kadang Mama lupa keluar sehingga Papa kebingungan mencari." Air mata Bintang menetes. Meski tidak pernah merasakan kehangatan mamanya, ia merasa begitu dekat dengan perempuan yang berjuang mempertaruhkan nyawa saat melahirkannya. Semua itu terjadi karena cerita neneknya terasa menghidupkan sosok perempuan yang telah tiada itu. Kesedihan yang terlukis di wajah Bintang membuat Sedayu berimpati. Anak ini sangat menghormati sosok neneknya. Tidak pantas jika ia mencurahkan kecurigaannya. Ia menepuk bahu Bintang sembari tersenyum hangat. Hanya ingin memberikan kekuatan tanpa kata. Kadang, perhatian kecil seperti itu lebih dibutuhkan daripada kata-kata manis tanpa makna. Bintang menghapus buliran air mata yang menetes di pipi. Ketika ia mendongak, Sedayu telah menyusuri buku-buku. Ia mendekat. "Semoga Mbak sabar menghadapi Nenek. Bukan hanya Mbak yang enggak disukai Nenek, tapi semua perempuan dilarang mendekati Papa. Sampai saat ini Nenek masih menganggap Mama masih hidup. Maafkan nenekku jika menyakiti Mbak." Remaja itu berderap menjauh setelah mengucapkan kalimat permohonan tersebut. Ia tinggalkan Sedayu sebelum perempuan itu mengucapkan sepatah kata pun. Sedayu menarik napas panjang. Kepada siapa lagi ia mengadukan kegelisahan hati karena perilaku si nenek. Bintang memang sudah tahu kalau neneknya bakal macam-macam, tetapi ia mengharapkan pemakluman. Malam menjelang. Sedayu masih berdiam diri dalam ruang perpustakaan. Seperti yang diharapkan Bintang, perempuan itu tidak ingin menyiksa hati dengan prasangka buruk yang tak berkesudahan. Ia memilih menyalami kata-kata indah dalam buku motivasi yang diharapkan mampu menenangkan kegelisahan hatinya. Pintu ruangan dibuka. Sedayu tidak menyadari kedatangan orang lain. Ia keasyikan membaca. Detik selanjutnya lampu ruangan padam dan ia mengaduh kesakitan saat rambutnya ditarik. "Ngopo kowe mlebu kamar iki? Wis takkandhani to, kowe bakal mati. Bakal tak mateni kowe saiki." "Ampun, Nek. Lepasin!" Meski memanggul 'Nek', Sedayu ragu kalau yang menarik rambut saat ini adalah neneknya Bintang. Suaranya berbeda. Terdengar lebih muda. Teriakan Sedayu tidak dihiraukan. Kepalanya dibenturkan ke tembok, lalu ia didorong hingga jatuh tersungkur. Tanpa belas kasihan, perutnya diinjak, punggung pun ditinju. Sakit merajai. Perlahan matanya terpejam, lalu kesadarannya lenyap. Ketika terbangun, ia telah terbaring di kamar. Gilang duduk di samping, menggenggam erat tangannya. "Pa ..." "Kamu sudah sadar? Mau minum?" Ia mengangguk. Air dingin mungkin meredakan pikirannya. Sakit masih terasa. Nenek itu benar-benar gila. Ia harus menceritakan pada Gilang. Ketika suami kembali membawakan air, secepatnya ia meneguk. "Aku dicelakai neneknya Bintang, Pa." Gilang tersedak air liur. Dua alisnya bertaut, menciptakan kerutan di kening. Belum ada satu kata pun yang diucapkan. Ia masih mencerna kalimat Sedayu. Detik selanjutnya ia memanggil Bintang. Remaja itu masuk bersama neneknya. Sedayu gemetaran melihat perempuan tua yang memandang kasihan padanya. "Mama ke sini pukul berapa?" "Sore." "Mama enggak merasa melakukan satu kesalahan?" Nenek itu mengernyit. "Kata Sedayu, Mama mencelakainya." Nenek itu menangis. Ia berlari keluar. Gilang menghela napas. Bintang memandang Sedayu, seolah mencari sesuatu yang keliru. "Mbak, Nenek memang belum bisa menerima Mbak jadi ibu sambung aku. Tapi, Nenek enggak sekejam itu. Nenek datang sore. Aku menyambut kedatangannya. Sejak masuk sampai sekarang, nenek selalu bersama aku. Jadi, enggak mungkin nenek ke perpustakaan dan mencelakai Mbak." "Tapi, Bin ...." "Please, Mbak. Jangan drama. Mbak mungkin stres karena tokonya terbakar. Tapi jangan mencelakai diri sendiri, lalu menyudutkan nenekku." Remaja itu keluar membawa serta rasa kecewa. Perempuan yang diharapkan mampu memberikan kebahagiaan untuknya dan sang papa ternyata sakit jiwa. Bagaimana mungkin ia bisa mempercayai pernyataan Sedayu, jika sang nenek memang sedari tadi bersamanya. "Aku enggak bohong, Pa. Aku enggak kepikiran masalah toko. Akhir-akhir ini aku diteror." Ia mengambil ponsel yang tergeletak di nakas samping ranjang. Ia mencari pesan dari nomor yang sudah diblokirnya. Namun, pesan itu tidak ditemukan. Matanya membelalak tidak percaya. Bagaimana mungkin pesan itu lenyap. Ia memang tidak menghapus pesan tersebut. Rencananya akan dijadikan barang bukti. Apa daya, tidak ada lagi jejaknya. Gilang menghela napas. Ia mengambil ponsel dari tangan sedayu, diletakkan kembali ke nakas. Ini salahnya juga, meninggalkan sang istri yang masih bersedih. Harusnya sebagai suami, ia mendampingi Sedayu. "Maafin aku yang sudah mulai sibuk di warung." Ia peluk dan memberikan kecupan hangat. Tubuh Sedayu dibaringkan. "Tidurlah! Besok aku menemanimu." Gilang sudah keluar dari kamar. Sedayu masih memikirkan kejadian yang mengerikan tadi. Jika nenek selalu bersama Bintang, lantas siapa yang memukulnya. Suara pintu dibuka. Ia memejamkan mata, pura-pura tidur. Tidak ingin Gilang tahu kalau ia masih memikirkan kejadian yang tak terduga tersebut. "Gimana? Permainannya seru, kan?" Sedayu membelalak. Itu suara yang sama seperti orang yang memukulnya. Ia berbalik dan melihat seorang perempuan dengan dandanan menor tersenyum menyeringai. "Gilang!" ~~~ Ngopo kowe mlebu kamar iki? Wis takkandhani to, kowe bakal mati. Bakal tak mateni kowe saiki. 》》"Kenapa kamu masuk ke ruangan ini? Aku sudah bilang, kamu akan mati. Sekarang juga akan kubunuh kamu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD